Laman

Minggu, 16 Desember 2018

Raja Dzulkarnain Bukan Alexander Agung

Kerajaan Dzulkarnain a.s adalah pemerintahan adikuasa yang tak terkalahkan dengan teknologi yang tak terbatas (innaa makkanna lahuu fil ardi wa aataynahu min kulli shay’in sababaa, 
(Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:84). 


Kerajaannya disebut At-Tababi’ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur.

Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih.  Dia mengalahkan semua bangsa yang ada saat itu, dari ujung Barat sampai ujung Timur, dimana ia menghargai mereka-mereka yang shaleh dan menghukum mereka-mereka yang menindas (tidak adil) dan tidak bermoral.
(Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:85-91) 

Dzulkarnain mengambil jalan yang lain kemudian beliau mendapati dua buah pegunungan. Maka pegunungan yang terletak antara laut hitam dan laut kaspia hanya ada pegunungan Kaukasus. Dan beliau mendapati sebuah kaum yang bahasanya susah dimengerti oleh bangsa lain. Maka kaum yang ada dibalik pegunungan itu dan susah dimengerti pembicaraanya adalah bangsa georgia.

Kemudian bangsa ini meminta tolong kepada Dzulkarnain.  Masyarakat yang menjadi korban ya’juj dan Ma’juj meminta Dhul Qarnain untuk merubah (taj’ala ) celah memisahkan mereka dengan Ya’juj dan Ma’juj (baynana wa baynahum , barisan gunung yang memiliki celah sebagai jalan tembus) menjadi sebuah penghalang (saddan , Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:94).

Dia menjawab: “a j’al baynakum wa baynahum radman,” saya akan menambal celah diantara kalian dan mereka (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:95). 

Dzulkarnain a.s menutup celah di barisan pegunungan itu dengan besi yang dipanaskan dan dicairkan yang kemudian sesudah mengering dilapisi dengan perunggu yang dipanaskan dan dicairkan. Penghalang bagi Yajuj dan Majuj terdiri dari barisan gunung dan tambalan celah yang dibuat oleh Dzulkarnain a. s (Al-Radm). 


Dzulkarnain a. s tidak menyerang Ya’juj dan Ma’juj dan menaklukan mereka seperti apa yang ia lakukan terhadap para penindas lainnya yang telah ia taklukan.

Tetapi, dia tidak melakukannya dan menyetujui permintaan untuk merubah barisan gunung itu menjadi penghalang untuk Ya’juj dan Ma’juj dengan menambal celah yang terdapat di barisan gunung itu (Al-Qur’an, Al-Kahfi, 18:95).

Ini berarti bahwa Dzulkarnain a. s mengetahui bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak dapat dikalahkan oleh manusia, walaupun oleh dirinya sendiri sebagai adikuasa dunia yang memiliki teknologi unggul yang tak terbatas. Ini juga berarti bahwa Ya’juj dan Ma’juj memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menjadi satu-satunya penguasa dunia di kemudian hari.   

Baca juga: Runtuhnya Tembok Dzulkarnain dan Keluarnya Yajuj dan Majuj

Apakah sosok Dzulkarnain yang disebutkan dalam Alquran sama dengan Alexander the Great (Alexander yang Agung) seperti kerap dipahami oleh mayoritas umat Nasrani? 

Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski plot cerita yang hakpir sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, namun keduanya adalah sosok yang jelas berbeda. 

Menurut Ibnu Katsir, Zulkarnain adalah nama gelar (julukan) bagi seorang penglima penakluk sekaligus raja saleh, yang selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Iskandar mendapat julukan “Zulqarnain” yang secara harfiah “Zul” berarti “memiliki” dan “Qarnain” berarti “dua tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara Timur dan Barat.   

Sedangkan Alexander yang Agung adalah pemimpin di abad ke-3 Sebelum Masehi (SM) yang menaklukkan dunia dari daratan Yunani, Laut Tengah, Mesir,Asia Minor, Persia hingga India Utara. Nama tersebut diabadikan menjadi kota di Mesir, Iskandariah (Alexandria). 

Alexander Agung the bukan Dzulkarnain seperti yang disebutkan dalam Alquran (QS. Al-Kahfi: 83-98).

Lagi pula, Nama 'Dzulkarnain' yang ada didalam Alquran hanya disebut Zulkarnain, tanpa Iskandar di depannya. Sehingga tidak ada dasarnya sama sekali, jika kemudian beranggapan bahwa Dzulqarnain adalah sosok Alexander, karena sekedar berdalil bahwa Iskandar merupakan Bahasa Arab dari kata Alexander. 

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang populer, tafsir Al-Qurthubi, lebih banyak menceritakan akhlak  Dzulkarnain dengan menyebutkan bahwa sejak masih kecil dan selama masa pertumbuhannya, ia memiliki akhlak yang sangat mulia. Atas segala kesalehannya, Allah mengaruniakan kepadanya segala kelebihan yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Saat itu, cita-citanya memimpin negeri yang kuat telah dicapai. Allah lalu memerintahkan untuk menyeru manusia kepada agama tauhid.

Dzulqarnain lebih dahulu masanya (daripada Alexander) adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Fakihi dari jalan ‘Ubaid bin ‘Umair –seorang tabi’in kibar (senior)– bahwa Dzulqarnain menunaikan haji dengan berjalan kaki.

Hal ini kemudian didengar oleh Ibrahim ‘alaihissalam, sehingga beliau menemuinya.  Sayangnya, setelah  Dzulkarnain meninggal dunia, imperium besar itu terpecah-belah karena ketamakan pengikut/penguasa sesudahnya yang kerap berebut kekuasaan.