"Pria perdamaian? Tidak.
Sharon adalah juara dalam solusi kekerasan" demikian tulis
The Guardian.
"Apanya pembawa perdamaian! Ketika pesawat Israel mengebom apartemen di Gaza dan menewaskan gerilyawan Hamas plus sembilan anak kecil, Sharon menyebut operasi itu sukses besar," tulis Fisk, jurnalis The Independent.
Di balik presfektif Negara-negara Barat, Organisasi Human Rights Watch (HRW) menyakan Sharon memang penjahat perang sekaligus penjahat kemanusiaan.
Apalagi memang banyak kekejaman Sharon yang terdokumentasi dengan baik. Pada 1953, misalnya, setelah seorang wanita Yahudi dan dua anaknya dibunuh warga Palestina, Sharon dan pasukannya melancarkan aksi balasan dengan menyerbu Desa Qibya di Tepi Barat. Sebanyak 68 warga sipil tewas dibantai, 45 di antaranya wanita dan anak-anak.
Tim PBB, yang kemudian diterjunkan ke Qibya dan mewawancarai para saksi, menyimpulkan bahwa pasukan Sharon bertindak kejam dengan mendobrak pintu rumah warga dan melepaskan tembakan. Terkadang, setelah mendobrak pintu, mereka segera melontarkan granat tangan, tidak memedulikan siapa pun penghuni di dalamnya.
Tragedi itu terkenal dengan istilah
"Pembantaian Qibya" dan merupakan insiden pertama yang membuat nama Sharon dikenal di dunia.
Tidak ada pertanggungjawaban dari Sharon atas pembantaian itu. Hanya, dalam autobiografinya, berjudul Warrior, terbit pada 1989, Sharon menulis;
"Perintah yang saya terima sangat jelas. Qibya harus dijadikan sebagai contoh bagi semua orang."
Pembantaian lain yang membuat namanya dikutuk jutaan orang, apalagi kalau bukan Sabra dan Shatila.
Dalam laporannya, Organisasi Human Rights Watch (HRW) menulis bahwa selama Sharon berkuasa, jumlah penduduk Yahudi di Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan melonjak pesat sampai 73.000 orang akibat kebijakan ekspansif Sharon mencaplok lahan Palestina.
Ekspansi ke Tepi Barat ini adalah kompensasi atas penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza pada 2005 (juga atas perintah Sharon) yang melihat bahwa tanah Gaza tidak terlalu subur.
Sarah Leah Whiston, direktur Organisasi Human Rights Watch (HRW) menilai bahwa tragedi dari kematian Sharon adalah karena ia meninggal tanpa sekali pun bertanggung jawab atas sekitar 4.000 warga sipil yang tewas akibat ulahnya. Memang tidak bisa. Tanggung jawab itu dibawanya sampai ke alam kubur.
Pembantaian Qibya, terjadi pada 13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil, sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit "101" ini dipimpin oleh Ariel Sharon, yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel.
Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu memasukinya pada pukul 4 pagi, para teroris Zionis mulai secara terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya.
Sharon langsung memimpin serangan tersebut, mengumumkan pernyataan berikut setelah pembantaian:
"Perintah telah dilaksanakan dengan sempurna: Qibya akan menjadi contoh untuk semua orang."
Mayor Jenderal Fagin Benik, menggambarkan bagaimana kesatuan 101 pimpinan Sharon ini melontarkan bom-bom melalui jendela-jendela gubuk yang dihuni para pengungsi Palestina yang ketakutan menyelamarkan diri dari serangan dan terjangan timah panas baik dari senjata ringan maupun otomatis.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan;
“Warga kala itu dipaksa di bawah ancaman senjata agar tetap tinggal di dalam rumah mereka untuk dihancurkan di atas kepala mereka.”
Pada Oktober 1953 departemen luar negeri Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan,
“kesedihan yang begitu mendalam kepada para keluarga korban yang dihabisi dalam penyerbuan desa Qibya.”
Departemen Amerika Serikat juga mengungkapkan keyakinanya tentang urgensinya:
Referensi:
“menghukum orang-orang yang bertanggung jawab dan mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang.”
Referensi:
Majalah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat no. 26 Oktober tahun 1853 (hal. 552)
Matinya Si Penjagal - Gatra.com