Fintech berasal dari kata Financial Technology yang mengacu pada inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern.
Fintech Indonesia memiliki banyak jenis, antara lain pembayaran (payment ), peminjaman (lending ), perencanaan keuangan ( personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding ), riset keuangan dan lain-lain.
Dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan sebagai teknologi finansial atau teknologi yang mengatur suatu kegiatan dan aktivitas finansial. Jadi, pada dasarnya pengertian fintech menurut para ahli adalah suatu sistem teknologi untuk manajemen aktivitas keuangan dalam bentuk apapun.
Fintech juga merupakan suatu jenis perusahaan ataupun startup. Dengan fintech, manajemen keuangan menjadi lebih mudah. Salah satu contoh fintech yang populer sekarang adalah Paypal. Paypal, dompet online untuk membayar transaksi online memudahkan manusia bertransaksi di dunia maya.
Sejarah Fintech
internet mulai berkembang sejak tahun 1966, orang-orang mulai menyadari bahwa data finansial pun bisa diatur melalui internet. Pada tahun 1980-an, fintech mulai digunakan di beberapa bank di dunia untuk mengatur sistem keuangan mereka.
Fintech sangat membantu para bank untuk memudahkan pendataan keuangan para nasabah. Hingga pada awal 1990-an, muncullah teknologi internet broker. Suatu teknologi yang membuat orang-orang bisa membeli saham melalui internet.
Setelah broker, online banking juga muncul pada tahun 1998. Setelah memasuki awal 2000-an dan internet sudah berkembang sedemikian rupa, fintech berkembang dari dunia banking dan saham menuju ke bidang-bidang finansial yang lain seperti kredit, dompet online, ataupun crowdfunding.
Klasifikasi Fintech:
Market Aggregator.
Market aggregator adalah fintech yang digunakan untuk membandingkan produk-produk keuangan. Fintech jenis ini akan mengolah data keuangan pribadi kamu lalu akan menyarakankan apa saja produk keuangan yang tepat.
Crowdfunding.
Crowdfunding merupakan layanan fintech untuk menemukan investor dengan ide yang kamu punya.
Risk and Investment Management
Fintech jenis ini merupakan suatu finansial planner. Aset-aset yang kamu punya akan dianalisis lalu disarankan apa investasi yang tepat untuk anda.
Payment, Settlement, dan Clearing.
Ini yang cukup umum di kalangan masyarakat. Fintech jenis ini digunakan sebagai dompet online atau untuk melancarkan transaksi online. Orang juga kemana-mana hanya perlu membawa kartu.
Fintech di Indonesia
Kemunculan perusahaan fintech di Indonesia kian menjamur. Jumlahnya tumbuh tiga kali lipat hanya setahun. Pada kuartal I-2016, hanya ada 51 perusahaan, lalu di penghujung tahun jumlahnya sudah mencapai 135 perusahaan. Ruang lingkup bisnis fintech macam-macam, ada yang sekadar mempermudah metode pembayaran, menjual reksa dana
online, hingga yang memberikan kredit kebutuhan mendesak. Bisa dibilang, fintech sebagian memiliki peran seperti perbankan, asuransi, dan perusahaan pembiayaan yang digantikan oleh fintech.
Perusahaan fintech sudah muncul setidaknya lebih dari dua tahun lalu. Nama situs online Uang Teman barangkali yang cukup populer, salah satu fintech yang menyalurkan pinjaman tunai yang muncul sejak April 2015.
Pengawasan dari OJK atau lembaga apapun yang menjalankan fungsi pengawasan atas perusahaan fintech memang penting. Sebab ada konsumen dan investor yang harus dilindungi. Jika tak ada aturan dan pengawasan, bisnis pinjam meminjam uang ini bisa jadi disalahgunakan. Bisa untuk pencucian uang, atau mungkin terorisme.
Sayangnya, tak satu pasal pun dalam POJK terbaru itu yang mewajibkan atau mengharuskan fintech untuk mendaftar. Mereka yang mendaftar akan diawasi OJK di bawah naungan Direktorat Industri Keuangan Non-bank, sementara yang tidak, OJK tak akan mengawasi.
OJK memang akan mengumumkan nama-nama fintech yang terdaftar. Ini tentu akan meningkatkan kepercayaan konsumen atas fintech tersebut.
Jadi, konsekuensinya bila sebuah fintech tak mendaftar ke OJK, akan memengaruhi kepercayaan konsumen. Namun, bila konsumen sudah cukup paham tentang keberadaan dan fungsi OJK, bila tidak maka tak ada konsekuensi apa-apa. Sebuah perusahaan Fintech tetap bisa menjalankan bisnisnya, tanpa sanksi apapun.
Ada beberapa hal yang belum diatur OJK dalam beleid teranyar itu. Salah satunya adalah soal suku bunga yang dipatok fintech. Menurutnya, pihaknya tidak akan mematok suku bunga, seperti Bank Indonesia mematok bunga acuan perbankan. Jadi, fintech dibebaskan bersaing mematok suku bunga. Selain itu, OJK juga tak mengatur soal perpajakan.
Meskipun tak ada konsekuensi jika tidak mendaftar, pihaknya akan tetap mendaftarkan Taralite ke OJK. Menurut Abraham, hal itu penting untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dan juga investor di Fintech.
Hal Yang Patut Diwaspadai
kemudahan untuk mendapatkan kredit. Namun di balik kemudahan itu ada bunga tinggi yang harus dibayar oleh peminjam.
Fintech kredit online ini membidik segmen mikro dengan pinjaman rata-rata di bawah Rp 20 juta perdebitur. Sedangkan risiko kredit sektor mikro kan tinggi, apalagi peminjam bisa mendapatkan kredit tanpa agunan.
Belum semua fintech memiliki asuransi kredit semacam Jamkrindo. Ini menyebabkan jika ada debitur yang nakal dan kredit macet perusahaan Fintech harus menanggung rugi.
Pola penagihan terhadap klien disertai dengan teror dan intimidasi menjadi salah satu modus pelanggaran yang kerap terjadi.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, kasus yang diduga dilakukan perusahaan Fintect mencapai 283 kasus dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini (sejak 2017). Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sudah membentuk semacam posko pengaduan khusus sejak tahun 2016.
Pola penagihan terhadap klien disertai dengan teror dan intimidasi menjadi salah satu modus pelanggaran yang kerap terjadi.
Pelanggaran ini tak muncul begitu saja. Sejumlah hal turut menjadi penyebab pelanggaran dilakukan perusahaan fintech dengan bantuan debt collector.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, masalah ini tak bisa dilepaskan dari sikap konsumtif yang sudah akut melilit kelas ekonomi menengah di Indonesia. Kelas menengah ini, kata Rhenald, punya kebiasaan ingin cepat memiliki sesuatu lewat cara instan.
"Kecenderungannya konsumtif hanya untuk keinginan, bukan kebutuhan," kata Rhenald.
Minimnya Literasi Keuangan Masyarakat.
Selain karena konsumtif, hal lain yang jadi masalah adalah mudahnya informasi peminjaman uang melalui medium fintech didapat calon pelanggan lewat dunia maya. Ini ditambah dengan ketidaktahuan para calon peminjam membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder. Ini [karena] tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik. Sehingga mereka membeli dengan utang sesuai keinginan, bukan kebutuhan.
Analis ekonomi, Jean Baudrillard dalam karya monumentalnya, The Consumer Society . Baudrillard menilai konsumsi sebagai motif utama dan penggerak realitas sosial, politik, bahkan budaya. Untuk mengantisipasi agar tak terjebak, Budi menyarankan calon peminjam menahan diri dengan menunda atau menabung.
Pendapat senada dikatakan ahli perencanaan keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto. Eko menilai fenomena terjebak dalam perjanjian utang disebabkan lemahnya pendidikan keuangan bagi keluarga maupun pribadi. Menurutnya selama ini kampus atau sekolah ekonomi, hanya diajarkan soal pengelolaan keuangan perusahaan.
"Di luar negeri itu sudah banyak pelajaran kaya gini, bagaimana atur keuangan keluarga. Untuk apa aja fungsinya uang. Di sini, dari TK saja sudah tidak ada," kata Eko.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, pernah mengeluarkan riset berjudul Less Cash Sociey: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia (Pdf).
Wasisto Raharjo Jati menjelaskan majunya budaya teknologi dan internet membuat masyarakat Indonesia terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Jaringan internet dan perkembangan teknologi mempermudah belanja dengan uang elektronik.
"Teknologi secara jelas berperan penting mendorong konsumsi kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif. Kehadiran uang elektronik [e-money] menjadi salah satu cara mendorong masyarakat menjadi konsumtif," tulis Wasisto.
Dengan munculnya watak konsumerisme dan kemudahan e-money di dunia maya, ini jelas bikin masyarakat mudah meminjam uang secara online alias utang.
Riset Share of Wallet yang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu menunjukkan, 28 persen masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme.
Referensi:
Apa itu Fintech, Sejarah, Tujuan, dan Klarifikasinya Menurut BI - OkePedia.id
Fintech Lending, Pinjam Meminjam Online yang Makin Menjamur - Tirto.id
Faktor-Faktor yang Bikin Orang Berutang dan Diburu Debt Collector - Tirto.id
Fintech Indonesia memiliki banyak jenis, antara lain pembayaran (payment ), peminjaman (lending ), perencanaan keuangan ( personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding ), riset keuangan dan lain-lain.
Dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan sebagai teknologi finansial atau teknologi yang mengatur suatu kegiatan dan aktivitas finansial. Jadi, pada dasarnya pengertian fintech menurut para ahli adalah suatu sistem teknologi untuk manajemen aktivitas keuangan dalam bentuk apapun.
Fintech juga merupakan suatu jenis perusahaan ataupun startup. Dengan fintech, manajemen keuangan menjadi lebih mudah. Salah satu contoh fintech yang populer sekarang adalah Paypal. Paypal, dompet online untuk membayar transaksi online memudahkan manusia bertransaksi di dunia maya.
Sejarah Fintech
internet mulai berkembang sejak tahun 1966, orang-orang mulai menyadari bahwa data finansial pun bisa diatur melalui internet. Pada tahun 1980-an, fintech mulai digunakan di beberapa bank di dunia untuk mengatur sistem keuangan mereka.
Fintech sangat membantu para bank untuk memudahkan pendataan keuangan para nasabah. Hingga pada awal 1990-an, muncullah teknologi internet broker. Suatu teknologi yang membuat orang-orang bisa membeli saham melalui internet.
Setelah broker, online banking juga muncul pada tahun 1998. Setelah memasuki awal 2000-an dan internet sudah berkembang sedemikian rupa, fintech berkembang dari dunia banking dan saham menuju ke bidang-bidang finansial yang lain seperti kredit, dompet online, ataupun crowdfunding.
Klasifikasi Fintech:
Market Aggregator.
Market aggregator adalah fintech yang digunakan untuk membandingkan produk-produk keuangan. Fintech jenis ini akan mengolah data keuangan pribadi kamu lalu akan menyarakankan apa saja produk keuangan yang tepat.
Crowdfunding.
Crowdfunding merupakan layanan fintech untuk menemukan investor dengan ide yang kamu punya.
Risk and Investment Management
Fintech jenis ini merupakan suatu finansial planner. Aset-aset yang kamu punya akan dianalisis lalu disarankan apa investasi yang tepat untuk anda.
Payment, Settlement, dan Clearing.
Ini yang cukup umum di kalangan masyarakat. Fintech jenis ini digunakan sebagai dompet online atau untuk melancarkan transaksi online. Orang juga kemana-mana hanya perlu membawa kartu.
Fintech di Indonesia
Kemunculan perusahaan fintech di Indonesia kian menjamur. Jumlahnya tumbuh tiga kali lipat hanya setahun. Pada kuartal I-2016, hanya ada 51 perusahaan, lalu di penghujung tahun jumlahnya sudah mencapai 135 perusahaan. Ruang lingkup bisnis fintech macam-macam, ada yang sekadar mempermudah metode pembayaran, menjual reksa dana
online, hingga yang memberikan kredit kebutuhan mendesak. Bisa dibilang, fintech sebagian memiliki peran seperti perbankan, asuransi, dan perusahaan pembiayaan yang digantikan oleh fintech.
Perusahaan fintech sudah muncul setidaknya lebih dari dua tahun lalu. Nama situs online Uang Teman barangkali yang cukup populer, salah satu fintech yang menyalurkan pinjaman tunai yang muncul sejak April 2015.
Pengawasan dari OJK atau lembaga apapun yang menjalankan fungsi pengawasan atas perusahaan fintech memang penting. Sebab ada konsumen dan investor yang harus dilindungi. Jika tak ada aturan dan pengawasan, bisnis pinjam meminjam uang ini bisa jadi disalahgunakan. Bisa untuk pencucian uang, atau mungkin terorisme.
Sayangnya, tak satu pasal pun dalam POJK terbaru itu yang mewajibkan atau mengharuskan fintech untuk mendaftar. Mereka yang mendaftar akan diawasi OJK di bawah naungan Direktorat Industri Keuangan Non-bank, sementara yang tidak, OJK tak akan mengawasi.
OJK memang akan mengumumkan nama-nama fintech yang terdaftar. Ini tentu akan meningkatkan kepercayaan konsumen atas fintech tersebut.
Jadi, konsekuensinya bila sebuah fintech tak mendaftar ke OJK, akan memengaruhi kepercayaan konsumen. Namun, bila konsumen sudah cukup paham tentang keberadaan dan fungsi OJK, bila tidak maka tak ada konsekuensi apa-apa. Sebuah perusahaan Fintech tetap bisa menjalankan bisnisnya, tanpa sanksi apapun.
Ada beberapa hal yang belum diatur OJK dalam beleid teranyar itu. Salah satunya adalah soal suku bunga yang dipatok fintech. Menurutnya, pihaknya tidak akan mematok suku bunga, seperti Bank Indonesia mematok bunga acuan perbankan. Jadi, fintech dibebaskan bersaing mematok suku bunga. Selain itu, OJK juga tak mengatur soal perpajakan.
Meskipun tak ada konsekuensi jika tidak mendaftar, pihaknya akan tetap mendaftarkan Taralite ke OJK. Menurut Abraham, hal itu penting untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dan juga investor di Fintech.
Hal Yang Patut Diwaspadai
kemudahan untuk mendapatkan kredit. Namun di balik kemudahan itu ada bunga tinggi yang harus dibayar oleh peminjam.
Fintech kredit online ini membidik segmen mikro dengan pinjaman rata-rata di bawah Rp 20 juta perdebitur. Sedangkan risiko kredit sektor mikro kan tinggi, apalagi peminjam bisa mendapatkan kredit tanpa agunan.
Belum semua fintech memiliki asuransi kredit semacam Jamkrindo. Ini menyebabkan jika ada debitur yang nakal dan kredit macet perusahaan Fintech harus menanggung rugi.
Pola penagihan terhadap klien disertai dengan teror dan intimidasi menjadi salah satu modus pelanggaran yang kerap terjadi.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, kasus yang diduga dilakukan perusahaan Fintect mencapai 283 kasus dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini (sejak 2017). Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sudah membentuk semacam posko pengaduan khusus sejak tahun 2016.
Pola penagihan terhadap klien disertai dengan teror dan intimidasi menjadi salah satu modus pelanggaran yang kerap terjadi.
Pelanggaran ini tak muncul begitu saja. Sejumlah hal turut menjadi penyebab pelanggaran dilakukan perusahaan fintech dengan bantuan debt collector.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, masalah ini tak bisa dilepaskan dari sikap konsumtif yang sudah akut melilit kelas ekonomi menengah di Indonesia. Kelas menengah ini, kata Rhenald, punya kebiasaan ingin cepat memiliki sesuatu lewat cara instan.
"Kecenderungannya konsumtif hanya untuk keinginan, bukan kebutuhan," kata Rhenald.
Minimnya Literasi Keuangan Masyarakat.
Selain karena konsumtif, hal lain yang jadi masalah adalah mudahnya informasi peminjaman uang melalui medium fintech didapat calon pelanggan lewat dunia maya. Ini ditambah dengan ketidaktahuan para calon peminjam membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder. Ini [karena] tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik. Sehingga mereka membeli dengan utang sesuai keinginan, bukan kebutuhan.
Analis ekonomi, Jean Baudrillard dalam karya monumentalnya, The Consumer Society . Baudrillard menilai konsumsi sebagai motif utama dan penggerak realitas sosial, politik, bahkan budaya. Untuk mengantisipasi agar tak terjebak, Budi menyarankan calon peminjam menahan diri dengan menunda atau menabung.
Pendapat senada dikatakan ahli perencanaan keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto. Eko menilai fenomena terjebak dalam perjanjian utang disebabkan lemahnya pendidikan keuangan bagi keluarga maupun pribadi. Menurutnya selama ini kampus atau sekolah ekonomi, hanya diajarkan soal pengelolaan keuangan perusahaan.
"Di luar negeri itu sudah banyak pelajaran kaya gini, bagaimana atur keuangan keluarga. Untuk apa aja fungsinya uang. Di sini, dari TK saja sudah tidak ada," kata Eko.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, pernah mengeluarkan riset berjudul Less Cash Sociey: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia (Pdf).
Wasisto Raharjo Jati menjelaskan majunya budaya teknologi dan internet membuat masyarakat Indonesia terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Jaringan internet dan perkembangan teknologi mempermudah belanja dengan uang elektronik.
"Teknologi secara jelas berperan penting mendorong konsumsi kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif. Kehadiran uang elektronik [e-money] menjadi salah satu cara mendorong masyarakat menjadi konsumtif," tulis Wasisto.
Dengan munculnya watak konsumerisme dan kemudahan e-money di dunia maya, ini jelas bikin masyarakat mudah meminjam uang secara online alias utang.
Riset Share of Wallet yang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu menunjukkan, 28 persen masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme.
Referensi:
Apa itu Fintech, Sejarah, Tujuan, dan Klarifikasinya Menurut BI - OkePedia.id
Fintech Lending, Pinjam Meminjam Online yang Makin Menjamur - Tirto.id
Faktor-Faktor yang Bikin Orang Berutang dan Diburu Debt Collector - Tirto.id