Laman

Rabu, 19 Desember 2018

Pembantaian Sabra dan Shatila - Ribuan Orang Palestina Diperkosa, Dibantai & Dimutilasi di Lebanon

Pembantaian Sabra dan Shatila adalah pembantaian para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada September tahun 1982, yang berlokasi di Beirut, Lebanon , yang saat itu dikuasai Israel. Pembantaian tersebut berlangsung selama tiga hari (16-18 September 1982).


Pembantaian ini dilakukan oleh para militan Kristen yang menamakan diri mereka " Maronit " yang berasal Lebanon. Pasukan-pasukan Maronit tersebut berada di bawah komando Elie Hobeika yang merupakan anggota parlemen Lebanon, yang pada tahun 1990 juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon.


Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp Sabra dan Shatila ini dikepung oleh tentara-tentara Israel yang dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).


Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. 

Kelompok Kristen Maroni yang dipimpin oleh partai Falangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan
Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).


Sementara itu, fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah ,Iran dan negara-negara lain di wilayah itu.
Sejak tahun 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.  



Sebelumnya telah terjadi beberapa kali pembantaian dalam kurun waktu itu, termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina. 

Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon selama masa perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang. 

Sabra adalah nama dari sebuah distrik pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. 

Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra dan Shatila" menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang. 

PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel. Israel membalas mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. 

Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah dalih dan alasan untuk melancarkan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran.
Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan. 

Serangan ini mendapat kecaman dari Seluruh Dunia, terutama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori Oleh Negara Paman Sam yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada Badan pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang saat itu masih tinggal di kamp-kamp pengungsi.  

Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai.
Namun, dua hari kemudian, Israel justru mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin keamanan para pengungsi Palestina yang tertinggal pada 11 September, setelah penarikan yang lebih awal dari para pasukan Paman Sam. 

Pasukan Israel melepaskan tembakan ke langit malam untuk menerangi kegelapan dan memungkinkan milisi Phalangis melancarkan kebrutalan mereka. Keesokan harinya, buldoser digunakan untuk membuang banyak mayat korban sipil. 

Milisi Phalangis akhirnya meninggalkan dua kamp tersebut pada 18 September 1982 sekitar pukul delapan pagi. Mereka membawa banyak pria yang masih hidup untuk diinterogasi di sebuah stadion sepakbola oleh agen intelijen Israel. Setelah diinterogasi, banyak tawanan ini dikembalikan ke Phalangis. Beberapa dari mereka pun dieksekusi mati. 

Keterlibatan Ariel Sharon 
(Perdana Menteri Israel ke-11)

Kemarahan internasional atas pembantaian tersebut menyeruak dan terjadi demonstrasi-demonstrasi terbesar dalam sejarah Israel. Hal tersebut membuat pemerintah Israel untuk mendirikan sebuah komisi penyelidikan. 


"Saya bersumpah, akan saya bakar setiap anak yang dilahirkan di daerah ini. Perempuan dan anak-anak Palestina lebih berbahaya dibandingkan para pria dewasa, sebab keberadaan anak-anak Palestina menunjukkan bahwa generasi itu akan berlanjut.... 
Saya bersumpah, jika saya sebagai seorang Israel bertemu dengan seorang Palestina, maka saya akan bakar dia. Dan saya akan membuatnya menderita sebelum membunuhnya." 
[Ariel Sharon, 1956] 

Pada 9 Februari 1983, komisi penyelidikan Israel menyimpulkan bahwa negara Israel dan beberapa individu Israel, termasuk Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab atas pembantaian tersebut. 

Laporan Komisi yang dikenal sebagai Laporan Kahan (The Kahan Report) yang dipublikasikan di seluruh dunia merekomendasikan agar Ariel Sharon dipecat dari jabatannya.


Perdana Menteri Begin kemudian mencopot jabatan Menteri Pertahanan Ariel Sharon meski ia tetap duduk di kursi kabinet. Namun, kenyataannya, hampir 20 tahun kemudian ia malah terpilih sebagai Perdana Menteri Israel.
Hasil investigasi tersebut mengasilkan laporan yang sangat detail dan tidak dapat dibantah. Laporan tersebut mengungkap peran Ariel Sharon dalam pembantaian ini. 

Dua hari sebelum pembantaian, Sharon telah berdiskusi dengan keluarga Gemayel tentang kebutuhan apa saja yang diminta milisi Phalangis untuk membalas dendam atas pembunuhan pemimpin mereka Bachir Gemayel.

Pada bulan Juni Tahun 2001, pengacara dari 23 orang yang selamat dari pembantaian tersebut memulai proses hukum melawan Sharon di pengadilan Belgia.

Namun, Pemimpin Phalangis Elie Hobeika yang memiliki koneksi ke Israel selama Perang Lebanon 1982, tewas dibunuh melalui sebuah bom mobil yang mededak di Beirut, Ibu kota Lebanon.


Padahal, Elie Hobeika menyatakan siap menjadi saksi dan memberikan keterangan  di pengadilan kejahatan perang, untuk menuntut Ariel Sharon yang kala itu malah naik jabatan sebagai Perdana Menteri Israel. Pembunuh Hobeika sendiri tidak pernah ditemukan.

Harapan besar para pencari keadilan tersebut di Belgia berujung kekecewaan setelah hakim Belgia menolak tuduhan kejahatan perang yang dialamatkan kepada Ariel Sharon karena dia tidak pernah hadir di Belgia.

Meski masyarakat internasional marah, tetapi peristiwa pembantaian ini tidak cukup untuk menghentikan Israel dan dimintai pertanggungjawabannya. Israel tetap bebas untuk membunuh sesuka hati. Dan dunia hanya sibuk mengecam, tanpa aksi. 

Padahal dalam laporan investigasi jelas-jelas Sharon menegaskan bahwa ia ingin menghancurkan semua kamp Palestina dan membubarkan penghuninya. Sharon juga dengan bebas menghina dan merendahkan dua wakil utama Amerika Serikat di Beirut, Duta Besar Morris Draper, yang dituduhkan ketidaksukaannya dalam menuntut bahwa Israel mundur dari Beirut Barat, dan utusan khusus Presiden Reagan, Philip Habib

Sharon berbohong ketika mengatakan bahwa daerah Shatila dan tempat-tempat serupa adalah kota-kota “hantu”. Ketika pemboman udara di Beirut mencapai puncaknya, Sharon mengatakan kepada Kabinet:

“kami tidak menyerang di daerah tempat tinggal penduduk Sunni Lebanon.”

Dia juga berbohong ketika mengatakan bahwa di kamp pengungsian merupakan bunker, dan markas besar para teroris (pejuang Palestina) berada, dan semua warga sipil telah melarikan diri. Faktanya, kamp-kamp itu penuh sesak dengan warga sipil yang tidak punya tempat lain untuk pergi. 

Pada 21 September, beberapa hari setelah pembantaian Sabra dan Shatila, dia mengatakan kepada Kabinet:

“Kami mencegah pertumpahan darah.” 

Faktanya, invasi itu adalah pertumpahan darah sejak awal. Pada akhir tahun, sekitar 19.000 orang telah tewas, hampir semuanya warga Palestina atau Lebanon. 

Pada akhir tahun 1982, Israel secara komprehensif gagal memahami Lebanon. Invasi memang berhasil mengubah situasi strategis geopolitik, tetapi tidak menguntungkan Israel. Israel berhasil mengusir PLO pergi.

Sampai ajal datang menjemput, Ariel Sharon tak tersentuh hukum untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perang yang ia lakukan di Lebanon. 


Referensi:

Dokumen Kahan Report.Pdf

Pembantaian Sabra dan Shatila - Wikipedia

Tangan Ariel Sharon dalam Pembantaian Sabra dan Shatila - Tirto.id 

Sabra dan Shatila Menjadi Martir Kebangkitan Hizbullah - Nusantara News 

Buku "Diplomasi Munafik Israel"
Paul Findley