Laman

Rabu, 05 Desember 2018

Kudeta Merangkak (creeping coup) Soeharto dan CIA Terhadap Soekarno

Pergantian kepemimpinan dalam suatu negara yang terjadi melalui pemilihan umum merupakan suatu peralihan kekuasaan yang wajar serta dapat dikatan demokratis. Dampak dari pemimpin yang terlalu lama berkuasa akan menumbuhkan suatu rezim otoriter. Dalam sejarah politik negara-negara di dunia, setiap penumbangan rezim otoriter, sering kali melalui proses besar yang disebut coup d’etat (kudeta).

Peralihan kepemimpinan melalui kudeta biasanya dilakukan oleh pihak militer yang bisa juga melibatkan warga sipil. Kudeta membutuhkan bantuan intervensi massa atau kekuatan bersenjata (militer) yang besar.

Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian kekuasaan. Pergantian kekuasaan di Indonesia ada yang melalui proses pemilihan umum, namun ada pula yang melalui proses penyerahan kekuasaan dalam situasi yang penuh ketegangan politik. Peralihan kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto, tidak terjadi begitu saja melalui proses yang mulus. 



Pada kurun waktu tahun 1965-1967 merupakan tahun-tahun yang penuh intrik dan ketegangan politik. Peristiwa dini hari tanggal 1 Oktober 1965 dapat dilukiskan sebagai percobaan kudeta yang gagal dari golongan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.

Tindakan yang diambil oleh Jenderal Soeharto sejak Peristiwa 30 September 1965 sampai diangkat sebagai pejabat presiden pada tahun 1967, merupakan kudeta merangkak (creeping coup). Proses kudetanya tidak langsung menghantam, melainkan secara perlahan. Bahkan setelah kekuasaan beralih, Soekarno masih berstatus sebagai presiden. Inilah dualisme kepemimpinan yang terjadi dalam kurun waktu peralihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto.



Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi titik awal bagi keruntuhan Soekarno dari panggung politik Indonesia. Peristiwa ini masih menyimpan misteri tentang pelaku dan pihak sebenarnya yang harus bertanggung jawab, namun titik awal inilah yang kemudian menghasilkan berbagai persepsi dan hasil studi menyangkut jatuhnya Presiden Soekarno sepanjang periode 1965-1967. Turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan melahirkan suatu pemerintahan baru yang memiliki semangat untuk menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang disebut sebagai Orde Baru dan melahirkan kepemimpinan baru yaitu Soeharto.

Terlihat jelas ketika pasca penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966, benar-benar dimanfaatkan oleh Soeharto sebagai pengemban surat sakti, dengan mengambil kebijakan dan keputusan politik, seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Padahal dictum dari Supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (secara teknis, bukan politis) dan bukan sebagai penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan) dari presiden Soekarno kepada Soeharto.

Peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang dikenal loyal terhadap pemerintahan Soekarno namun anti komunis. Dalam kasus Peristiwa 30 September 1965 (G 30 S) tidak ada interpretasi tunggal dan akhir. Berbagai versi bermunculan, buku putih berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya” yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara tahun 1994 merupakan salah satu versi yang kemudian menjadi acuan (brainwash/dogma/doktrin) seluruh buku pelajaran Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Menurut buku tersebut, dalang dari G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).



Harold Crouch (1978) dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia mengungkapkan bahwa menjelang tahun 1965, Angkatan Darat pecah menjadi tiga faksi. Faksi tengah yang loyal pada Soekarno (dipimpin Men/Pangad, Mayjen. A. Yani), namun menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional (konsep Nasakom). Faksi kanan bersikap menentang A. Yani yang Soekarnois, didalamnya terdapat Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto. 



Kedua faksi ini sama-sama anti PKI. Faksi yang ketiga yaitu faksi kiri yang merupakan perwira-perwira menengah ke bawah yang telah diifiltrasi oleh PKI. Peristiwa G 30 S ditujukan untuk menyingkirkan faksi tengah dan kemudian menghabisi faksi kiri yang dijadikan kambing hitam, sehingga akan melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Angkatan Darat sejak 1962 mengalami perpecahan. Terkait dengan Gerakan 30 September, unsur-unsur Angkatan Darat dan Angkatan Udara terlibat dalam aksi tersebut bersama dengan ormas-ormas PKI.



Dokumen tentang sejauh mana keterlibatan Badan Intelejen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA) dalam peristiwa penggulingan Soekarno yang dibeberkan CIA  dapat ditelusuri benang merahnya guna melacak kisah penggulingan Soekarno dan Peristiwa 30 September 1965, sebab ketentuan undang-undang Amerika Serikat sendiri yang menyatakan bahwa semua dokumen negara yang bersifat rahasia dan telah berumur 30 tahun atau lebih dapat dipublikasikan dan diketahui khalayak secara terbuka, walaupun bisa dipastikan masih banyak informasi penting yang disembunyikan, bahan-bahan itu sekarang dapat diperoleh dan dikaji lebih mendalam.



Indonesia pada tahun 1960-an termasuk Negara yang tidak disukai oleh blok barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itulah konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (Uni Soviet dan RRC). AS sedang bersiap-siap mengirimkan pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara dan juga Vietnam Utara. 

Sementara di Indonesia, Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuannya, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: “Go to hell with your aid!”. Sebagai pemimpin Negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno mengucapkan kebijakan berani: “Berdiri pada kaki sendiri (berdikari)“. Dasar sikap ini yaitu kenyataan bahwa alam Indonesia begitu kaya raya, sehingga ada harapan besar bahwa suatu saat nanti Indonesia akan makmur tanpa bantuan barat.



Presiden Soekarno saat itu juga begitu konfrontatif terhadap Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya yaitu dengan pernyataan Ganyang Nekolim (Neo Kolonialis dan Imperialis) bangsa barat. Sikap dan tindakan Soekarno dengan menyerukan Dwikora untuk Ganyang Malaysia juga menjadikan Soekarno  sebagai  tokoh  yang  mengancam  kedudukan  blok  kapitalis dikawasan Asia Tenggara dan Pasifik, akibatnya sikap AS juga jelas yaitu gulingkan Soekarno. Amerika Serikat telah berhasil gemilang dengan membendung komunisme di Eropa Barat sesuai Perang Dunia II melalui Marshall Plan-nya.



Di Dunia Ketiga, AS menemukan cara yang jauh lebih murah, cukup meneteskan dollar pada sekutu-sekutu lokalnya. AS melalui  agen rahasia mereka, yakni CIA menggunakan militer dan jenderal-jenderal lokal “our local army friends” sebagai sekutu terpercaya untuk menghalau komunisme, demikian juga yang terjadi di Indonesia.

Menurut Peter Dale Scott (1985) dalam bukunya yang berjudul Peran CIA dalam Penggulingan Soekarno menyimpulkan bahwa dalang utama Peristiwa 30 September 1965 adalah CIA yang ingin menjatuhkan Soekarno dan kekuatan komunis (teori domino). CIA bekerja sama dengan sayap kanan Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI melalui isu adanya dewan Jenderal. Keterlibatan PKI dalam hal ini tidaklah secara nasional dan institusional. Hanya para pemimpin PKI saja (D. N. Aidit, Nyoto, Ir. Sakirman, dan pimpinan PKI lainnya) yang jelas-jelas terlibat karena termakan isu yang dilemparkan CIA. Keterlibatan CIA cukup beralasan jika dikaitkan dengan konteks Perang Dingin.

Keterlibatan CIA dalam penggulingan Soekarno menurut Willem Oltmans (2001) dalam bukunya yang berjudul Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati? tidak lepas dari intervensinya terhadap militer Indonesia dengan meracuni pikiran beberapa perwira Indonesia bahwa menyingkirkan Soekarno merupakan tugas patriotik demi menghalau komunis di Indonesia. Perwira-perwira ini merupakan anggota Angkatan Darat yang memperoleh pendidikan militer AS dan para perwira daerah yang bekerja sama dengan CIA dalam melaksanakan program civic mission membendung kekuatan komunis di daerah. Bahkan CIA berhasil meyakinkan salah seorang perwira yang memegang tampuk pimpinan militer pasca peristiwa Gerakan 30 September yaitu Soeharto, bahwa PKI-lah yang bersalah dan harus disingkirkan bersama dengan Soekarno yang enggan mengutuk keterlibatan PKI dalam peristiwa tersebut.

Dalam pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarnodi depan Sidang Umum IV MPRS tanggal 22 juni 1966 yang berjudul Nawaksara (Sembilan Laporan Pokok) dan Pelengkap Nawaksara tanggal 10 Januari 1967, Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa Peristiwa G 30 S itu ditimbulkan oleh pertemuan tiga sebab, yaitu keblingeran pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim (AS/CIA dan sekutunya), dan adanya oknum-oknum dalam Angkatan Darat yang tidak benar. Jelaslah bahwa Soekarno sendiri juga tidak menutup kemungkinan adanya pihak asing, khususnya AS melalui CIA, turut andil dalam upaya menggoyahkan kedudukan dirinya sebagai presiden.



Dari berbagai versi yang ada, cukup masuk akal bila dikatakan tidak ada pelaku tunggal dalam Peristiwa 30 September 1965. dalam konteks Perang Dingin, keterlibatan unsur AS (CIA) sangatlah mungkin, demikian juga dengan peran elit pengurus PKI, dan adanya persekongkolan suatu kelompok kecil dalam Angkatan Darat dan Angkatan Udara yang mencoba menangkap dan menghadapkan beberapa jenderal kepada Presiden Soekarno.

Akhir dari semua ini menjadikan Soekarno sebagai orang yang sangat dicelakakan hingga dia digulingkan dari kekuasaannya karena tidak mau mengutuk PKI, sementara Soeharto nantinya justru menjadi orang yang sangat diuntungkan karena para saingannya sesama jenderal telah tersingkir menjadi korban dan dia dapat melenggang ke kursi kepresidenan.

Tahun 1965-1967 sebagai upaya menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya. Permasalahan ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teori politik dan secara khusus teori kekuasaan. Peristiwa 30 September 1965 menjadi titik awal dari dimulainya peralihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto. Sejak saat itulah, Soeharto tampil sebagai kekuatan baru yang mampu menguasai keadaan dan melakukan tindakan-tindakan politis untuk mengikis kekuasaan Soekarno.

Tanggal 12 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia yang tidak lama kemudian dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia. Diungkap pula sejauh mana dukungan AS dalam kurun waktu 1965-1967 melalui program-program bantuannya bagi pemerintahan yang baru. Kajian ini ditulis dalam skripsi dengan judul “ Dukungan Amerika Serikat terhadap Karier Politik Soeharto Suatu Kajian Sejarah Politik Penggulingan Soekarno 1965-1967”.



Dukungan CIA (AS) terhadap awal karier politik Soeharto sebagai presiden, dimulai dengan berbagai kedekatan dan kerja sama CIA dengan Angkatan Darat (Soeharto) yang melancarkan suatu Creeping Coup sebagai upaya penggulingan Soekarno.

CIA memantau PKI sebulan sebelum dan sebulan sesudah peristiwa G30S/PKI, dalam dokumen The President's Daily Brief yang kini sudah dibuka aksesnya oleh CIA. Kita kini lompat ke momen 11 Maret 1966, peristiwa Supersemar, dalam pantauan CIA. Jejak peristiwa Supersemar sampai seminggu setelahnya, pertentangan Sukarno melawan Soeharto begitu kentara. Hal itu dilaporkan CIA kepada Presiden Lyndon B Johnson.



Mata-mata CIA tahu akan ada pertemuan Sukarno dengan pihak AD tanggal 11 Maret 1966. Pada tanggal 12 Maret 1966, CIA melaporkan Angkatan Darat sudah bisa mengatasi Sukarno. Menurut CIA, Sukarno sudah berencana mencopot Suharto.

"Suharto tampaknya membuat gerakan kemarin ketika jadi jelas kalau Sukarno berencana menggantinya dengan orang pro-Komunis dan secara bersamaan mencopot komandan Jawa Barat dan Jakarta. Ketiganya secara terpisah bergerak. Terancam bersama, mereka akhirnya punya nyali untuk memaksa Sukarno lengser," kata CIA.

Sampai seminggu setelahnya, Sukarno merasa marah dengan apa yang dilakukan Suharto. Menurut CIA, Sukarno mengatakan Suharto bertindak melebihi wewenang yang diberikannya dan salah mengartikan wewenang itu.

Sebanyak 39 dokumen rahasia milik Amerika Serikat terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965 dibuka kepada publik, Selasa (17/10). Dari dokumen-dokumen itu terungkap sejumlah pengetahuan, di antaranya rencana kudeta terhadap Soekarno kekejaman pembantaian terhadap orang-orang yang terhubung maupun terduga Partai Komunis Indonesia, perintah pembunuhan massal oleh Soeharto, dan keterlibatan Amerika Serikat.



Semua itu menguatkan banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bukti-bukti kuat pengetahuan tentang tragedi 52 tahun lalu tersebut. Termasuk tentang dugaan adanya peran aktif AS dalam kudeta dan pembunuhan massal. Peran AS dalam kurun tahun menentukan sejarah Indonesia itu sulit dilepaskan dengan keterlibatan Angkatan Darat dan Soeharto.


Kedekatan hubungan Sukarno dengan PKI saat itu membuat AS kesulitan dalam melobi Sukarno untuk mencapai kepentingan-kepentingan AS di Indonesia. Sukarno paham betul bahwa AS bagaimanapun merupakan negara yang ia sebut memiliki kepentingan neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Kampanye anti-nekolim yang berarti juga anti-AS pada 1960-an cukup populer di tingkat akar rumput.

Indonesia merupakan objek penting bagi AS saat itu. Selain keinginan untuk merampok kekayaan sumber daya alam, Indonesia dianggap sebagai pemain besar dan menentukan dalam memengaruhi negara-negara di Asia Tenggara. Maka mencongkel Sukarno dari kekuasaannya menjadi langkah taktis dan wajib bagi AS.

Ketika peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan setelahnya diikuti pembantaian massal oleh Angkatan Darat Indonesia, AS diam-diam memberikan dukungan untuk keberlangsungan operasi tersebut dan kudeta terhadap Sukarno.

Telegram dari Dubes AS di Indonesia Marshall Green kepada Departemen Luar Negeri AS pada 5 Oktober 1965 menyebutkan lima poin, di mana pada poin keempat tertulis “Pedoman berikut ini mungkin menyediakan sebagian dari jawaban apa sikap kita sebaiknya”.




Pada poin keempat itu tercantum sembilan pedoman, enam di antaranya sangat jelas, yaitu: pertama, menghindari keterlibatan secara terbuka saat perebutan kekuasaan terungkap; kedua, secara diam-diam, bagaimanapun, menunjukkan dengan jelas kepada orang-orang penting dalam militer seperti Nasution dan Soeharto keinginan kita (AS) untuk memberikan bantuan yang kita bisa, sementara pada saat yang sama menyampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita mesti menghindari munculnya keterlibatan atau gangguan dengan cara apapun.

Ketiga, memelihara dan jika mungkin memperpanjang kontrak kita (AS) dengan militer. Keempat, menghindari gerakan yang bisa diartikan sebagai catatan ketidakpercayaan dalam tentara. Kelima, menyebarkan kisah tentang kesalahan, pengkhianatan, dan kebrutalan PKI. Keenam, memberikan dukungan melalui informasi dan sarana lainnya.

Keterlibatan AS juga tercatat dalam Dokumen 8 yang memuat surat tertanggal 23 Oktober 1965 dari Norman Hannah, penasihat politik komandan pasukan AS di Pasifik, kepada Dubes AS untuk Indonesia, Marshall Green. Dokumen itu mengungkapkan kemungkinan untuk memberikan dukungan kepada Angkatan Darat dalam melakukan pembunuhan massal.

“Kemungkinan yang cukup tinggi bahwa AD Indonesia akan meminta bantuan kita untuk melawan pemberontakan PKI,” tulisnya. Permintaan semacam itu, dia berspekulasi, “dapat mencakup apapun mulai dari operasi dan bantuan tersembunyi hingga angkutan, dana, peralatan komunikasi, maupun senjata.”

Seminggu kemudian, Marshall Green mengajukan permohonan agar pemerintahan Presiden AS Lyndn Baines Johnson, “mendalami kemungkinan diberikannya bantuan jangka pendek satu kali saja, secara tersembunyi, dan tanpa bisa dilacak sumber bantuan tersebut.”

Bersamaan dengan itu dimulailah perluasan dukungan tersembunyi Paman Sam pada Angkatan Darat yang kemudian mencakup dana, peralatan komunikasi, dan senjata. AS mengetahui betul perburuan, pemenjaraan, dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terkait atau pun dituduh PKI sedang berlangsung, baik dilakukan oleh Angkatan Darat maupun organisasi masyarakat berbasis agama.



Padahal seperti terungkap dalam telegram bernomor 1516 dari American Embassy di Jakarta kepada Secretary of State tertanggal 20 November 1965, banyak dari orang-orang yang dituduh sebagai anggota dan pendukung PKI tidak memiliki pengetahuan apapun tentang Gerakan 30 September. 

Dituliskan dalam telegram tersebut bahwa menurut seorang “jurnalis Australia yang bisa diandalkan” yang baru kembali dari Jawa Tengah, “sebuah sumber PKI yang menyatakan dirinya dekat dengan 50 orang tokoh terpenting PKI Yogyakarta menyatakan PKI tidak menerima pemberitahuan sebelumya tentang Gerakan 30 September dan bahwa terdapat kebingungan besar dalam partai tentang apa yang perlu mereka lakukan”.

Jurnalis itu menemukan kader-kader PKI di wilayah lokal tersebut “sepenuhnya bingung dan menyatakan tidak tahu apa-apa tentang Gerakan 30 September sebelum terjadinya peristiwa”. Artinya, AS mengetahui itu semua namun tetap mendukung operasi pembantaian. Sebab AS menginginkan Sukarno digulingkan jika ia tetap mempertahankan kedekatan hubungannya dengan PKI. Keinginan itu sudah ada bahkan sebelum tahun prahara itu bergulir.

Dalam Economic With Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru karya Bradley R. Simpson yang dikutip dalam buku “Kronik ‘65”, disebutkan CIA mengirim memo kepada Deplu AS pada 18 September 1964, berisi:

“Sekarang CIA mengajukan tugas yang lebih besar--mengintensifkan operasi-operasi rahasia yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan di antara kelompok dan organisasi nonkomunis serta mendorong aksi langsung terhadap PKI sebagai sebuah partai. Seluruh tindakan ini bertujuan untuk menghasut dan mendorong perselisihan internal antara elemen komunis dan non-komunis.”

Pasca-Gerakan 30 September terjadi, Sukarno bersikeras menepis tuduhan PKI sebagai dalang dari peristiwa itu. Sementara dari pihak Angkatan Darat terus-menerus mengampanyekan yang sebaliknya. Ini membuat jalan pergantian rezim seperti yang diinginkan oleh AS dengan dukungan AD tidaklah mudah.

Berdasarkan buku 1965 Indonesia and the World yang dikutip dalam sumber yang sama, disebutkan bahwa AS memang bersedia memberikan bantuan untuk militer Indonesia, khususnya Angkatan Darat. Menteri Luar Negeri AS Dean Rush pada 13 Oktober 1965 menyimpulkan, waktunya telah tiba “untuk memberi beberapa isyarat kepada militer mengenai sikap AS terhadap perkembangan terakhir dan terkini”.

Menunjuk keberhasilan operasi AD terhadap PKI, Rush menulis, “...bersedia atau tidaknya tentara untuk menuntaskan aksinya terhadap PKI tergantung kepada (atau harus dipengaruhi oleh) AS, kita (AS) tidak ingin melewatkan kesempatan bagi AS untuk bertindak”.

Sementara itu, Jenderal Nasution mengirimkan ajudannya untuk mendekati Duta Besar AS Marshall Green dan meminta bantuan komunikasi portable untuk digunakan Panglima Tertinggi AD. Perkembangan penting lainnya ialah munculnya nama Soeharto sebagai calon Panglima AD untuk menggantikan panglima sebelumnya.

Dokumen The President’s Daily Brief, Central Intelligence Agency tertanggal 11 Oktober 1965 yang dikutip dari “Kronik ‘65” menyebutkan, CIA mengirimkan laporan kepada Presiden AS yang menyatakan bahwa di tubuh AD sudah muncul dan disetujui sebuah nama untuk diajukan menggantikan Panglima AD. Nama itu adalah Soeharto.

“Sejumlah Jenderal AD setuju untuk mengajukan hanya satu nama sebagai pilihan, Jenderal Soeharto. Tinggal dilihat apakah mereka mampu menyodorkan nama itu atau apakah Sukarno akan melakukan muslihatnya kepada para jenderal sehingga seseorang yang lebih bisa diterima sesuai keinginan Sukarno sendiri.”

Akhirnya, pada 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara Jakarta. Sukarno memberikan tugas kepada Soeharto untuk menyempurnakan AD dan membuat AD lebih kompak serta lebih kuat. Pangkat Soeharto dinaikkan menjadi Letnan Jenderal.

Pada hari pertama menjabat, 17 Oktober 1965, menurut Taufik Abdullah dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian III Berakhir dan Bermula dikutip dari “Kronik ‘65”, Soeharto menyampaikan pengumuman resmi kepada semua personel AD bahwa PKI merupakan dalang peristiwa G30S dan pengkhianat bangsa. Dia juga mengumumkan bahwa tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila.

Pada 1 November 1965, menurut data Bradley, pemerintah AS mengontak Jenderal Sukendro terkait bantuan yang akan diberikan kepada tentara. Sukendro adalah salah satu kontak tingkat tertinggi CIA di kalangan AD. Bersama salah satu agen CIA di Bangkok, Sukendro mendiskusikan bantuan peralatan komunikasi, senjata ringan dan keperluan lain. Nilai totalnya mencapai 1 juta dolar  AS.

Empat hari kemudian, pemerintah AS menyetujui pemberian bantuan kepada tentara Indonesia dan membentuk mekanisme rahasia untuk menyalurkan bantuan ini. Gedung Putih juga memberikan kewenangan kepada CIA guna mendistribusikan senjata ringan kepada militer untuk dipergunakan kelompok pemuda muslim dan pemuda nasional anti-PKI di Jawa Tengah.

Demikian hari demi hari yang gelap itu berlalu, pembantaian, pengasingan, dan pemenjaraan tanpa pengadilan terjadi. Hingga akhirnya Soeharto berhasil mencapai puncak kekuasaan pada Maret 1967. Sebuah kesuksesan yang diinginkan oleh AS dan Soeharto sendiri. 

Salah satu kebijakan awal Soeharto ketika menjabat sebagai presiden ialah membuka keran investasi untuk perusahaan-perusahaan asing seluasnya. Perihal ini tercatat dalam telegram bernomor A-521 dari American Embassy di Jakarta kepada Department of State tertanggal 10 Mei 1967.


Dokumen tersebut menyebutkan upaya Soeharto mendorong perusahaan-perusahaan barat untuk kembali ke Indonesia melalui penyusunan undang-undang investasi asing baru, serta penandatanganan kesepakatan konsesi dengan perusahaan minyak, pertambangan, dan kayu.

Kemudian Dokumen 39 yang berisi catatan Ketua Business International Corporation, Elliott Haynes, pada Desember 1967, menjelaskan pengamatan Hayness atas lebih dari 40 pertemuan dengan tokoh kunci Indonesia dan eksekutif internasional dari Eropa, AS dan Jepang. Pertemuan-pertemuan itu diadakan untuk mendiskusikan sebuah pertemuan meja bundar mengenai investasi di Indonesia.

Setelah bertemu dengan Marshall Green, Haynes menyimpulkan bahwa pengaruh militer dalam pemerintahan telah meningkat secara nyata. Ia mencatat, “tentara telah mengambil alih pemerintahan provinsi sampai ke tingkat yang sangat rendah, kontrol politik di tingkat akar rumput yang dapat menyebabkan kontrol Angkatan Darat dalam skala luas yang jangka panjang,” dan bahwa negara “tidak siap untuk pemilihan umum.”

Dia juga mencatat bahwa perusahaan multinasional, termasuk Uniroyal dan Goodyear, tertarik untuk beroperasi di Indonesia. Dan bahwa sebagian besar tokoh Indonesia yang diajaknya berbicara sangat ingin merestrukturisasi ekonomi Indonesia untuk mempermudah investasi asing.


Referensi:

Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S, Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2001, hlm. 60-61.

Lembaga Analisa Informasi, Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 1998, hlm. 84.

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Terjemahan Hasan Basri, Jakarta: LP3ES,1986.

Joesoef Isak (ed.), Dokumen CIA Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965, Jakarta: Hasta Mitra, 2002, hlm. Vi.

Indra Ismawan (ed.), Kumpulan Pernyataan Bung Karno tentang Gerakan 30 September: Benarkah Gerakan 30 September Didalangi Bung Karno?, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 66.

Asvi Warman Adam, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006, hlm. 79-80.

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar di dalam Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Ed. Miriam Budiardjo), Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982, hlm. 1.

buku "Membongkar Supersemar"
karya Baskara T. Wardaya, SJ

buku "Kronik ‘65" 
terbit Oktober - 2017 No. ISBN9789799116055
Penulis KUNCORO HADI.

buku "Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian III Berakhir dan Bermula" 
karya Taufik Abdullah.

Telegram nomor A-521 dari American Embassy di Jakarta kepada Department of State tertanggal 10 Mei 1967. (kebijakan awal Soeharto ketika menjabat sebagai presiden ialah membuka keran investasi untuk perusahaan-perusahaan asing)

buku "Malam Bencana 1965"
karya Sukri Abdurrachman.

Dokumen 39 (catatan Ketua Business International Corporation)
oleh Elliott Haynes, Desember 1967.

Dokumen The President’s Daily Brief, Central Intelligence Agency tertanggal 11 Oktober 1965.

buku "Economic With Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru"
karya Bradley R. Simpson.

buku "1965 Indonesia and the World"
edited by Bernd Schaefer and Baskara T. Wardaya. 

(dokumen Pdf) indonesia's soeharto: losing the magic? - CIA 

What the United States Did in Indonesia - The Atlantic