625 tahun berkuasa, Kekhalifahan Islam Ottoman (Utsmani) yang beribukota di Konstatinopel (sekarang Istambul) harus berakhir pada 1 Nobember 1922. Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1922 memutuskan untuk menghapus sistem khilafah Islam di Konstantinopel (sekarang Turki) dengan sistem republik yang sekuler.
Lemahnya penguasa, perilaku korup & dzolim, perekonomian yang semakin terpuruk akibat perang & banyaknya kekalahan menyebabkan Kemunduran Kekhalifahan Islam Ottoman (Utsmani).
Keadaan ini diperparah dengan memunculan sentimen nasionalisme Arab yang semakin marak, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung.
Benih-benih permusuhan bangsa Arab terhadap Turki Ottoman muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein yang merupakan penguasa Hejaz saat itu mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan kerajaa Turki Ottoman. Sharif Hussein sendiri diangkat sebagai Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909.
Perang saudara sesama muslim tersebut pun tidak disia-siakan oleh Inggris. Mereka menyusupkan agen intelejen mereka yang bernama Thomas Edward Lawrence untuk melobi dan mengajak Sharif Hussein untuk bekerjasama.
Baca juga: Peran Thomas Edward Lawrence (orang) Inggris Dibalik Lahirnya Arab Saudi dan Runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Utsmani
Hal itu rupanya adalah strategi lain dari Inggris. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk melawan Turki Ottoman saat perang dunia 1.
Hal itu terbukti melalui surat-surat yang menunjukkan negosiasi ini disebut Korespondensi McMahon-Hussein, karena Sharif Hussein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Pasukan berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia dengan Inggris
Kemenangan pasukan Arab itu merupakan kesuksesan dan keuntungan besar bagi Inggris. Sebab, selain Palestina jatuh ke tangan Inggris, disisi lain Inggris tidak perlu repot-repot berperang melawan pasukan Utsmani, sebab pasukan Utsmani tahluk ditangan pasukan Arab.
Para pembelot Arab ini berhasil mengambil alih beberapa kota besar dari Ottoman. Hal itu semakin membuat Inggris terus bergerak menuju Palestina dan Iraq. inggris berhasil mengambil alih kota-kota yang kala itu masih dalam genggaman Ottoman, yakni Aqaba, Baghdad dan Yerusalem.
Inggris menepati janjinya. Sharif Hussein akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya Pangeran Ali . Sedangkan Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal I of Iraqi) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah , menjadi penguasa di Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan).
Namun Inggris tidak membiarkan Syarif Husain berlama-lama menikmati kue empuk hasil kerja kerasnya. Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Abdul Aziz ibnu Saud, yang kelak menjadi raja sebuah Negara Monarki, Arab Saudi.
Kekalahan mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif Ali bin Syarif Husain mundur ke kota Jeddah. Namun pasukan Abdul Aziz mengejarnya dan mengepung kota Jeddah selama satu tahun penuh. Selain itu, pasukan pemimpin Nejed itu juga menyerang dan mengepung kota Madinah.
Madinah menyerah sepenuhnya ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud setelah dikepung selama 10 bulan. Begitupula dengan Jeddah, takluk setelah tercapai pengepungan setahun penuh.
Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, Jeddah menjadi wilayah kekuasaan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, sementara Syarif Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif Faishal bin Syarif Husain di Irak.
Syarif Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada tahun 1350 H. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud. Revolusi Arab yang dipimpin Syarif Husain pada akhirnya berperan menjatuhkan Palestina ke tangan Inggris dan Yahudi.
Baca juga: Deklarasi Balfour 1917 Peran Inggris Dibalik Berdirinya Negara Zionis Israel
Dalam sebuah dokumen resmi, ditemukan hubungan surat menyurat (korespondensi) antara Raja Abdul Aziz Ibnu Saud dengan pemerintah Inggris pada tahun 30-an, yang memyatakan bahwa Kerajaan arab Saudi tidak diperbolehkan menentang sikap Inggris yang memberikan kedaulatan kepada Israel untuk mendirikan sebuah negara di kawasan Palestina. Bahkan, sikap Raja Abdul Aziz tersebut disahkan dalam sebuah fatwa keagamaan yang merupakan sikap resmi kerajaan pada tahun 90-an bahwa diperkenankan berdamai dengan Israel.
Kerajaan Arab Saudi dengan bangga mengklaim sebagai sebuah Negara Islam. Padahal apa yang mereka lakukan justru mengkhianati Islam. Arab Saudi adalah negara monarki. Kekuasaan hanya boleh digantikan oleh para putra atau keluarga kerajaan.
Maka dari itu, tidak aneh jika melihat sikap Arab Saudi saat ini terkait dengan kebijakan Amerika Serikat dan penjajahan Israel di Tanah Palestina yang cenderung lunak dan halus terhadap isu-isu Palestina dapat dilacak dari sejarah yang panjang. Apalagi kedaulatan dan kemerdekaan Arab Saudi merupakan "hadiah" dari Inggris.
Referensi:
Buku : Dinasti Bush Dinasti Saud (2004).
By Craig Unger
(mantan deputi director New York Observer).
Buku: Library of Middle East History , Volume 10, 2006:15.
By Weldon Matthews.
Buku: The Saudi Enigma: A History, 2005:81.
By Pascal Menoret
Buku: A Companion to International History, 2008:134.
By Gordon Martel
Buku: Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia.(1992)
By George Lenczowski
(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Artikel “Lawrence of Arabia was a Zionist” dimuat Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007.
Penulis: Martin Gilbert