Laman

Senin, 17 Desember 2018

Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka) - Peran Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Vanuatu


Tahun 1963, Aser Demotekay yang merupakan mantan Kepala Distrik Demta, Kabupaten Jayapura, diam-diam menjalankan kegiatan kelompok kebatinan bermuatan kepercayaan adat dan Kristiani.

Meski menuntut kemerdekaan Papua, namun pihak Aser kooperatif dengan Indonesia. Pihak Aser meminta Indonesia menyerahkan kemerdekaan kepada Papua sesuai janji Alkitab, janji leluhur, dan janji tanah Papua bahwa bangsa Papua Barat adalah bangsa terakhir menuju akhir zaman.

Gerakan Aser ini bercorak kultus kargo (cargo cult). Belum diketahui nama pasti gerakan dan jenis kultus kargo macam apa yang Aser Demotekay jalankan itu, karena aktivitas mereka saat itu sangat rahasia, bergerak di 'bawah tanah'. Hal ini dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', terbitan 1993.

Namun berbicara soal kultus kargo, kepercayaan semacam itu juga ada di kawasan Papua Nugini dan Mikronesia, muncul akibat interaksi masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, dalam hal ini adalah tentara Barat dan Jepang yang sering membawa barang-barang kargo lewat pesawat, barang-barang kargo itu diyakini sebagai pemberian dewa. Belum jelas betul, apakah kultus kargo yang dipraktikkan kelompok Aser sama dengan yang ada di Papua Nugini dan Mikronesia atau berbeda.

Salah satu pengikut Aser adalah Jacob Prai yang kemudian melanjutkan pergerakan. Meski Aser melarang tindakan kekerasan untuk mencapai kemerdekaan Papua Barat, namun dalam perkembangan selanjutnya, Jacob Prai harus menempuh cara radikal untuk mempertahankan diri dan mewujudkan cita-citanya.

Muncul pula gerakan pro-kemerdekaan Papua di Manokwari pada 1964, tokohnya adalah Terianus Aronggear. Dia mendirikan 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat'. Organisasi ini juga bergerak secara klandestin. Belakangan, organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kelompok Terianus Aronggear inilah yang disebut sebagai kelompok rintisan OPM paling pasti. Catatan sejarah ini sekaligus menepis anggapan bahwa OPM dibikin di Belanda atau dibikin di Jayapura (Hollandia/Sukarnopura), melainkan lahir di Manokwari tahun 1964.

Terianus mengirim dokumen perjuangan ke Markas PBB di New York, isinya adalah menanyakan status Irian Jaya dan meminta peninjauan kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962 karena tak mengikutsertakan orang Papua. Perjanjian New York itulah yang memuat persetujuan Belanda dan Indonesia agar Nederland Nieuw Guinea (saat ini Pulau Papua) diserahkan dari Belanda ke Indonesia lewat PBB.

Dokumen kelompok Terianus itu juga berisi rancangan susunan kabinet Papua Barat, susunannya antara lain Markus Kaisiepo sebagai Presiden, Nicolaas Jouwe sebagai Wakil Presiden , Terianus Aronggear sebagai Menteri Luar Negeri, dan Permenas Ferry Awom sebagai Panglima Perang.

Lahirnya OPM tak bisa dilepaskan dari janji pemerintah kolonial Belanda sebelumnya, bahwa Papua bakal merdeka. Pada 1 Desember 1961, Bendera Bintang Fajar berkibar di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya.

Namun pada 19 Desember 1961, Trikora dicetuskan Presiden Sukarno dari Alun-alun Utara Yogyakarta. Sukarno ingin menggagalkan 'Negara Papua' buatan kolonial Belanda. Menurut Sukarno, wilayah yang dulu disebut Nugini Belanda (Nederland Nieuw Guinea) itu adalah wilayah Indonesia.

Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda meneken perjanjian yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS), disebut sebagai Perjanjian New York. Hasilnya, mulai Oktober 1962, Papua diamanatkan terlebih dahulu ke PBB di bawah UNTEA (Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations Temporary Executive Authority). Selanjutnya, Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia pada 1 Mei 1963.

Dalam kondisi itu, pihak yang ingin Papua merdeka kemudian bergerak. Pihak otoritas Indonesia menyebutnya sebagai OPM. Nama OPM semakin dikenal tahun 1965 lewat pemberontakan bersenjata kelompok Permenas Ferry Awom di Manokwari. Lama kelamaan, pihak pemberontak juga menerima nama OPM yang sering dipakai pihak Indonesia itu karena nama itu lebih tepat, singkat, dan mudah diingat ketimbang nama panjang organisasi yang mereka bentuk semula, 'Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat'.

Pada perkembangan selanjutnya, 1 Juli diperingati simpatisan Papua Merdeka sebagai hari lahirnya OPM.  Sebab pada tanggal itu tahun 1971, digelar proklamasi kemerdekaan Papua dengan Seth Jafeth Roemkorem sebagai Presiden sementara Papua Barat (West Papua). Pengertian Papua Barat saat itu tentu bukanlah seperti yang dipahami sebagai 'Provinsi Papua Barat' saat ini, melainkan seluruh wilayah Papua sebelah barat Papua Nugini.

Peran Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Vanuatu

Punya gunung emas belum tentu menjadi berkah, boleh jadi juga mengandung musibah. Tak ubahnya memiliki miliaran barel minyak dibawah tanah yang diinjak, yang akhirnya tak lebih dari kisruh mulai dari Timur Tengah sampai Amerika Latin. Nampaknya minyak dan emas selalu terkait dengan darah dan nyawa manusia.

Sepintas tidak ada relevansinya dengan peristiwa lepasnya Timor Timur di tahun 1999. Tetapi Profesor Bilveer Singh, seorang pengamat politik dari Singapura pada satu kesempatan di tahun 2010 pernah mengingatkan  ke­mungkinan lepasnya Papua dari Indonesia. Mengapa dia mengingatkan?

Karena situasi Papua relatif lebih sulit ditahan Indonesia ketimbang Timor Timur. Infiltrasi asing di Papua jauh lebih mudah sementara kemampuan Indonesia mendeteksi relatif lemah. Terutama karena wilayah Papua yang lebih luas serta masih terdiri dari banyak hutan perawan. Nah untuk yang ringan saja (Timor Timur), kata Singh, Indonesia tidak mampu mempertahankannya, bagaimana de­ngan yang lebih berat (Papua) ?

Inggris sudah lebih dahulu menempatkan perusahaannya di Papua, yaitu Perusahaan minyak dan gas bumi British Petroleum (BP) di Tangguh, Papua Barat. Untuk “mengamankan” usahanya itu, Inggris “memelihara” Benny Wenda dengan memberinya sejumlah kemudahan, antara lain suaka politik dan kantor perwakilan OPM yang diresmikan April 2013.

Menyusul kemudian, kelompok pendukung gerakan Papua merdeka di Australia membuka kantor perwakilan OPM di Melbourne pada 25 Juni 2014. Kantor tersebut terletak di wilayah Docklands yang merupakan salah satu area bisnis di Melbourne. Besar kemungkinan, pembukaan kantor tersebut juga didanai pihak Australia. Advokat kemerdekaan Papua Barat,
Ronny Kareni kepada ABC, seperti dikutip Australia Network News mengharapkan Pemerintah Australia dapat melakukan proses negosiasi dengan Indonesia untuk mencari masa depan Papua Barat.

Australia juga diketahui telah menginisiasi pembentukan kaukus parlemen internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua (International Parliamentarians for West Papua / IPWP). IPWP diluncurkandi Canberra tanggal 28 Februari 2012 ( Kompas.com , 17 April 2012).

Kaukus ini beranggotakan sejumlah politikus lintas partai politik dari sejumlah negara, antara lain Ricard Di Natale dan Bob Brown dari partai Hijau Australia, Powes Parkop dari Papua Nugini (PNG), Rahl Regenvanu (Vanuatu), Chaterine Delahunty (New Zeland).

Di pasifik selatan, Vanuatu merupakan salah satu negara yang konsisten dan terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Vanuatu telah berusaha mendukung masuknya Papua kedalam organisasi MSG (Melanesian Spearhead Group).

Marinus Yaung, pengamat Politik Papua dari Uncen Jayapura kepada koran lokal Bintang Papua 14 Agustus 2014 dan dirilis papuapost.com mengatakan, berdasarkan pengamatannya, isu Papua Merdeka di negara Vanuatu telah menjadi komoditi politik para elit politik di Vanuatu untuk memperebutkan kursi kekuasaan perdana menteri.

Isu Papua Merdeka yang disuarakan di Vanuatu, tidak untuk kepentingan orang Papua, tetapi untuk kepentingan politik para elit politiknya. Hampir sebagian besar Perdana Menteri Vanuatu yang terpilih sejak Tahun 1986 sampai sekarang, selalu menjadikan isu Papua Merdeka sebagai isu kampanye politiknya untuk mendapatkan kepercayaan parlamen dan rakyat Vanuatu.

Dalam MSG Summit di Port Moresby Juni 2014, pengajuan kembali proposal kelompok gerakan Papua merdeka untuk menjadi anggota MSG lagi-lagi ditolak. MSG meminta agar proposal itu harus diajukan oleh sebuah organisasi resmi yang mempresentasikan seluruh elemen perjuangan masyarakat asli Papua.

Keputusan MSG ini kemudian ditindaklanjuti oleh Perdana Menteri Vanuatu yang baru, Joe Natuman dengan memfasilitasi pertemuan rekonsiliasi seluruh komponen perjuangan Papua Merdeka di Port Villa, Vanuatu, namun hingga kini, pertemuan dimaksud belum juga digelar.

Menurut Marinus, jika sampai Oktober 2015 tidak ada lagi 1-2 negara yang ikut bersama Vanuatu mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua, Papua tidak masuk menjadi anggota MSG. Maka semua orang Papua harus mengecam dan mengutuk negara Vanuatu bersama-sama para elit politiknya yang hanya menjadikan orang Papua sebagai bagian dari strategi eksploitasi politik mereka.

Jauh sebelum Negara-Negara yang disebutkan sebelumnya, Belanda-lah yang pertama membentuk tentara berisikan orang-orang Papua untuk menghadapi ancaman Trikora tahun 1961. Dan patut diduga, tentara bentukannya itulah yang kemudian bermetamorfosis menjadi OPM sekarang.

Menurut Nicolaas Jouwe, OPM didirikan oleh opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan pecahnya G-30S/PKI untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah Papua. OPM berkeyakinan bahwa Papua telah mendapatkan kemerdekaan yang diberikan oleh Belanda dan memerdekaan itu telah dideklarasikan tanggal 1 Desember 1965 oleh Nieuw Guinea Raad dimana Nicolaas Jouwe sebagai salah satu anggotanya.

Peristiwa 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa ‘negara’ Papua pernah ada, tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda


Referensi: 

Kelahiran OPM: Gerakan Spiritual Rahasia hingga Angkat Senjata - Detik News 

Negara-Negara di Balik Gerakan Papua Merdeka - Kompasiana