Laman

Jumat, 07 Desember 2018

Sejarah Freeport - Perampokan Gunung Emas di Papua lebih dari 50 tahun


Kapten Johan Carstensz berlayar dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua. Tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat serta tertulis di dalam buku hariannya pada 16 Februari 1623 tentang suatu pegunungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan dan bahan tertawaan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal. Kawan-kawan Johan Carstensz berpikir, bagaimana mungkin ada salju di Katulistiwa?

Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.

Ratusan tahun usai Johan Carstensz ditertawakan, sebuah tim yang dipimpin orang Belanda bernama Hendrikus Albertus Lorentz pun mencoba mendaki pegunungan bersalju di tengan Papua itu.

Hendrikus Albertus Lorentz mengerahkan orang-orang Dayak Kenyah yang dijadikan juru angkut barang dalam ekspedisi tahun 1909. Orang-orang Dayak yang dari Kalimantan ini direkrut di Apo Kayan. Tak hanya dalam ekspedisi 1909, dalam ekspedisi orang-orang Belanda setelahnya, ekspedisi yang dipimpin Kapten Franssen Herderschee dari KNIL, orang-orang Dayak dikerahkan lagi. Tak hanya Dayak Kenyah, tapi juga Kayan. Orang-orang ini sangat kegirangan saat mereka melihat salju. Bahkan mereka ingin membawanya pulang.

27 tahun kemudian, Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang melakukan perjalanan pada 1936. Ekspedisi itu tak hanya mendaki puncak tertinggi di pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid. Yang paling penting adalah penemuan gunungan tembaga oleh Dozy, seorang ahli geologi. Penemuannya itu ditulisnya dalam sebuah laporan.

Pada 1959, laporan Dozy itu sampai ke telinga Forbes Wilson, geolog Freeport. Wilson lantas menindaklanjutinya dengan berangkat ke Papua. Ia tiba pada 1960 dan terpukau oleh “gundukan harta karun” pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu.

Dia begitu terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijuh besi, tembaga, perak serta emas.

Forbes Wilson membawa sejumlah batu dari Ertsberg pulang ke Amerika Serikat. Dari contoh-contoh yang dibawa Wilson, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung itu bakal amat menguntungkan. Modal awal pasti akan kembali hanya dalam tiga tahun.

Pengajuan ijin Freeport ke Pemerintah Indonesia menghadapi jalan buntu. Presiden Republik Indonesia, Sukarno, sedang pasang sikap keras terhadap kaum kolinialis & kapitalis Barat. Menurut Sokarno merekalah agen-agen “penjajahan gaya baru.”

Belum lagi soal perebutan wilayah di kepulauan Nusantara antara Indonesia dan Belanda. Saat itu, Sukarno getol menyerukan Trikora alias Tiga Komando Rakyat:

1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda,

2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan

3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Sampai akhirnya kekuatan politik Sukarno digembosi.
Agen intelijen Amerika Serikat (CIA) melalui oknum tentara nasional, serta peristiwa berdarah 1 Oktober 1965 G30S. Kekuasaan, secara berangsur tetapi seksama, pindah ke tangan Jenderal Soeharto. Tentu Freeport bersukacita, karena Soeharto penguasa baru Indonesia yang pro modal asing.

Baca juga: Kudeta Merangkak (creeping-coup) oleh Soeharto dan CIA terhadap Soekarno

Sejak akhir 1950an Freeport sudah mengincar Papua namun terhalang sikap keras Soekarno. Namun setelah Soekarno lengser, Soeharto yang menjadi Presiden menggantika Soekarno.

Soeharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal. UU itu asing rupanya telah disahkan sejak 10 Januari 1967.

Awal tahun 1967 tersebut Sukarno sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tergerogoti sejak awal 1966. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Soeharto adalah Ketua Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Soeharto baru ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.

Dampak jangka panjang secara ekonomi adalah: memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Kontrak karya itu ditandatangani pada 7 April 1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden.

Tahun 1970, ketika Freeport membangun infrastruktur pertambangannya, rezim Soeharto mengemis, meminta jatah pembagian saham. Pejabat-pejabat Indonesia bolak-balik Jakarta-New York demi urusan itu.

Menteri Pertambangan Prof. Soemantri Brodjonegoro berkunjung ke Amerika Serikat atas udangan Freeport. Tindakan Soemantri itu (seorang pejabat negara, atas nama negara, memenuhi undangan perusahaan swasta asing) sangat tidak patut & tidak etis.

Upaya untuk mendapatkan saham oleh rezim orde baru itu terus berlanjut. Pada 1973, Menteri Pertambangan pengganti Prof. Soemantri, Mohamad Sadli, diberi tugas “meninjau ulang” kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk Freeport.

Kontrak Freeport 

Pemerintah terikat kontrak “generasi pertama” dengan Freeport tahun 1973. Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak (sebesar 35 persen untuk tujuh tahun berikutnya, dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan.

Beberapa saat kemudian, sesudah kontrak ditandatangani, pemerintah baru menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi, agar memberikan hasil lebih banyak keuntungan bagi Indonesia.

Rezim Soeharto menginginkan saham sebesar 8,9 persen. Namun, Freeport tak langsung memenuhi permintaan Soeharto. Alasannya, perusahaan itu belum untung dan para pembeli mereka di Jepang meminta potongan harga bijih tembaga.

Tanggapan Soeharto bukan main: Ia ikut melindungi Freeport dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan minyak ke Jepang. Karena itulah, terjadi simbiosis mutualisme antara Freeport dan Indonesia. Dua tahun kemudian, Freeport memberikan jatah saham sebesar 8,5 persen dan royalti sebesar 1 persen kepada pemerintah Indonesia.

Kantor pusat Freeport di Amerika Serikat menunjuk Ali Budiardjo sebagai Kepala Perwakilan Freeport Indonesia. Ali adalah pemilik firma hukum Ali Budiardjo & Associates sekaligus kawan lama mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Sebelumnya, sewaktu Forbes Wilson melobi Soeharto untuk menambang Ertsberg, Ali jadi penyambung lidahnya. Pada 1974, ia menggantikan Wilson sebagai Presiden Direktur Freeport.

Hingga 1989, bijih-bijih tambang dari Ertsberg mengalir melalui pipa sepanjang 115 km ke Amamapare Freeport, tempat kapal-kapal pengakut menunggu. Menurut catatan International Bussines Promotion, gunung itu menghasilkan 32 juta ton bijih sebelum rata dengan tanah.

Awalnya, Freeport hanya memiliki konsesi buat menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak baru.

Belakangan diketahui bahwa Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg. Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.

Artikel ini dilansir dari laman portal berita dan jurnalisme data Tirto.id 
rilis 21 Februari 2017 
judul Freeport di Papua Adalah Warisan Daripada Soeharto
(melalui sejumlah penyuntingan mirror).


Referensi:

buku Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas (2008).

Laporan "The Conquest of Cooper Mountain" (1989):
penulis: Forbes Wilson

Laporan "Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia" (2003).
penulis: Denise Leith

buku "Jalan Baru Untuk Tambang" (2009).
penulis: Simon Felix Sembiring

"Tajuk-tajuk Mochtar Lubis"
diterbitkan Harian Indonesia Raya (1997).

buku "Pelaku Berkisah" (2005).
penyunting: Thee Kian Wie

sajak “Manusia Utama” (2011).
penyair: Y. Thendra BP

Pranala luar:
Kapten Johan Carstensz - tokohpenemu.blogspot.com