Laman

Rabu, 26 Desember 2018

Senjata Pemusnah Masal - Dalih Amerika Serikat Invasi Irak (Operasi Pembebasan Irak)


Bagaikan malaikat yang turun dari langit, Paman Sam dan sekutu dengan bangga menyebut invasinya sebagai “Operation Iraqi Freedom”. Mereka mengklaim akan membebaskan rakyat Irak dari pemimpin saat itu yang dianggap sebagai diktator berbahaya, Saddam Hussein.


Hari pertama invasi militer Amerika Serikat dan koalisinya (Inggris, Australia, dan Polandia) terjadi pada 20 Maret 2003. Invasi berakhir 20 hari berselang atau pada 1 Mei 2003.

Amerika Serikat berdalih itu adalah Operasi Pembebasan Irak serta memerangi kelompok teroris Al-Qaeda, yang dituding sebagai dalang aksi serangan 11 September 2001. Tragedi yang meruntuhkan Menara Kembar World Trade Center, New York, dan merenggut lebih dari 6.000 nyawa.


Tak hanya berdalih memerangi Al-Qaeda, Amerika Serikat juga berdalih Operasi Pembebasan Irak  tersebut juga untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak. Alasan terakhir ini tercatat menjadi yang paling kontroversial sebab hingga detik ini tidak didasarkan pada bukti yang jelas dan kuat.

Irak disebut-sebut punya tabung yang biasa dipakai untuk program pengayaan uranium. Departemen Energi Amerika Serikat meyakini barang itu tidak sesuai untuk dipakai membuat senjata nuklir. Tabung-tabung itu hanya dipakai untuk membuat roket artileri.


Padahal pemerintah Amerika Serikat sudah mengetahui bahwa program senjata nuklir Irak telah diakhiri sejak 1991. Irak juga tidak mengembangkan penelitian untuk produksi senjata biologis sejak 1996. Sementara program pengembangan senjata kimia sudah ditinggalkan pada 1980-an.

Namun, laporan hasil investigasi yang dilakukan National Intelligence Estimate (NIE) yang juga dimuat Washington Post menyimpulkan bahwa senjata pemusnah massal Irak hanyalah hoaks.

Laporan National Intelligence Estimate (NIE) tersebut dibentuk atas permintaan kubu Demokrat (Oposisi) agar dibuatkan laporan terkait tiga tuduhan utama pemerintahan Bush kepada Saddam, yakni kepemilikan senjata nuklir, senjata biologis, dan senjata kimia. Pada Oktober 2002, laporannya dirilis secara internal dan baru dibuka untuk umum di tahun 2014.

Banyak laporan intelijen Amerika Serikat menyebutkan jika Irak memiliki 100 hingga 500 metrik ton senjata kimia. Satu badan intelijen menyatakan bahwa Saddam ingin mengembangkannya melalui pembangunan industri kimia.

Namun, Oktober 2002, National Intelligence Estimate (NIE) menyatakan bahwa tidak ada proses produksi terkait senjata kimia sebagaimana yang dituduhkan.


Ketika invasi berakhir, fakta-fakta baru yang menyangkal eksistensi tiga jenis senjata pemusnah massal sebagaimana yang dikupas NIE baru ditemukan.

31 Oktober 1998 Presiden Bill Clinton menandatangani Undang-Undang Pembebasan Irak. Artinya Amerika Serikat mensponsori kelompok pemberontak Irak yang ingin menggulingkan Saddam Husein, termasuk Al-Qaeda.


Tahun 2016, salah seorang analis CIA yang bertugas menginterogasi Saddam Hussein, bernama John Nixon, membeberkan fakta mengejutkan. Dengan tegas Nixon mengatakan bahwa pemerintah Paman Sam melakukan kesalahan fatal dalam intervensi ke Irak.


Kesalahan fatal itu, terutama soal tudingan bahwa Irak menggunakan senjata pemusnah massa. Lebih dari itu, Nixon juga mengkritik perilaku George W. Bush yang memerintahkan invasi ke Irak.


Saat Nixon melakukan interogasi, Saddam menegaskan bahwa pihaknya sama sekali tak pernah memikirkan untuk menggunakan senjata pemusnah massal.


"Hal itu tak pernah dibahas. Menggunakan senjata pemusnah massal untuk melawan dunia? Adakah orang yang mampu melakukannya? Siapa yang akan menggunakan senjata itu? Seandainya itu benar, apakah kami akan menggunakan senjata itu untuk menghancurkan pihak yang tidak pernah menyerang kami?” 
ujar Saddam kepada Nixon

Saddam Hussein dieksekusi dengan cara digantung pada tahun 2006, tepat dihari raya Idul Adha, tiga tahun setelah ia ditangkap oleh pasukan khusus Amerika Serikat di dekat kampung halamannya, kota Tikrit, Irak.


Penyesalan Inggris dan Lahirnya ISIS

Tony Blair, yang saat itu menjabat Perdana Menteri Inggris dikecam keras kalangan parlemen dan rakyat Inggris atas perang Irak tahun 2003 yang mengacu pada data intelijen yang keliru. Blair juga didesak untuk minta maaf karena invasi terhadap Irak telah melahirkan ISIS dan kekacauan, karena kesalahan informasi intelejen.


Akhirnya Tony Blair mengakui keputusan untuk menginvasi Irak pada 2003 adalah sebuah kesalahan fatal. Nasi sudah menjadi bubur, invasi telanjur dilakukan, pemerintah Saddam hancur, dan Saddam dieksekusi tahun 2006, tepat di hari raya Idul Adha. Tony Blair juga mengakui bahwa invasi tersebut pada akhirnya melahirkan gerakan kelompok militan ISIS.

“Saya meminta maaf atas kesalahan agen intelijen dalam memberikan informasi keliru mengenai keberadaan senjata pemusnah masal di Irak. Melihat apa yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah risiko ketika kita menjatuhkan sebuah rezim otoriter” 
ujar Tony Blair dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CNN yang dipandu Presenter Fareed Zakaria. 


Tony Blair tidak menyangka dampak invasi itu akan sangat parah dan berkepanjangan. Usai Saddam tersingkir, peperangan demi peperangan justru terus terjadi terjadi di Irak. Salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan muncul, yakni Al-Qaeda dan ISIS.



Referensi:

Hoaks Senjata Pemusnah Masal Lahirkan Invasi AS ke Irak - Tirto.id 

Daftar Kesalahan Fatal Amerika Saat Invasi Irak dan Membunuh Saddam Husein, Bakal Terulang Lagi? - TRIBUNnews.com  

Tony Blair: ISIS Muncul karena Inggris-AS Invasi Irak - Tempo.co