Laman

Minggu, 30 Desember 2018

Letusan Gunung Tambora 1815 Berdampak Hingga Eropa dan Amerika Utara - Cuaca Ekstrim Mengakibatkan Gagal Panen & Kelaparan, Mereka Terpaksa Makan Kucing dan Tikus

Letusan Gunung Tambora dimulai pada 5 April 1815. Suara dentuman & gemuruh terdengar hingga Jakarta selama 15 menit dan berlangsung sampai hari-hari berikutnya.


Puncak erupsi terjadi pada 10 April. Pukul tujuh pagi hampir seluruh isi perut gunung dimuntahkan, yakni magma, abu yang memancar, dan batuan cair yang menembak ke segala arah. Berlangsung sekira satu jam, begitu banyak abu dan debu terlempar berada di uadara hingga menutupi pandangan terhadap gunung. Suara dentuman Erupsi gunung Tambora tanggal 10 April 1815 ini terdengar hingga radius 2.600 km, mencapai ke Pulau Andalas (Sumatera). 


Letusan Tambora saat itu menempati  VEI 7 atau tertinggi kedua dari puncak VEI 8 dalam skala kekuatan erupsi gunung berapi, Volcanic Explosivity Index (VEI). 


Sekitar 50 sampai 150 kilometer kubik magma keluar dari perut bumi melalui Tambora yang menghasilkan kubah kolosal setinggi hampir 40 sampai 50 kilometer itu membawa abu dalam jumlah besar di angkasa. 

Gunung Tambora yang awalnya memiliki tinggi 4.300 meter dari permukaan laut menjadi terpangkas sampai tersisa setinggi 2.772 meter dari permukaan laut. 

Di hari puncak letusan yang terjadi pada 10 April itu, tsunami juga menerjang berbagai pulau di Indonesia sebagai dampak dari letusan Tambora. Tercatat, di wilayah Sanggar tsunami menerjang setinggi 4 meter, di Besuki Jawa Timur tsunami setinggi 2 meter terjadi sebelum tengah malam, juga di Kepulauan Maluku. U.S. Geological Survey mencatat korban tewas diperkirakan sebanyak 4.600 jiwa.

Erupsi Gunung Tambora Berdampak Perubahan Iklim Global 


Dampak letusan gunung api ini terasa hingga daratan Eropa dan Amerika Utara. Puluhan ribu orang tewas akibat wabah penyakit dan kelaparan. 


Material vulkanis yang dikeluarkan saat Gunung Tambora meletus mencapai lebih dari 100 km kubik atau 100 milliar meter kubik. Sulfur dioksida yang keluar dari Tambora mencapai lapisan stratosfer. 


Musim semi tahun 1815 menjadi terganggu karena debu-debu dan kandungan yang dibawa tertiup angin bergeser ke langit Eropa, Amerika, dan lainnya. Hal ini terus berlanjut hingga musim panas 1815. 

Di belahan bumi utara, terjadi kondisi cuaca ekstrem dan membuat benua Eropa menjadi gelap selama 1 tahun
Cahaya matahari yang terhalang membuat suhu global menurun sekitar 0,4 sampai 0,7 derajat celsius akibat kabut kering yang menyelimuti bumi. 


Pertanian yang seharusnya mendapat paparan sinar matahari di musim semi menjadi gagal panen di India dan timbul wabah kolera di Bengal pada 1816. Tifus menyerang wilayah Eropa tenggara dan timur Mediterania antara 1816 sampai 1819. 

Paceklik (gagal panen) akibat suhu dingin dan hujan lebat melanda Inggris dan Irlandia. Kelaparan merata di utara dan barat daya Irlandia karena gagal panen gandum, oat, dan kentang. 


Jerman dilanda krisis: harga pangan meningkat akibat kelangkaan. Demonstrasi menjadi pemandangan umum di depan pasar dan toko roti, diikuti kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menjadikan kelaparan terburuk di Eropa pada abad ke 19. Korban tewas di seluruh dunia mencapai 71.000 jiwa, sebagai dampak tidak langsung Erupsi gunung Tambora.

“Orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus,”

kata Stephen Self, ahli vulkanologi di Universitas California, Berkeley, seperti dikutip Livescience, Jumat (10/4). Self juga merupakan pakar dalam studi soal letusan Tambora pada 1815.

Erupsi tambora memusnahkan tiga kerajaan yang terletak di lereng Tambora,  yaitu Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat yang semuanya musnah. Kerajaan Bima sendiri turut mencatat peristiwa mahadahsyat ini seperti tertuang dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai. 


Pukul 19.00 malam pada 10 April 1815, tepat hari ini 203 tahun lalu, dari Sanggar terlihat tiga kolom api keluar dari puncak Tambora dan menyebar ke segala penjuru. 

Hujan batu yang lebat mulai turun di Sanggar bercampur dengan debu. Batunya sebesar dua gumpal, disusul dengan angin berputar yang sangat dahsyat yang merobohkan hampir seluruh rumah. Bunyi dentuman sangat riuh tanpa hentinya hingga malam tanggal 11. Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai 15 Juli masih saja terdengar letupan-letupan.

Peristiwa letusan Tambora tahun 1815 oleh Khatib Lukman menulis sedetail mungkin kejadian yang terjadi sejak awal letusan hingga kelaparan terjadi di sekitar Kesultanan Bima, seperti dalam bait ke 12 – 13 menceritakan dimana letusan Tambora membakar semua sawah.


Pada tahun jim awal mulanya
Diturunkan bala kepada hambanya
Tanah Bima hangus semua padinya
Laparlah orang sekalian isinya

Lapar itu terlalu sangat
Rupanya negeri tiada bersemangat
Serasa dunia bekas kiamat
Sukarlah gerangan baiknya bangat

Kemudian di bait ke 22 – 24 di tulis kejadian lanjutan letusan Tambora di hari berikutnya dimana hujan pasir mulai turun saat subuh, semua orang terkejut dengan apa yang mereka lihat dari kejauhan Tambora.

Ayam berkokok haripun siang
Undurlah orang daripada sembahyang
Turunlah pasir bagai dikarang
Habislah terkejut sekalian orang 

Pasir di sangka hujan yang titik
Jatuh di atap bunyinya mengeritik
Hari yang terang kelam berbalik
Air yang hilir menjadi mudik

Tiadalah beberapa lamanya selang
Turunlah abu bagai dituang
Geger gempar sekalian orang
Terkejut melihat sekalian tercengang

Hari berikutnya setelah letusan, Khatib Lukman menceritakan suasana krisis pangan di pulau Sumbawa, banyak berbagai kapal dagang dari Sulawesi, Jawa dan Maluku datang untuk menjajakan dagangan mereka pada masyarakat yang kelaparan. Dimana itu termuat dalam bait 68- 70 melukiskan kelaparan yang sangat parah hingga harta benda habis untuk dijual. 

Dagang yang datang berbagai jenis
Jawa Melayu Mengkasar Bugis
Membawa beras padi gula manis
Berpuluh perahu jua yang habis

Semuanya dagang datang terhimpun
Ada dari ternate ada dari Ambon
Ada Bonerate adalah Buton
Membawa sagu jagung bersusun

Datangnya dagang bertindih-tindih
Ada yang dari Sulu ada dari Ende
Membawa jagung kacang kedelai
Ditukarlah dengan cawan dan cindai 


Referensi: 

"The Weather of the Waterloo Campaign 16 to 18 June 1815: Did it Change the Course of History?"
By John Lewis  

"Napoleon, The Tambora Eruption and Waterloo"
by John Tarttelin 

Report "Tambora Erupts in 1815 and Changes World History"
by William & Nicholas Klingaman 

"Volcanic Explosivity Index (VEI)"
Volcano Discovery 

"Climatic, Environmental and Human Consequences of the Largest known Historic Eruption: Tambora Volcano (Indonesia) 1815"
writer: Clive Oppenheimer 

"Handboek der Land-en Volkenkunde, Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie volume II (1841)"
writter: Philippus Pieter Roorda van Eysinga

"Nusantara: Silang Bahari" yang dimuat di buku Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard" (2011)
penulis: A.B. Lapian

Menelusuri jejak letusan Gunung Tambora dua abad lalu - BBC News Indonesia 

Tambora Meletus, Orang Eropa Terpaksa Makan Kucing dan Tikus - CNN Indonesia

Meletusnya Gunung Tambora dan Akibatnya Terhadap Dunia - Tirto.id

Letusan Gunung Tambora, Kerajaan yang Hilang, dan Kalahnya Napoleon - Tirto.id