Ketegangan itu kian hebat setelah perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit. Sendong, seorang etnis Dayak, tewas akibat beberapa luka bacokan dalam perkelahian itu. Kasus tewasnya Sandong sebenarnya telah ditangani Polres setempat, namun hal itu tak mampu meredam amarah keluarga dan tetangga Sandong.
Dua hari usai peristiwa naas itu, 300 orang warga Dayak mendatangi tempat tewasnya Sandong untuk mencari pelaku. Tak berhasil menemukan pelaku, kelompok Dayak tersebut melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua unit mobil, lima unit motor, dan dua tempat karaoke. Semuanya milik warga Madura.
Huru-hara itu membuat 1.335 orang Madura mengungsi. Ada dugaan bahwa salah seorang pelaku pembunuhan Sandong bersembunyi di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur.
Kondisi makin mencekam akibat munculnya rumor yang simpang siur. Berhembus isu mengenai rencana pemboman pada malam Natal. Isu tersebut tidak terbukti kebenarannya karena tidak terjadi pengeboman di malam Natal bahkan hingga tahun memasuki tahun 2000 rumor tersebut tidak pernah terjadi.
Namun, walaupun kabar sumir itu telah diklarifikasi bersama-sama oleh pemuka etnis Madura dan tokoh dayak suasana tetap tegang karena isu dan rumor tersebut terlanjur tersebar. Pengusiran orang Madura di Katingan memicu orang Madura yang berada di Sampit bersikap defensif, bahkan mereka sampai mempersenjatai diri.
Lambatnya pengusutan polisi atas kasus pembunuhan Sandong juga turut memanaskan tensi konflik. Warga Dayak merasa diperlakukan tidak adil. Puncaknya, sekelompok warga Dayak di Sampit menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo, dengan motif balas dendam atas peristiwa di Kereng Pangi. Dalam insiden dini hari 18 Februari 2001 itu, empat penghuni rumah tewas.
Serangan itu pun menuai balas dendam dari sekelompok warga Madura. Mereka mendatangi rumah seorang Dayak bernama Timil yang diduga menyembunyikan salah satu pelaku yang melakukan serangan dirumah Matayo.
Timil berhasil diamankan polisi, tetapi warga Madura yang tak puas langsung membakar rumah Timil. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat Timil dan menewaskan penghuninya.
Peristiwa inilah yang kemudian menyulut konflik yang lebih masif antara etnis Dayak dan Madura di Sampit. Selama dua hari sejak penyerangan rumah Matayo, orang Madura berhasil bertahan, bahkan melakukan konvoi dan sweeping terhadap pemukiman-pemukiman warga Dayak.
Namun situasi berbalik, 20 Februari, ratusan orang Dayak dari pedalaman serta berbagai dayak yang berasal luar kota Sampit berdatangaan. Konflik secara terbuka pun tidak terhindarkan.
Berbagai senjata tradisional seperti mandau, lunju (tombak), sumpit, bahkan senjata api yang mereka sebut dum-dum (meriam tradisional) dijadikan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap warga etnis Madura. Di kubu seberang, warga etnis Madura mempersenjatai diri menggunakan celurit dan sejumlah bom molotov.
Jumlah orang Madura yang tewas ditaksir mencapai 500 orang. Lebih dari 100.000 orang Madura yang selamat terpaksa mengungsi keluar Sampit.
“Dalam beberapa minggu, pejuang-pejuang Dayak melanjutkan kampanye pembersihan etnis mereka ke seantero Kalimantan Tengah sampai ke ujung jalan raya trans Kalimantan sampai ke Kuala Kapuas di tenggara, dan sampai Pangkalanbun di barat. Hampir 90 persen dari populasi Madura di provinsi itu (dengan jumlah total 120-130.000 jiwa) telah melarikan diri [...] Perkiraan yang bisa dipercaya mengenai jumlah korban tewas berkisar dari 500 sampai hampir 1.300, sebagian besar di antaranya Madura"
- Van Klinken
Profesor Sejarah Asia Tenggara, University of Amsterdam,
dalam "Perang Kota Kecil" (hlm. 207).
Faktor Pemicu Konflik
Konflik antaretnis di Sampit berkaitan dengan persoalan sosial-ekonomi lokal. Pemicu khususnya adalah kompetisi antara penambang emas Dayak dan Madura. Hutan-hutan Kalimantan Tengah telah lama menjadi wilayah perbatasan yang tak mengenal hukum, dan ketegangan-ketegangan baru-baru itu membantu memastikan agar kelompok-kelompok pekerja etnis kadang-kadang bentrok dengan satu sama lain.Sebelum pecah menjadi konflik terbuka pada 18 Februari 2001, beberapa kericuhan antar etnis telah terjadi di daerah tambang. Seperti, kericuhan antara Dayak dengan Madura di kota gold rush Tumbang Samba pada September 1999, di Pangkalanbun pada Juli 2000 antara para pekerja Melayu dengan para pengikut seorang cukong kayu Madura, dan terakhir di Kareng Pangi pada Desember 2000. Konflik-konflik yang tak dikelola dengan baik itu dipanasi dengan propaganda chauvinistik yang beredar di media-media haus sensasi.
Aktor Intelektual
Beberapa kasus kericuhan yang terjadi itu bukan penyebab tunggal. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan & menghembuskan sentimen anti Madura untuk tujuan-tujuan agama dan politis.Terdapat dua pejabat pemerintahan lokal yang berusaha menggagalkan proses pelantikan pejabat eselon yang akan mengisi struktur baru pemerintahan daerah Kotawaringin Timur dan melengserkan bupatinya.
Dua pejabat itu adalah Fedlik Asser, yang sehari-hari bekerja di Bappeda, dan Lewis, seorang pegawai Dinas Kehutanan. Mereka tidak puas karena semua pejabat yang dilantik beragama Islam. Kepada polisi, Fedlik dan Lewis mengakui telah merencanakan kerusuhan itu.
Sebelum melakukan penyerangan pada dini hari 18 Februari, warga Dayak dan etnis non-Madura lainnya telah 11 kali mengadakan pertemuan. Ia juga menyiapkan Rp15 juta untuk membayar provokator. Bahkan seturut keterangan dari Kakorserse Polri saat itu, Irjen Pol Engkesman Hillep, sebelum melakukan penyerangan, mereka sempat mengadakan upacara adat untuk menyerang suku Madura.
Referensi:
skripsi "Konflik Etnis antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya 2001-2006" (2014)
(halaman 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 211 220, 222, 223)
oleh Rinchi Andika Marry
Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
"Perang Kota Kecil"
oleh Van Klinken
Profesor Sejarah Asia Tenggara pada University of Amsterdam
Provokasi Elit Berujung Pembantaian Sampit - Tirto.id
Reporter: Iswara N Raditya
19 Februari 2018