Laman

Jumat, 14 Desember 2018

Dosa Warisan Dosa Asal - Original Sins

Dinyatakan bahwa karena Adam dan Hawa melakukan dosa, anak keturunan mereka pun jadi tercemar oleh dosa secara genetika (turun temurun) dan selamanya.


Jika Tuhan itu secara mutlak memang Maha Adil, maka di mana
letaknya rasa keadilan dengan menghukum secara kekal
seluruh anak keturunan Adam dan Hawa akibat dosa sementara yang mereka lakukan berdua dan yang untuknya mereka telah bertobat? 

Justru itu adalah dosa yang karenanya mereka berdua telah dijatuhi hukuman berat dan diusir secara hina dari surga.

Sikap adil apa namanya bagi Tuhan, yang setelah menghukum Adam serta Hawa karena dosa-dosa pribadi mereka, masih juga rasa dendam-Nya belum reda dan menghukum seluruh umat manusia dengan suatu penderitaan yang tak tertolongkan, yaitu lahir sebagai pendosa-pendosa turunan? 

Peluang apa yang dimiliki anak-anak Adam untuk melarikan diri dari dosa?
Jika kedua orangtua melakukan suatu kesalahan, mengapa anak-anak mereka yang tak berdosa itu harus menderita secara kekal akibat kesalahan tersebut?
Dengan demikian, betapa telah berubahnya rasa keadilan yang diakui dimiliki dan diterapkan oleh Tuhan, jika Dia menghukum orang-orang yang memang sudah dirancang untuk berperan penuh dosa, walau betapa pun mereka tidak menyukai dosa?

Dosa sudah merupakan bagian
dan bingkisan dalam mekanisme kehidupan. Tidak ada peluang
lagi bagi seorang anak Adam untuk menjadi suci dari perbuatan  dosa.
Jika itu merupakan suatu kejahatan, akal menuntut bahwa seharusnya hal itu merupakan kejahatan Sang Pencipta, bukan kejahatan makhluk ciptaan. Dalam bentuk demikian,
keadilan apa yang menuntut hukuman terhadap orang yang tak bersalah akibat kejahatan-kejahatan para pelaku kejahatan?

Keterangan Alkitab (Bibel) tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa dosa Adam dan Hawa serta dampak-dampak yang berlaku atas hukuman mereka.

Menurut Kitab Kejadian, Tuhan telah mengabulkan permintaan maaf mereka hanya sebagian, sedangkan sebuah hukuman kekal telah dikenakan kepada mereka, sebagaimana yang tertera berikut ini:
Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.

Lalu firman-Nya kepada Adam: "Karena engkau mendengar perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi
menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." (Kejadian 3:16-19).

Faktanya, penderitaan manusia tetap saja berkelanjutan. Jika Yesus Kristus benar telah menebus dosa-dosa umat manusia yang berdosa, apakah hukuman yang dinyatakan bagi dosa Adam dan Hawa itu telah dihapuskan setelah peristiwa Penyaliban? 

Apakah orang yang mengimani Yesus Kristus sebagai "Anak Tuhan, jika mereka perempuan, tidak lagi merasakan sakit sewaktu melahirkan? 

Apakah orang-orang yang beriman mulai memperoleh penghidupan mereka tanpa melakukan kerja keras seperti biasa?

Bagaimana mungkin Tuhan dapat mengampuni seorang pendosa hanya karena seseorang lainnya yang tidak berdosa secara sukarela telah mengambil alih hukuman tersebut?  

Jika Tuhan telah melakukannya, berarti pada saat itu Dia melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan. Seseorang yang berdosa harus menanggung dosa-dosanya itu.  

Apakah ini suatu kebijaksanaan tentang keadilan yang dinisbahkan oleh orang-orang Kristen kepada Tuhan? Rasa keadilan semacam itu atau Tuhan seperti itu sendiri sama sekali tidak dapat diterima, yang Dia sendiri telah menciptakannya, tanpa mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Sebuah Negara (Pemerintah, Kerajaan) saja memberikan Amnesti (pengampunan) terhadap pelaku kejahatan. Namun amnesti itu sendiri tidak membenarkan sikap pengampunan terhadap orang-orang yang telah melakukan beberapa kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan yang telah mengakibatkan penderitaan terhadap sesama manusia lainnya yang tidak berdosa. 

Jika sikap memberi pengampunan dapat dibenarkan dalam ukuran apa pun oleh suatu pemerintahan dan jika hal itu tidak dianggap oleh para theolog Kristen sebagai suatu pelanggaran terhadap rasa keadilan, maka mengapa mereka tidak mengalamatkan kebaikan yang sama itu terhadap Tuhan dan menyerahkan kepada-Nya hak untuk memberi ampunan bagaimana dan kapan saja Dia kehendaki? Padahal Dia adalah Maha Kuasa, Pencipta dan Pemilik segala sesuatu. Jika Dia mengampuni  seseorang atas suatu kejahatan yang telah dilakukan orang 
itu terhadap orang lain, Sang Maha Kuasa ini memiliki kekuatan tak terbatas untuk mernberikan ganti rugi terhadap pihak yang telah dirugikan dengan cara demikian baik, sehingga membuat orang (yang dirugikan) itu benar-benar puas terhadap keputusan-Nya. 

Dengan demikian apa perlunya pengorbanan Anak-Nya yang tidak berdosa itu? Hal ini sendiri sudah merupakan suatu penghinaan terhadap keadilan. Kita terlahir dengan fitrah dengan sifat-sifat Tuhan. Dia telah menyatakan dalam Alkitab Bibel:

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita." (Kejadian 1:26) 

Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa tuntutan keadilan ini telah diterapkan oleh Tuhan-Bapak dalam kasus Yesus Anak Tuhan? Jika memang demikian, berarti seluruh hukuman bagi segenap pelaku kejahatan dari kalangan Kristen yang telah lahir pada zaman Kristus atau yang lahir sesudah itu hingga Hari Kiamat, telah dihimpun, dipadatkan dan dikumpulkan menjadi suatu bentuk neraka yang begitu hebatnya sehingga penderitaan Yesus Kristus yang hanya tiga hari tiga malam itu telah mengimbangi siksaan seluruh hukuman yang sepantasnya telah diterima maupun yang bakal diterima oleh para pelaku dosa tersebut di atas hingga Hari Kiamat. 

Jika demikian, seharusnya tidak ada orang Kristen yang pernah mengalami hukuman di bumi ini dari suatu pemerintahan Kristen manapun. Jika tidak, hal itu akan sama saja seperti suatu sikap yang sangat tidak adil. Yang seharusnya dilakukan oleh pengadilan setelah menjatuhkan keputusan bersalah (terhadap orang warga Kristen) adalah meminta orang Kristen pelaku kejahatan itu supaya berdoa kepada Yesus Anak Tuhan agar menyelamatkannya. Dan perkaranya harus dihentikan dan ditutup setelah itu. Hal itu sesederhana kasus pengalihan buku dan rekening kejahatan seseorang kepada buku rekening Yesus Kristus. 

Apakah seluruh kejahatan ini telah dialihkan kepada Yesus Kristus, semoga keselamatan dan berkat Allah berada atasnya? Apakah seluruh dosa tersebut telah tercakup dalam penderitaan yang dialami Yesus pada masa singkat selama tiga hari dan tiga malam? Tetap saja orang merasa aneh bagaimana mungkin suatu lautan luas para pelaku kejahatan yang begitu hebatnya dibuat pahit oleh racun kejahatan yang mematikan, telah dibuat menjadi manis dan sepenuhnya dibersihkan dari dampak-dampak kejahatan mereka hanya melalui sikap mereka yang mengimani Yesus. 

Sekali lagi, pemikiran seseorang ditarik jauh ke masa lampau, ketika Adam dan Hawa yang malang, dengan begitu lugunya telah melakukan pelanggaran pertama mereka hanya dikarenakan mereka telah ditipu dan dijebak secara licik oleh setan. Kenapa dosa mereka pun tidak turut dibersihkan? Tidakkah mereka itu memiliki keimanan terhadap Tuhan? Apakah memiliki keimanan terhadap Tuhan Bapak merupakan suatu amal baik yang kecil, dan apakah merupakan kesalahan mereka bahwa kepada mereka tidak pemah diberitahukan tentang keberadaan seorang "Anak” yang hidup secara abadi dan azali bersama Tuhan Bapak? 

Mengapa Tuhan Anak tidak mengasihani mereka dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menghukum Tuhan Anak demi kejahatan-kejahatan mereka? Betapa mungkin seseorang menginginkan hal itu terjadi, padahal lebih mudah untuk dihukum atas suatu kejadian tidak mengenakan yang dialami Adam dan Hawa. 

Seluruh kisah umat manusia tentu dapat ditulis kembali dalam buku takdir. Suatu dunia yang surgawi akan tercipta, dan Adam serta Hawa tidak akan dibuang selamanya dari
surga, beserta seluruh anak keturunan mereka yang tidak bahagia dan yang tidak terhingga jumlahnya. Yesus sendiri terusir dari surga hanya untuk tiga hari dan tiga malam, dan seharusnya demikian. Sayangnya hal ini tidak terpikirkan oleh Tuhan Bapak maupun Yesus. 

Lihatlah, bagaimana dedikasi Yesus dan kenyataan (realita) yang menarik itu telah diubah menjadi suatu dongeng yang aneh dan tidak dapat dipercaya.

Sungguh nyata perbedaan mengenai keadilan, yang terdapat dalam ajaran-ajaran Yahudi. Mata dibalas dengan mata; gigi dibalas dengan gigi. Itulah keadilan, yang murni, sederhana dan tidak melemahkan. Sungguh suatu
peralihan yang dramatis dari ajaran-ajaran Yahudi tersebut kepada ajaran Kristen yang memerintahkan supaya memberikan pipi sebelah lagi jika satu pipi ditampar. 

Siapa yang telah memberikan ajaran terakhir itu yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Taurat sebelumnya? Orang menjadi bingung, apakah ajaran pertama dalam Taurat, suatu ajaran
yang berasal dari Tuhan Bapak, sama sekali bertentangan dengan ajaran Perjanjian Baru, suatu ajaran yang berasal dari Kristus "Tuhan Anak?" 

Jika demikian, mengapa Tuhan Anak begitu jauh berbeda dari Bapaknya? Haruskah pertentangan ini dianggap sebagai suatu kerusakan genetika atau suatu perubahan evolusi, atau apakah sikap Kristen terhadap pengampunan mutlak, yang sama sekali bertentangan
dengan penekanan agama Yahudi terhadap pembalasan dendam itu, merupakan suatu contoh perubahan yang sangat nyata di pihak Tuhan Bapak? 

Dia tampaknya sangat menyesali apa yang telah Dia ajarkan kepada Musa dan para Ahli kitab, dan tampaknya Dia ingin sekali memperbaiki
kesalahan-Nya itu. Tuhan itu tidak hanya Maha Kuasa, Tuhan juga Maha Adil Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia tidak membutuhkan bantuan pihak luar untuk mengampuni orang yang berdosa.  

Yesus Tidak Mungkin Dapat Menebus Dosa
Selain itu, bagaimana mungkin Yesus dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa sedangkan dia memiliki ibu manusia? Jika dosa Adam dan Hawa telah mencemari seluruh keturunan pasangan yang malang itu, maka sebagai dampak alamiahnya seluruh anak laki-laki dan perempuan harus mewarisi kecenderungan genetika terhadap dosa. 

Kaum wanita barangkali lebih cenderung dalam hal itu, sebab Hawa-lah yang telah menjadi alat syaitan untuk memperdayai Adam. Oleh sebab itu tanggung jawab dosa jatuh sepenuhnya pada pundak Hawa, dibandingkan Adam. 

Dalam kasus kelahiran Yesus, jelaslah bahwa seorang anak perempuan Hawa (Maria) yang memainkan peranan besar.

Pertanyaan yang timbul dengan sangat kuat adalah, apakah Yesus mewarisi dosa dari ibunya yang manusia itu atau tidak? Jika ya, maka tidak mungkin baginya melarikan diri dari dosa warisan yang tak terelakkan itu. Jika
dia tidak mewarisi dosa dari ibunya atau dari Tuhan Bapak, maka tentu kelahirannya itu menjadi keajaiban dua kali lipat. 

Hanya suatu keajaibanlah yang dapat menciptakan seorang anak yang bukan berasal dari bapaknya maupun dari ibunya..Andaikan hal itu terjadi, dan Yesus memiliki kondisi yang suci dari dosa yang dibutuhkan untuk memikul dosa-dosa umat manusia, dalam keadaan mereka mempercayai Yesus dan bukan sebaliknya, maka masalah 
lain akan muncul: "Seseorang dapat saja bertanya, bagaimana
nasib anak keturunan Adam dan Hawa yang telah mati sebelum kebangkitan Kristen? 

Miliaran jumlah mereka yang
telah tersebar di seluruh dunia, di lima benua, generasi demi generasi. Mereka telah hidup dan mati tanpa memiliki
harapan ataupun kemungkinan pernah mendengar tentang Kristus, Juru Selamat mereka yang belum lahir saat itu. 

Pada kenyataannya seluruh umat manusia antara Adam dan Kristus tampaknya benar-benar telah mengalami malapetaka abadi. Mengapa kepada mereka tidak pernah diberikan
peluang yang kecil sekali pun untuk memperoleh pengampunan? Akankah kepada mereka diberikan ampunan
berlaku surut oleh Yesus Kristus? Jika benar demikian, mengapa?

Berkali-kali diberitahukan kepada kita, Yesus mempersembahkan dirinya secara sukarela kepada Tuhan Bapak dan dijadikan sebagai tumbal
bagi dosa-dosa seluruh umat manusia, yang tentunya diperuntukkan buat mereka yang mempercayai Yesus.
Bukannya kita mendapati sikap Yesus sebagai relawan atau martir,
justru yang kita saksikan adalah seorang Yesus yang merintih, menangis, berdoa, dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menjauhkan cawan pahit kematian itu darinya. 

Dia benar-benar mengecam seorang muridnya ketika dia mendapatkan muridnya itu tertidur setelah mengalami suatu lari yang panjang dan penderitaan sepanjang malam yang
gelap-gulita sehingga tidak memperhatikan Yesus, junjungan
sucinya. 

Maka sampailah Yesus bersama-sama muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Yesus melakukan taktik bertahan, memempatkan muridnya diposisi strategis melakukan strategi pertahanan, selagi Yesus berdoa kepada Allah agar menyelamatkanya dari cawan kematian.


Ia berkata kepada murid-muridnya: "Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan ia membawa Petrus dan kedua anak 
Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar,
lalu katanya kepada mereka: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku." Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu  dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan dia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan: ruh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau cawan ini tidak mungkin berlalu, kecuali apabila aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika ia kembali pula, ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka disitu lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (Matius 26:36-43)

Demikianlah, seperti yang diungkapkan sendiri oleh cerita Kristen, doa-doa dan permohonan Yesus maupun murid-muridnya tidak dikabulkan oleh Tuhan Bapak, dan
mau tidak mau, walaupun Yesus mengungkapkan pernyataannya yang kuat, dia akhirnya telah disalibkan.
Apakah dia orang yang sama, pangeran tak berdosa yang sama, dan tokoh suri tauladan pengorbanan yang dengan
gagah berani mempersembahkan dirinya secara sukarela untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia di atas kedua pundaknya, ataukah dia orang yang lain? 

Sikapnya, pada saat-saat menjelang penyaliban dan selama peristiwa
penyaliban itu sendiri, dengan kuat menebarkan bayang-bayang keraguan, mengenai identitas Yesus Kristus maupun mengenai hakikat dongeng yang beredar di seputar dirinya.

Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku. (Matius 27:46)


Pertanyaanya, Siapa yang telah memanjatkan doa-doa dan jeritan yang sangat pedih dan menyentuh itu? Apakah Yesus sebagai manusia, ataukah Yesus sebagai Tuhan Anak?
Apakah dia mati pada detik terlepasnya ruh Yesus Tuhan Anak dari tubuh manusia yang telah dia duduki? Jika ya, mengapa dan bagaimana? Jika memang demikian dan tubuh manusialah yang telah mati setelah ruh Tuhan meninggalkannya, maka
pernyataan yang muncul adalah: Siapa pula yang telah dihidupkan kembali dari kematian ketika ruh Tuhan mendatangi kembali tubuh yang sama beberapa saat kemudian?

Jika menganhmen bukanlah Yesus Tuhan Anak yang merasakan penderitaan saat itu, tetapi tokoh Yesus sebagai manusialah yang merintih dalam penderitaan sedemikian rupa, dan dialah yang merasakan penderitaan, sementara
Yesus Tuhan Anak menyaksikannya dengan sikap tidak acuh  dan tidak peduli sama sekali. Lalu bagaimana dia dapat menggenapi pendawaan bahwa dialah Tuhan Anak yang telah menanggung penderitaan demi umat manusia, bukan tokoh manusia yang berada dalamnya? 

Jika menganggap menganggap bahwa Yesus Tuhan Anaklah yang merintih itu, sementara tokoh manusia yang berada dalam dirinya, mungkin berharap dapat memulai suatu kehidupan baru bagi dirinya sendiri, menyaksikan dengan dugaan yang tidak menentu, sepanjang pengorbanan yang dilakukan Yesus Tuhan Anak, maka dia, Yesus sebagai manusia, dia suka atau tidak, juga akan dibunuh di atas altar rekannya yang tidak berdosa. Rasa keadilan apa yang telah mendorong Tuhan untuk membunuh dua ekor burung dengan batu yang sama, mungkin suatu misteri yang lain lagi.

Jika itu merupakan Yesus Tuhan Anak, dan memang dialah menurut kesepakatan umum gereja-gereja Kristen, maka persoalan kedua yang muncul dari jawaban pertama
adalah tentang identitas pihak kedua yang terlibat dalam ucapan Yesus (Matius 26:39,42). 

Ada dua pilihan: 

Pertama, Tuhan Anak berbicara kepada Tuhan Bapak, mengeluhkan bahwa dia telah ditinggalkan pada saat dia membutuhkan. Hal ini dengan tidak terelakkan lagi menggiring kita untuk mempercayai bahwa mereka merupakan dua tokoh berbeda yang tidak hidup bersama dalam satu kepribadian yang saling tergabung, yang secara sepadan bersama-sama memiliki semua sifat dan menerapkannya secara beriringan dengan andil yang seimbang. Satu tokoh tampil sebagai wasit agung, pemilik terkuat kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusan-
keputusan. Yang satu lagi, Tuhan Anak yang malang, tampaknya darinya telah dicabut secara penuh, atau mungkin secara sementara telah dilepaskan hak-hak kepemilikannya terhadap sifat-sifat kuasa yang dimiliki Bapaknya. Hal utama yang tetap harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa keinginan dan kemauan-kemauan mereka 
yang saling bertentangan tampak paling banyak bertabrakan dan berselisih satu sama lain selama babak akhir dari drama penyaliban. 

Persoalan kedua adalah, apakah kedua tokoh yang berbeda itu, dengan pemikiran-pemikiran pribadi masing-masing, nilai-nilai pribadi masing-masing, dan kapasitas-kapasitas pribadi masing-masing merasakan keperihan dan penderitaan jika mereka merupakan "dua dalam satu" dan "satu dalam dua?" Jadi, persoalan lain menuntut dialog panjang di antara para theolog mengenai kemungkinan
bahwa Tuhan mampu merasakan keperihan dan hukuman. Bahkan walaupun Dia mampu melakukan hal itu, hanya separuh Tuhan yang akan merasakannya, sementara yang 
separuh lagi (Yesus) tidak mampu melakukan, karena memang sudah demikian strukturnya atau kemutlakan
alamiahnya. Sebagaimana kita masuk lebih jauh ke dalam dunia bayangan dari falsafah yang berbelit ini, cahaya mulai semakin redup dan redup, serta kita mendapatkan kebingungan demi kebingungan.

Masalah lain adalah, dengan siapa Kristus berbicara, padahal dia sendiri adalah Tuhan? Ketika dia berbicara kepada Bapaknya, dia sendiri merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari sang Bapak, demikianlah yang diberitahukan
kepada kita. Jadi, apa yang dia katakan dan kepada siapa? 

Pertanyaan ini harus dijawab dengan suatu akal sehat yang bebas, tanpa dipaksa oleh dogma. Hal itu menjadi sebuah dogma hanya apabila tidak dapat diuraikan dalam istilah-istilah [pemahaman] manusia. Berdasarkan penyataan Bible, ketika Yesus hampir melepaskan nyawanya, dia merintih kepada Tuhan Bapak: "Mengapa Engkau telah meninggalkan
aku?" 

Siapa yang telah meninggalkan, dan siapa yang telah ditinggalkan? Apakah Tuhan telah meninggalkan Tuhan?
Jelaslah, tidak dampak apapun mengatakan bahwa sebagai manusia yang secara nyata terpisah dari pasangan Tuhannya, dia tentu telah melakukan dosa secara terpisah dengan seluruh tanggung jawab akan dosa di atas pundaknya sebagai manusia. Skenario ini tidak akan sempurna tanpa memaparkan Yesus Tuhan Anak mengalami kematian; cukup mementingkan diri sendiri tampaknya demi umat manusia tetapi yang menjadi pertimbangan utamanya
mungkin demi saudaranya yang separuh itu, yakni tokoh manusia yang ada dalam dirinya. 

Semua ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk mencernanya secara intelek. Namun, sudut pandang kami tidak menampilkan masalah-masalah seperti itu. 

Adalah Yesus tokoh manusia yang tidak berdosa di situ tanpa dualisme dalam dirinya yang melontarkan rintihan keheranan dan penderitaan tersebut.
Pada malam sebelum musuh-musuhnya bermaksud membunuh beliau melalui penyaliban, kita
mendengar bahwa beliau berdoa sepanjang malam, didampingi seluruh muridnya, sebab kebenaran pendawa'an beliau sedang dipertaruhkan. 

Telah dikatakan dalam Perjanjian Lama bahwa seorang pendusta yang mengaitkan hal-hal tertentu terhadap Tuhan yan Dia sendiri tidak  pernah mengatakannya, akan digantung di sebuah tiang dan 
dengan itu menjalani kematian yang terkutuk: Namun seorang nabi yang menganggap dirinya mengucapkan 
atas nama-Ku sesuatu yang tidak pemah Aku perintahkan kepadanya untuk diucapkan, atau seorang nabi yang berbicara atas nama tuhan-tuhan lain, harus dihukum mati. (Ulangan 18:20). 

"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kau gantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau mengubur dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. (Ulangan 21:22,23). 

Yesus mengetahui, jika hal ini terjadi, orang-orang Yahudi akan merayakannya dengan gembira dan
menyatakan dirinya seorang pendusta yang kepalsuannya telah terbukti secara jelas berdasarkan kitab-kitab samawi. 

Inilah sebabnya mengapa dia sangat gelisah untuk menyelamatkan diri dari cawan kematian yang pahit; bukan
karena pengecut tetapi karena takut bahwa umatnya akan terkecoh dan gagal mengenali kebenarannya apabila dia mati terkutuk digantung di atas salib. 

Sepanjang malam dia berdoa dengan begitu memilukan dan begitu tidak berdayanya, sehingga dengan membaca tentang penderitaan dan kesengsaraannya itu, hati jadi tersaya-sayat. Namun pada saat drama kehidupan nyata itu mendekati saat kehidupan terakhirnya, puncak ketegangan emosinya, kekecewaan dan ketidakberdayaannya secara penuh telah ditampilkan dalam rintihannya yang terakhir:

"Eli, Eli, lamma sabaktani? " yang artinya, "Tuhan-ku, Tuhan-ku, mengapa Engkau telah meninggalkan aku?" 

Hendaknya dicatat bahwa bukan penderitaan saja yang tergambar dalam rintihan itu, tetapi jelas di situ tercampur unsur keterkejutan, mendekati kengerian.

Dari hal di atas jadi sangat jelas bahwa konsep-konsep Dosa Warisan dan Penyaliban hanyalah berlandaskan pada dugaan dan khayalan para theolog Kristen pada masa belakangan. Sangat mungkin bahwa hal-hal itu muncul dari beberapa dongeng sebelum Kristen yang memiliki sifat sama, yang ketika diterapkan pada kondisi-kondisi Yesus Kristus, menarik mereka untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang dekat antara keduanya dan menciptakan sebuah dongeng yang serupa. 

Ringkasnya, apa pun misteri (hal yang belum terbuka) dan paradoks (hal yang ber lawanan dengan asas) yang ada, seperti yang kita saksikan, sebegitu jauh tidak ada bukti bahwa falsafah Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa itu berlandaskan pada sesuatu yang telah dikatakan atau telah dilakukan atau telah dipikirkan oleh Yesus. Dia tidak pernah mengajarkan hal yang sangat bertentangan itu.

Apakah Tuhan Bapak Juga Menderita?
Memperhatikan sifat Tuhan Anak, kita tidak dapat mempercayai bahwa dia dicampakkan ke dalam api neraka, sebab hal itu akan berarti suatu pertentangan dalam dirinya sendiri.


Kembali pada konsep dasar kekristenan, kita melihat bahwa telah dikatakan, Tuhan dan Tuhan Anak merupakan dua tokoh tetapi memiliki sifat dan zat yang sama. Tidak mungkin satu tokoh mengalami suatu peristiwa
sedangkan yang satu lagi tidak mengalaminya. 

Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa satu segi dari Tuhan, yakni
Tuhan Anak, telah mengalami penyiksaan, sementara Tuhan
Bapak tetap tidak cedera? Jika Dia tidak mengalami penderitaan, hal itu sama dengan terbelahnya Keesaan Tuhan.
Konsep Tiga dalam Satu (Trinitas) lebih tidak dapat dibayangkan lagi, sebab pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh masing-masing unsur dalam Trinitas tersebut begitu berbeda dan jauh satu sama lain, sehingga tidaklah mungkin bagi satu tuhan untuk berada dalam api neraka yang menyala-nyala dan pada saat yang sama tuhan yang
satu lagi benar-benar jauh dan tidak tersentuh oleh api tersebut. 

Tidak ada pilihan lain bagi umat Kristen zaman sekarang kecuali mengorbankan Keesaan Tuhan dan
mempercayai tiga tuhan yang berbeda seperti para penyembah berhala sebelum zaman Kristen, misalnya orang-orang Romawi dan Yunani - atau tetap jujur terhadap diri mereka sendiri dan percaya bahwa Tuhan adalah satu, dan dua segi yang dimiliki Tuhan tidak dapat mengalami kondisi-kondisi yang saling bertentangan. 

Apabila seorang anak mengalami penderitaan, tidak mungkin bagi ibu untuk tetap diam dan tenang. Dia pasti menderita juga, kadang-kadang
lebih menderita dari si anak. 

Apa yang terjadi pada Tuhan Bapak ketika Dia membuat Anak-Nya mengalami penderitaan selama tiga hari di neraka? Apa yang telah
terjadi pada Tuhan Anak? Apakah Dia telah dipecah menjadi dua person (pribadi) dengan dua bentuk dan substansi [yang berbeda]? Satu person mengalami penderitaan di neraka
sedangkan yang satu lagi benar-benar berada di luar, sama sekali tidak mengalami penderitaan? 

Apabila Tuhan Bapak juga menderita lalu apa perlunya menciptakan anak? Jadi ini
adalah pertanyaan yang langsung. Mengapa tidak Dia tanggung sendiri penderitaan itu? Mengapa Dia harus membuat sebuah rencana sulit seperti itu untuk memecahkan masalah pengampunan?

Neraka
Berikut ini, persoalan neraka, yang menurut doktrin Kristen, Yesus telah ditahan dalamnya, harus diteliti lebih cermat. Neraka jenis apa itu, apakah sama dengan neraka yang kita baca di Perjanjian Baru, yang mengatakan:

"Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya untuk mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan di Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan ada ratapan dan hentakan gigi. (Matius 13:41-42). 

Sebelum kita maju lebih lanjut, harus dipahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh Perjanjian Baru dengan azab api atau azab neraka. Apakah itu api yang membakar ruh ataukah api lahiriah yang membakar tubuh sehingga dengan demikian api itu menyiksa ruh? Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa sesudah mati kita akan kembali ke tubuh semula yang telah ditinggalkan ruh untuk hancur menjadi tanah dan debu, atau akankah diciptakan suatu tubuh baru
untuk masing-masing ruh dan apakah orang yang dibangkitkan kembali itu akan mengalami semacam reinkarnasi? 


Jika itu merupakan api lahiriah dan suatu azab badaniah, maka orang terpaksa menarik imajinasinya sampai ke batas akhir untuk membayangkan apa yang mungkin telah terjadi dalam kasus Yesus Kristus. Sebelum Yesus dijerumuskan ke dalam api, apakah ruhnya telah dimasukkan kembali ke dalam tubuh manusia yang telah
Yesus tumpangi terus sepanjang hidupnya di bumi, atau apakah Yesus dengan cara tertentu telah dipindahkan ke dalam suatu tubuh samawi? 

Jika kasusnya adalah tubuh samawi, maka tubuh samawi tersebut tidak dapat disentuh oleh api lahiriah neraka untuk dihukum, diazab ataupun
dihancurkan. Sebaliknya jika kita menerima skenario bahwa tubuh manusia yang Yesus diami itulah yang akan dibentuk kembali bagi Yesus untuk menjadi semacam medium/sarana guna merasakan azab neraka, maka orang tidak dapat luput
mencatat suatu serangan lain yang dilakukan terhadap asas keadilan Ilahi. 

Sungguh malang si manusia itu, pertama-tama dirinya telah dibajak sepanjang hidupnya oleh suatu ruh
asing, tetapi kemudian sebagai imbalan dari sikapnya yang mau menampung ruh asing tersebut yang dipaksakan
kepadanya, dia akan dibakar dalam neraka demi suatu kejahatan yang tidak dia lakukan. Pahala atas
pengorbanannya itu telah dikuasai sepenuhnya oleh si penumpang asing yang bernaung dalam dirinya. Sekali lagi, bagaimana nasib ruh si manusia itu? Barangkali dia tidak punya suatu ruh miliknya sendiri. Jika dia tidak punya, maka manusia yang ada dalam Yesus dan Tuhan yang ada dalam
Yesus seharusnya satu dan merupakan tokoh yang sama; sedangkan dalil yang mengatakan bahwa Yesus kadang-
kadang bersikap atas dorongan-dorongan nurani manusianya
dan kadang-kadang atas kehendak Ilahi, telah gugur. 

Satu-satunya konsep yang dapat diterima oleh akal adalah, satu
ruh dan satu tubuh adalah sama dengan satu orang/tokoh. 

Dua ruh dan satu tubuh adalah suatu pemikiran aneh yang hanya dapat dipaparkan oleh orang-orang yang percaya bahwa manusia dapat ditumpangi/dirasuki oleh hantu-hantu
atau makhluk-makhluk sejenisnya.
Jika pilihan kedua lebih dapat diterima oleh para theolog Kristen – yakni menganggap bahwa hanya ruh Yesuslah yang telah masuk ke dalam neraka dan nerakanya pun adalah
neraka ruhani – maka tampaknya tidak ada alasan mengapa kita harus menolak gagasan ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. 

Akan tetapi neraka ruhani hanya tercipta melalui keperihan-keperihan hati nurani atau rasa bersalah. Dalam
kasus Yesus Kristus, tidak satu pun yang dapat diterapkan.
Jika anda mendapat hukuman atas kejahatan orang lain, anda sebagai orang yang tidak bersalah, di situ bukanlah keperihan-keperihan hati nurani yang diberlakukan, melainkan sebaliknya. Ruh orang seperti itu akan bergetar dengan suatu rasa mulia dan pengorbanan diri, yang akan sama dengan surga ruhani, bukannya neraka. 

Sekarang kita kembali kepada permasalahan tubuh yang telah ditumpangi oleh Yesus dan tentang makna mati dalam kaitan dengan tubuh tersebut serta mengenai makna
kehidupan/ kebangkitan kembali dalam konteks yang sama.
Menurut pengetahuan kita, tubuh Yesus Kristus merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam kedudukan Yesus sebagai Anak Tuhan. Jika tidak, dia tidak akan memiliki landasan titik-temu bagi sisi ketuhanannya dan sisi
kemanusiaannya untuk berpadu serta memainkan peran-peran yang benar-benar berbeda dalam kondisi-kondisi
tertentu. Kadang-kadang kita menyaksikan sisi manusialah
yang memegang kendali yang.menggambarkan bahwa dia
memiliki suatu ruh tersendiri bagi dirinya. Dan kadang-kadang kita menyaksikan sisi Tuhanlah yang menegaskan keberadaannya dan mengendalikan kemampuan--
kemampuan otak serta kalbu si manusia itu. 

Sekali lagi kami menekankan bahwa hal itu hanya dapat terjadi apabila
terdapat dua tokoh berbeda terikat dalam satu wujud.

Jika dia mati selama tiga hari tiga malam maka dalam hal itu kematian harus dipahami dalam makna bahwa ruh telah dipisahkan dari tubuh, dan ruh meninggalkannya. Hal
itu berarti ruh harus meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungannya secara penuh sehingga yang tertinggal
hanyalah jasad yang tak bernyawa.

Sejauh ini masih bagus. Yesus akhimya telah dibebaskan dari kurungan dalam tubuh lahiriah seorang manusia. Pembebasan dari kurungan ini
seharusnya tidak dianggap sebagai suatu hukuman sama sekali.

Kembalinya ruh Ilahiah Tuhan Anak ke dalam perwujudan mulia yang sama, dalam bentuk apa pun tidak
dapat diperlakukan seperti kematian manusia biasa. Kematian manusia menakutkan bukanlah karena ruh
meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungan-hubungannya dengan memperoleh suatu kesadaran baru,
tetapi rasa takut tentang kematian pada dasarnya karena terputusnya secara permanen hubungan-hubungan seseorang dengan banyak orang yang dia cintai yang tertinggal di dunia
ini, serta meninggalkan hartanya dan berbagai hal yang dia cintai. .

Seringkali terjadi bahwa seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk hidup memilih lebih baik mati
daripada menjalani suatu kehidupan yang hampa.

Dalam kasus Yesus, rasa penyesalan mendalam tidak tampil. Baginya jendela-kematian telah terbuka hanya pada satu arah, yakni berupa keuntungan dan bukan kerugian.

Mengapa perpisahannya dari tubuh itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan sebagai peristiwa
yang menyengsarakan? Kembali, jika sekali dia mati dan secara hakiki, tidak secara kiasan, melepaskan nyawa,
sebagaimana yang diinginkan orang-orang Kristen agar kami mempercayainya, maka kembalinya dia ke dalam tubuh yang sama adalah suatu langkah yang paling tidak bijaksana yang diterapkan kepada Yesus. Apakah dia dilahirkan lagi ketika
dia kembali pada tubuh yang telah dia tinggalkan saat kematian?

Jika proses ini akan dinyatakan sebagai hidupnya kembali atau kebangkitan kembali bagi Yesus, maka tubuh
pun harus diabadikan juga. Namun, yang kita baca dalam Alkitab (Bible) adalah suatu kisah yang benar-benar berbeda. Menurut kisah itu, Yesus telah dibangkitkan kembali dari kematian
dengan cara memasuki tubuh yang dengannya dia telah disalibkan, dan itulah yang disebut sebagai kembalinya Yesus memperoleh kehidupan. Dengan demikian, apa artinya langkah Yesus untuk meninggalkan tubuh itu sekali lagi? Tidakkah hal itu akan sama dengan kematian kedua?

Jika perpisahan pertama dari tubuh itu merupakan kematian, sudah pasti yang kedua kalinya dia diyakini telah
meninggalkan tubuh manusia, maka seharusnya dia dinyatakan telah mengalami kematian abadi. Ketika ruh
meninggalkan tubuh untuk pertama kalinya, anda namakan hal itu kematian; ketika ruh kembali kepada tubuh semula, anda namakan hal itu kehidupan sesudah mati. Namun akan
anda namakan apa ketika ruh sekali lagi meninggalkan tubuh
yang sama dan tidak pemah kembali lagi — akankah hal itu dinamakan kematian abadi ataukah kehidupan abadi menurut istilah Kristen?

Hal itu pasti merupakan kematian
abadi dan tidak lebih dari itu. Hal itu merupakan pertentangan di atas pertentangan. Sungguh merupakan
suatu peristiwa yang sangat mengerikan!

Jika dinyatakan bahwa tubuh tersebut tidak ditinggalkan pada kali yang kedua, maka kita mendapatkan suatu
skenario aneh di dalamnya Tuhan Bapak tampil sebagai suatu wujud ruhani non badaniah yang tidak terbatas, sementara Tuhan Anak terperangkap dalam batas-batas
sempit wujud yang tidak abadi. 

Penderitaan Terbatas untuk Dosa Tak Terbatas
Dapat dinyatakan, tidak selamanya hanya penderitaan-penderitaan hati nurani saja yang menimbulkan suatu
kondisi menyedihkan dalam pikiran dan kalbu orang-orang yang peka terhadap kesalahan-kesalahan mereka.

Pada sisi lain, rasa simpati mendalam terhadap penderitaan-penderitaan orang lain juga dapat menimbulkan suatu keperihan seumur hidup bagi seseorang yang bersih dari
kejahatan secara penuh maupun sebagian, tetapi memiliki penderitaan dengan nilai ruhani yang luhur demi orang-orang lain.

Hal itu juga dapat membentuk suatu neraka yang setara. Ibu-ibu mengalami penderitaan untuk anak-anak
mereka yang sakit. Pengalaman manusia memberikan kesaksian tentang fakta bahwa kadang-kadang demi seorang anak yang cacat secara permanen, maka seluruh kehidupan
sang ibu berubah menjadi suatu neraka yang nyata.

Jadi, mengapa kita tidak dapat akui bagi Yesus kemampuan mulia untuk menanggung penderitaan demi orang-orang lain? Mengapa tidak. Namun, mengapa hanya tiga hari tiga malam
saja? Mengapa tidak selama perjalanan sementaranya di dunia, dan bahkan sebelum serta sesudah itu? Orang-orang yang mulia tidak hanya mengalami penderitaan secara
sementara dalam suatu jangka waktu maupun hari yang terbatas. Kalbu-kalbu mereka tidak tenteram kecuali mereka menyaksikan bahwa kesengsaraan itu telah dihapuskan atau
dilenyapkan secara menyeluruh.

Neraka yang kita bicarakan ini bukanlah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh seorang suci tidak berdosa; hal itu merupakan suatu nilai luhur yang pada batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang-binatang buas di hutan belantara demi sesama mereka.

Setelah beberapa uraian lagi saya akan menyudahi masalah ini, tetapi saya memiliki satu hal penting lainnya
yang akan saya singgung secara ringkas. Hukuman yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi Yesus Kristus hanya berlangsung tiga hari tiga malam, sedangkan para pelaku
dosa yang untuk mereka Yesus telah dihukum, telah melakukan dosa-dosa yang begitu mengerikan dan sekian
lama, menurut Bible, hukuman bagi mereka adalah penderitaan abadi dalam neraka. Jadi, Tuhan adil yang
bagaimana Allah itu, yakni ketika tiba saat hukuman bagi ciptaan-ciptaan-Nya, orang-orang yang bukan anak laki-laki atau anak perempuan-Nya, mereka dihukum secara abadi?

Namun ketika tiba saat hukuman bagi Anak-Nya sendiri, demi dosa-dosa yang secara sukarela telah dia pikul, tiba-tiba saja hukuman itu dikurangi. Hanya tiga hari tiga malam.

Tidak sebanding sama sekali. Jika ini yang dinamakan keadilan, maka tidak perlu ada keadilan. Bagaimana Tuhan
memandang perilaku umat manusia, yang telah Dia ciptakan melalui tangan kanan-Nya sendiri, jika mereka menerapkan keadilan seperti yang mereka pelajari dari Tuhan dengan cara memberlakukan ukuran yang berbeda bagi anak-anak mereka sendiri sedangkan bagi orang-orang lain ukurannya lain lagi?

Apakah Tuhan Bapak memandang penjiplakan yang sangat setia itu dengan rasa senang atau rasa ngeri?
Memang sangat sulit untuk menjawabnya.

Faedah Penebusan dosa
Sejauh yang berkaitan dengan dampak penyaliban Yesus Kristus  kaitannya dengan hukuman terhadap dosa,
kami telah buktikan bahwa keimanan terhadap Yesus Kristus tidak mengurangi hukuman terhadap dosa dalam bentuk apa pun, yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk Adam dan Hawa serta anak keturunan mereka. Semua ibu masih melahirkan anak mereka dengan rasa sakit dan kaum pria masih mencari nafkah dengan kerja keras. Kita dapat tinjau
hal ini dari sudut lain, yakni suatu perbandingan luas antara dunia Kristen dan bukan Kristen sejak zaman Yesus Kristus.

Tidak seorang pun dari kalangan orang yang mempercayai Yesus dapat menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam periode sejarah mana pun, yakni berupa kenyataan bahwa kaum wanita mereka melahirkan anak-anak mereka tanpa rasa sakit dan kaum pria mereka mencari nafkah tanpa kerja keras.

Mereka tidak menampakkan perbedaan apa pun dalam hal ini jika dibandingkan dengan dunia bukan Kristen.

Sejauh yang berkaitan dengan kecondongan untuk melakukan dosa, dunia orang-orang yang mengimani Kristus dibandingkan dengan dunia orang-orang yang tidak mengimani beliau, tidak membuktikan bahwa takdir untuk melakukan dosa telah dihapuskan secara menyeluruh di
kalangan orang-orang yang masuk dalam kategori beriman pada Yesus Kristus.

Sebagai tambahan, orang menjadi heran mengapa beriman kepada Tuhan telah dianggap begitu rendah derajatnya dibandingkan beriman kepada Anak-Nya.

Hal itu masih relevan khususnya pada zaman sebelum terbukanya bagi umat manusia rahasia kuno yang disimpan
erat-erat selama berabad-abad itu (bahwa Tuhan memiliki seorang Anak). Banyak orang yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya.

Demikian pula tidak terhitung banyaknya orang yang lahir di setiap agama dan negeri di bumi ini sejak
masa Kristus, yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya.

Mengapa kepercayaan terhadap Tuhan tidak memberikan pengaruh apa pun pada kejahatan manusia dan hukumannya? Sekali lagi mengapa Tuhan Bapak tidak dapat memperlihatkan kemuliaan berupa penderitaan demi para pelaku dosa, seperti yang telah ditampakkan oleh anaknya yang lebih mulia?

Tampaknya Tuhan Anak sudah barang
tentu memiliki nilai-nilai akhlak lebih tinggi (na'udzubillah –kita berlindung kepada Allah) daripada Bapaknya yang
kurang beradab. Orang dapat saja bertanya, apakah kedudukan Tuhan sedang mengalami perubahan dan masih dalam proses menuju kesempurnaan?


Disalin dari buku: 

Christianity: A Journey from Facts to Fiction

Penulis:
Mirzha T.A

Pencetak:
Raqeem Press, Tilford, Surrey, UK

Penerbit:
Islam International Publication Limited, Islamabad, Sheephatch Lane. Tilford, Surrey GU 10 ZAQ. UK (Inggris)

Tahun: 1994 

ISBN : 185372 551 X

Alih bahasa: 
Abu Thavryiba (1998)