Laman

Senin, 03 Desember 2018

Uang Kertas Haram - Sejarah Uang Kertas


Uang kertas hanya selembar kertas. Tidak ada nilai apa-apa didalamnya (tampa nilai interistik). Yang ada hanya sekedar nilai dari beberapa gram berat kertas itu saja, serta biaya untuk mencetaknya.

Yang membuat uang kertas seolah memiliki nilai, karena diatas secarik kertas tersebut dicetak nominal-nominal atau angka. 




Para penipu tersebut menerapkan aturan, bahwa yang boleh membuat & mencetak uang kertas hanyalah pihak yang telah mereka mereka berikan hak, yakni para bankir.

Silahkan tanyakan kepada para bankir tersebut, "apa itu uang kertas?"

Niscaya mereka memjawab dengan dalih "bahwa uang kertas ini adalah utang kami kepada siapa saja yang memegangnya". 




Bayangkan, miliaran manusia diseluruh dunia yang ingin memendapatkan secarik kertas tak bernilai itu harus bekerja siang dan malam, berdagang atau menjual jasa. Bahkan ada yang sampai bertaruh nyawa. 




Perjuangan, keringat, dan usaha miliaran manusia diseluruh dunia ditukar hanya dengan benda-benda tak berharga, yang tidak lebih dari secarik kertas. Itulah perampokan.




Uang kertas tetaplah secarik kertas. Berapa milaiar pun nominalnya, jika dibakar/dibakar maka akan jadi abu.




Tidak perlu dibakar pun, disobek jadi dua, tampa menggunakan mesin penghancur kertas pun, maka nilainya akan raib. Merobek uang kertas, sama dengan merobek secarik kertas.




Seluruh Bank Sentral negara yang ada di muka bumi ini (termasuk Bank Indinesia) adalah anggota IMF (International Monetary Agency) bisa dibilang sekadar bank cabang, sedangkan bank pusatnya berada di Swiss, yang bernama BIS (Bank for International Settelments).




BIS (Bank for International Settelments) adalah perusahaan bank swasta yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Keluarga Rothschild serta para zionis lainnya.




Yang menyedihkan, politisi dan Pemerintah hanya dijadikan sebagai tameng untuk mengamankan kepentingan mereka, para bankir zionis. 




Jika Pemerintah suatu negara membutuhkan dana, mau tidak mau negara tersebut harus berhutang kepada mereka. Tidak ada makan siang gratis, tentu saja utang tersebut dikenakan bunga. Tak hanya itu, imbasnya mereka dapat mengintervensi kebijakan negara tersebut, tentu kebijakan tersebut wajib menguntungkan mereka. Jik membantah, maka tidak akan mendapat pinjaman. Bahkan mereka tidak segan membuat negara tersebut menjadi krisis.



Perampokan tak hanya melalui secarik kertas. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, mulai muncul uang elektronik, Sebut saja ATM dan Kartu kredit yang tak lebih dari sekedar sepotong plastik.




Yang lebih ajaib lagi, muncul Bit Coin, sebuah uang virtual yang tak berwujud. Tentu ini semakin menguntungkan mereka, para bankir zionis. Kini mereka tidak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk mencetak selembar kertas dan atau memproduksi sepotong plastik.




Para bankir zionis tersebut bebas kapanpun menyatakan bahwa sebuah nilai uang kertas tersebut sudah tidak berlaku lagi. 




Contohnya seperti uang kertas pecahan 100 rupiah yang kini tidak berlaku lagi. Hanya sekedar secarik kertas merah bergambar kapal pinisi yang berada di etalase museum atau berada di album atau bingkai para kolektor yang hobi mengoleksi uang kuno.



Dampaknya pasti sudah anda rasakan. Dahulu dengan uang 100 rupiah, anda bisa membeli semangkok bakso. Kini, dengan 100 rupiah, jangankan membeli bakso, untuk sekedar membayar parkir sepeda motor pun tidak cukup. 

Sejak pertama kali mata uang rupiah mulai diterbitkan, kurs (nilai tukarnya) hanya 3 rupiah per US dollar. Kini (september 2018) kurs rupiah terhadap US dollar hampir mencapai Rp 16.000 rupiah per US dollar, anjlok 3.500 %




Dengan secarik kertas, sepotong plastik, bahkan dengan bit coin yang tak berwujud, mereka dapat tukar dengan emas, perak, tembaga, kayu, dan seluruh kekayaan alam negeri ini.




Sungguh memalukan, kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, tidak memahami bahwa ini adalah praktek Riba. Kita meninggalkan tata cara transaksi yang diajarkan Rasulullah SAW dan para Nabi sebelumnya. Alat tukar yang sah adalah Dinar (Emas) dan Dirham (Perak), yang hingga hari (kata Dinar dan Dirham) ini masih ada dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah SAW. 



Allah mengazab umat Nabi Syuaib alahisalam (kaum Madyan) yang dengan gempa hingga mereka mati dalam rumahnya masing-masing (QS Al-A'raf [7]: 91) karena melakukan praktek berdagang yang curang, mengurangi takaran, ini juga termasuk salah satu praktek riba. 



Dalam Taurat Nabi Musa, Allah SWT melarang keras praktek riba. Namun seperti yang kita ketahui bagaimana tabiat ahli kitab (Rabbi/Pendeta/Ulama Yahudi) mengubah isi kitab suci. Kini bagi mereka haram untuk meminjamkan uang dengan bunga bagi sesama Yahudi, namun halal bagi mereka meminjamkan uang dengan bunga kepada Non Yahudi. 




Saya sebagai umat Nabi Muhammad sangat bersuka cita, saat Nabi Isa Al-Masih (Yesus) mengacak-acak bahkan membalikan meja hingga mengejar-ngejar dan mengusir para Rabbi/Pendeta/Ulama Yahudi, karena beliau marah setelah mendapati mereka melakukan praktik riba di bait Allah (Kuil Nabi Sulaiman/Baitul Maqdis). Beliau marah karena mereka menjadikan rumah Allah (Kuil Nabi Sulaiman/Baitul Maqdis) menjadi rumah setan. 



Praktek Riba yang mereka lakujan yaitu saat rakyat bani Israel datang ke  bait Allah (Kuil Nabi Sulaiman/Baitul Maqdis) untuk membayar zakat, mereka hanya dapat melakukan itu dengan satu koin khusus, setengah shekel, yakni sebuah koin yang beratnya setengan ounce dari perak murni, besarnya sekitar ukuran koin seperempat dolar. Ini adalah satu-satunya koin pada waktu itu yang terbuat dari perak murni dan bobotnya meyakinan, tanpa citra wajah Kaisar penyembah berhala, dan karena itu bagi pengikut ‘Isa ‘alaihis-salam adalah satu-satunya jenis koin yang bisa diterima oleh Allah. 

Sayangnya koin jenis ini tidak tersedia secara memadai, pedagang uang telah memborongnya, lalu mereka menaikkan harganya terhadap apa yang dapat diterima pasar. 1 ons = 31,103 gram. Mereka menggunakan monopoli yang mereka miliki atas koin-koin ini untuk meraup keuntungan melebihi batas kewajaran, memaksa pengikut ‘Isa ‘alaihis-salam untuk membayar berapapun juga harga yang diminta pedagang uang.



Inilah salah satu alasan, kenapa menuntut kematiannya beberapa hari kemudian, memprovokasi dan bersekongkol dengan pemerintahan pagan Romawi untuk menghukum mati baginda Nabi Isa Al-Masih (Yesus).

Sejatinya, bagi agama yang mengkalim berasal dari Nabi Ibrahim, semuanya melarang praktik riba. Dari dahulu, bahkan ajaran sebelum Nabi Muhammad, satu-satunya alat transaksi yang halal adalah Dinar (Emas) dan Dirham (Perak) ? Mengapa ? Karena dalam Uang Emas dan Perak mengandung nilai interistik didalamnya, yakni kadar emas atau perak itu sendiri. Nilai tersebut sangat sulit dirubah, dan cenderung stabil. tidak seperti uang kertas.


Hukum Syari'ah Islam adalah uang emas murni yang memiliki berat 1 mitsqal atau setara dengan 1/7 troy ounce, sedangkan Dirham perak Islam berdasarkan ketentuan Open Mithqal Standard (OMS) memiliki kadar perak murni dengan berat 1/10 troy ounce, atau setara dengan 3,11 gram.


Sejarah Uang Kertas


Di Inggris, uang dicetak oleh Bank Inggis dan diproduksi oleh Royal Mint. Di Amerika, uang dikeluarkan oleh Federal Reserve Bank. Ada beberapa bentuk Bank central yang sama di setiap negara. Di Amerika biayanya sekitar 4 sen untuk mencetak note $1. Kurang lebih dengan biaya 4 sen juga untuk mencetak $100. Orang – orang yang mencetak note tersebut juga membayar 4 sen dan untuk sedikit pengeluaran mereka menghasilkan banyak uang.

Bank menjual US Dollar yang dengan ongkos cetak setiap lembar uang kertas sekitar 4 sen atau lebih kepada khalayak, Bank menjual kertas cetakan yang disebut uang kertas seharga US$1, US$10, US$20, US$50, US$100. Hal ini merupakan bisnis cetakan yang sangat cerah. Anda dapat mengerti mengapa orang lain ingin terjun dalam bisnis tersebut. Beberapa orang menggunakan fotocopy berwarna untuk membuat uangnya sendiri.



Inilah penipuan yang dilakukan oleh Bank-bank (Federal Reserved, IMF, World Bank, ADB dan lain-lain termasuk juga jerat Bank Islam’ dan Bank ‘Syariah’)

American Federal Reserve Bank juga secara pribadi dimiliki. Hal ini diatur untuk kelihatan demikian seakan-akan bagian dari pemerintah Amerika, padahal bukan. Kebanyakan orang mengira bahwa kata -American- adalah sebuah institusi Amerika daripada sebuah bisnis seperti Microsoft atau Coca Cola.



Anda mungkin bertanya mengapa kami menulis ini. Hal ini karena setiap negara di dunia, termasuk setiap negara muslim, telah mengikuti jalan yang sama yang orang-orang (kafirun) tersebut lakukan. Setiap negara sekarang mempunyai bank nasional, kurs uang nasional, hutang nasional, dan pajak yang membengkak.



Uang yang ada sekarang ini, yaitu uang kertas, semata-mata adalah lambang, yang mewakili uang hutang (promissory note) atau IOU –I Owe You- (Saya Hutang Kamu) – hutang yang menuntut bayaran lebihan atau tambahan. Maka jelaslah bahwa uang kertas adalah uang riba.



Uang kertas riba adalah satu-satunya ciptaan manusia yang membawa bencana, celaka, kezaliman dan malapetaka kepada seisi bumi ini. Menciptakan artinya menjadikan, dari tiada menjadi ada. Ciptaan ini menggunakan kertas, mencetak angka dan memberi nilai pada kertas.

Uang kertas dipakai sebagai perantara pertukaran atas paksaan negara dan penegasan undang-undang. Pendek kata, kita dipaksa memakai uang kertas yang nilai dan peredarannya dikuasai oleh bank-bank di bawah pengawasan negara.



Uang kertas haram menurut Islam karena uang itu tidak mempunyai nilai apapun kecuali dengan melalui paksaan monopoli. Uang kertas adalah ciptaan atau rekayasa kuffar barat dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Islam. Bagaimanapun, uang kertas riba diperkenalkan di Persada Islam untuk meneruskan penjajahan dan pemaksaaan intelektual melalui persekongkolan dengan golongan munafiqun.

Dari segi sejarah uang kertas riba telah melalui beberapa tahap perubahan dan sedang melanjutkan evolusinya. Bersalin dari kertas ke suatu bentuk elektronik yang merupakan unit ‘uang andaian’ (hypothetical money). Sebenarnya, sepanjang catatan sejarah, emas dan perak merupakan uang sejagat yang digunakan untuk berjual-beli di Eropa, di benua Afrika, di bumi Cina dan kepulauan Nusantara. Namun, pada masa Zaman Kegelapan Eropa, ’uang kertas’ mulai digunakan sebagai nota pertukaran (bill of exchange) di antara pedagang-pedagang di bandar-bandar (negara) yang berlainan.



Riba dari segi bahasa berarti kelebihan atau tambahan. Akibatnya, semua uang yang beredar mengandung kelebihan atau tambahan padanya, yang akhirnya menyebabkan uang itu susut nilai. Gejala buatan manusia ini – dikenal sebagai inflasi – ini terkandung dalam sistem keuangan riba.

Inflasi tidak lain dan tidak bukan adalah ‘cukai yang tidak nampak’ (invisible tax) dan perampokan yang diatur oleh undang-undang. Bank senantiasa mau memeras lebih banyak uang dari masyarakat melalui kelebihan atau tambahan bayaran atas kelebihan hutang dari apa yang dipinjamkan. Ini mencetuskan putaran ganas pinjaman yang berkelanjutan untuk menerbitkan lebih banyak lagi uang.



Pengembangan kredit ini selain tidak mencerminkan pertumbuhan kekayaan yang sejati, juga membesarkan inflasi karena barang dan jasa-jasa mengalami ‘monetization’– semuanya dinilai dengan uang kertas yang tidak menentu. Dengan pertumbuhan khayal ini, keseluruhan sistem keuangan riba akan runtuh.



Setiap kali pinjaman dikeluarkan, lebih banyak uang perlu dicari, dan dipinjamkan. Akibatnya, harga barang dan jasa-jasa naik, dan ini memaksa kenaikan gaji supaya bisa mendapatkan lebih banyak uang untuk meningkatkan kemampuan membeli barang-barang yang telah melambung harganya itu. Dengan kata-kata lain, putaran inflasi terjadi akibat terlalu banyaknya uang menghambat barang dan jasa-jasa yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh penggandaan uang tiada henti. Uangnya tetap sama, hanya nilainya saja yang turun karena jumlahnya dalam peredaran berlipat-ganda.



Jangan kita sekali-kali menyangka bahwa jika kita tidak terlibat dengan urusan bank, kita terlepas dari laknat mengamalkan riba. Selama waktu kita memakai uang kertas, maka uang kertas itu akan mengalami susut nilai yang berkepanjangan, yang secara langsung menyebabkan merosotnya kekayaan dan harta benda kita. Susut nilai ini adalah satu bentuk cukai yang dikenakan oleh bank secara halus kepada semua pengguna uang kertas. Ini karena bank mengucurkan kredit (kemudahan membayar belakangan atau penangguhan pembayaran), dan pengembangan kredit menyebabkan inflasi. Berbagai cukai seperti cukai pintu, tanah dan sebagainya yang dikenakan oleh negara kepada rakyat, juga memperkokoh inflasi. Negara memungut cukai untuk membayar kelebihan atau tambahan hutang negara kepada bank. Karenanya, negara sudah menjadi unit penghutang, yang memeras dan menindas masyarakatnya dengan segala macam bentuk cukai.

Tidak ada cukai dalam Islam, yang ada hanya zakat fitrah, zakat harta dan jizya bagi golongan dhimmi – orang bukan Islam yang bernaung di bawah pemerintah Islam.

Sektor swasta menjaminkan aset mereka, pemerintah telah menjaminkan harta benda nasional kepada bank, maka terangkum dalam hutang swasta dan hutang nasional itu, maka dunia sudah dijaminkan dan digadaikan kepada perserikatan bank se-dunia.

Jikalau uang kertas tidak dihentikan penggunaannya, pemindahan kekayaan yang berterusan dari nasabah peminjam kepada pemberi pinjaman (bank) akan berkelanjutan. Inilah caranya bagaimana bank-bank di dunia kini memiliki hampir segala sesuatu di muka bumi ini.

Dengan terang-terangan, para penguasa keuangan riba menguasai dunia, penguasanya bukan lagi pemerintah atau negara-negara, apalagi lagi politikus primitif kerdil. Sama seperti ahli-ahli sihir Firaun, penguasa elit keuangan riba menggunakan sulapan uang kertas untuk memukau penonton-penontonnya.

Tak ragu lagi, uang kertas ciptaan kafirun inilah yang bertanggung-jawab menimbulkan kekurangan dan kemerosotan. Permainan jungkat jungkit ini hanya bisa terjadi dengan adanya uang kertas sebagai poros penyangganya.

Kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang berlaku di Irlandia. Dalam suatu uji-coba, bank di negara itu hendak mengajar masyarkat, maka mereka menghentikan operasinya. Namun khalayak tak perduli dengan tindakan perbankan itu dan meneruskan tataniaga atau perdagangan mereka tanpa bank. Ketika perbankan sadar bahwa tindakan itu merugikan mereka sendiri, maka mereka membuka ‘perniagaan’ mereka kembali.

Kesimpulannya, semua kembali kepada tindakan masyarakat Muslim dan Umum apakah hendak menggunakan bank atau tidak. Kita tidak memerlukan bank! Bank memerlukan kita! Tanpa keterlibatan kita, bank tidak ada gunanya. Jadi tinggalkanlah apa yang di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, inilah sunnah. Shalat dan Zakat

Jabir berkata, Rasul Allah, salawat dan salam ke atasnya, melaknat mereka yang menerima riba, dan yang membayarnya, mencatatnya, dan dua orang saksi; seraya dia berkata, ‘Mereka itu sama saja.’ (Al-Muslim)

Masyarakat Islam hari ini sudah meninggalkan amalan tata niaga halal dalam Islam seperti, qirad, shirkah, Mudharabah, duta-duta perdagangan dan sebagainya yang dicontohkan salallahu alaihi wasallam, para sahabatnya dan tabiit tabiin. Malah teka-teki ulama’ modernis dan ahli-ahli ‘Ekonomi Islam’ hari ini cuma menyumbang kepada kekeruhan dan kekeliruan mengenai amalan tata niaga halal.

Dewasa ini, ribalah yang dihalalkan dan tata niaga (perdagangan) halal telah diharamkan atau hampir-hampir mustahil untuk diamalkan. Padahal, apa yang halal dan apa yang haram, jelas digariskan di dalam Kitab Al-Muwatta’ Imam Malik, yang merekam amalan tata niaga halal pada zaman Rasulallah salallahu alaihi wasallam, para sahabatnya dan tabi tabiin.

Yahya meriwayatkan kepada saya (Imam Malik) dari Malik dari Musa ibn Abi Tamim dari Abu’I-hubab Sa’id ibn Ysar dari Abu Hurayra bahwa Rasul Allah, selawat dan salam ke atasnya, bersabda, “Satu dinar untuk satu dinar, tidak ada kelebihan di antaranya.” (Al-Muwatta’, 31.16.29)

Malik meriwayatkan kepada saya bahwa Zayd ibn Aslam berkata, ‘Riba pada zaman Jahiliyya, (adalah) seseorang itu memberi pinjaman bertempo kepada orang lain. Apabila tempo itu tiba, dia berkata, ‘Apakah kamu akan menunaikannya atau menambahnya?’ Jika orang yang berhutang itu, membayar, dia (peminjam) mengambilnya. Jika tidak, dia mengenakan tambahan pada hutang itu dan memanjangkan tempo membayar balik hutang tersebut.”

Malik berkata, “Perbuatan yang dilarang, yang tidak ada perselisihan di kalangan kita, adalah seseorang itu memberi pinjaman bertempo kepada orang lain, dan kemudian peminjam itu mengurangkannya dan orang yang berhutang itu membayarnya (sebelum tempo itu). Kepada kita, perbuatan ini sama dengan orang yang menunda-nunda membayar hutangnya setelah temponya tiba dan pemberi pinjaman mengenakan tambahan kepada hutang tersebut.”

Malik berkata, “Ini tidak lain dan tidak bukan, melainkan riba. Tiada ragu-ragu.”
(Al-Muwatta’, 31.39.83).



Referensi:

Buku Larangan Riba dalam Al Qur'an dan Sunnah
oleh Sheikh Imran Hosein

Buku Dinar (Emas) Dirham (Perak)  Islam Dan Uang Masa Depan
oleh Sheikh Imran Hosein

Buku Satanic Finance (Keuangan Setan)
oleh  A. Riawan Amin