Laman

Selasa, 04 Desember 2018

Stockholm Syndrome - Sindrom Stockholm

Sindrom Stockholm merupakan fenomena psikologi yang dialami korban penculikan atau penyanderaan yang secara tiba-tiba merasa simpati lalu jatuh cinta terhadap pelaku yang menculik atau menyandera dirinya.Keadaan ini biasanya terjadi akibat suatu situasi traumatis. Korban penculikan atau penyanderaan merasa membutuhkan sandera-nya.


Stockholm Syndrome merupakan salah satu bentuk dari penyalahgunaan relasi yang tidak sehat. Dalam kasus-kasus penculikan, para pelaku atau penyandera merasa mampu untuk melakukan apa saja seperti memukul atau mengancam korban agar ia tidak kabur. Di lain sisi, korban penculikan yang merasa nyawanya terancam tidak memiliki pilihan lain selain menuruti dan menerima berbagai perlakuan kasar dari sang penculik. Bentuk interaksi yang tidak sehat seperti ini tidak hanya terjadi antara penculik dan korbannya, tetapi juga dapat berada di ranah romantic relationship.

Stockholm Syndrome merupakan fenomena psikologi yang jarang terjadi. FBI mencatat dari banyaknya kasus penculikan, hanya 8% saja yang mengindikasikan gejala Stockholm Syndrome. Banyak juga ahli psikologi yang menganggap fenomena sindrom ini sebagai satu bentuk kesalahan dari upaya survival (mempertahankan diri) yang dilakukan para korban penculikan. Korban juga harus merasa bahwa dirinya tidak akan pernah dapat melarikan diri, yang berarti ia harus melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup dan korban biasanya tidak diisolasi dari orang lain sehingga membuat korban merasa bahwa penculiknya bukanlah seseorang yang jahat. 

Kisah Stockholm Syndrome - Stockholm Syndrome Story

Stockholm Syndrome diambil dari kisah nyata perampokan bank Sveriges Kreditbanken yang terjadi di kota Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Sang pelaku perampokan bernama Jan-Erik Olsson merupakan narapidana dan menyandera 4 pegawai bank di dalam salah satu ruangan brankas utama bank. Olsson menyandera keempat pegawai tersebut selama 6 hari dari tanggal 23 Agustus hingga 28 Agustus 1973.


Selama jangka waktu 6 hari tersebut, polisi kota Stockholm mencoba bernegosiasi dengan Olsson dan sang pelaku perampokan meminta rekan satu penjaranya, yakni Clark Olofsson untuk bisa bergabung dengannya, jika hal tersebut dikabulkan maka ia akan mempertimbangkan untuk melepas keempat sandera.

Polisi kota lantas mengabulkan permintaan Olsson dengan mebebaskan Olofsson dan membiarkannya bergabung dengan Olsson. Tetapi selama 6 hari penyekapan dan negosiasi, 4 korban penyekapan bank ternyata menunjukkan perilaku yang aneh. Mereka justru mendukung motivasi Olsson dan meminta sang penjahat untuk tidak menyerah kepada polisi. Mereka justru lebih takut kepada pihak keamanan dibandingkan Olsson dan Olofsson yang selama 6 hari menyekap mereka. 


Sementara pihak polisi terus memikirkan upaya agar dapat membebaskan keempat sandera, mereka akhirnya dapat menjebol brankas utama tempat Olsson menyekap keempat korban. Polisi pun langsung melancarkan serangan gas airmata kepada 2 pelaku perampokan. 


Seorang krimolog sekaligus psikiatri yang membantu polisi dalam kejadian tersebut, Nils Bejerot, lantas dengan cepat menyadari ikatan emosional antara keempat korban terhadap Olsson segera setelah keempatnya dievakuasi dari bank. Keempat korban bahkan menolak untuk bersaksi atau menjatuhkan dakwaan kepada kedua pelaku.


Nils Bejerot menganggap apa yang keempat pegawai bank tersebut lakukan merupakan salah satu reaksi psikologi mereka selama 6 hari penyekapan. 4 korban yang disekap di dalam ruangan brankas kecil menyadari bahwa mereka  tidak bisa kabur, ditambah dengan fakta bahwa Olsson terus menerus menodongkan senjata api ke arah mereka membuat keempat korban beradaptasi dengan ancaman yang dilayangkan oleh Olsson. Kondisi psikologi ini kemudian sampai kepada titik dimana korban justru memiliki keyakinan bahwa pelaku menjadi tidak berbahaya (harmless).




Gejala Sindrom Stockholm



Terdapat beberapa hal yang bisa diidentifikasi dari para penderita Stockholm Syndrome, diantaranya:

  • Berkembangnya perasaan positif terhadap penculik, penyandera, atau pelaku kekerasan.
  • Berkembangnya perasaan negatif terhadap keluarga, kerabat, pihak keamanan, atau masyarakat yang berusaha untuk membebaskan atau menyelamatkan korban dari pelaku.
  • Memperlihatkan dukungan dan persetujuan terhadap kata-kata, tindakan, dan nilai-nilai yang diutarakan oleh sang penculik, penyandera atau pelaku kekerasan.
  • Ada perasaan positif yang muncul atau disampaikan oleh pelaku terhadap korban.
  • Korban secara sukarela membantu pelaku, bahkan untuk melakukan tindak kejahatan.
  • Tidak mau berpartisipasi maupun terlibat dalam usaha pembebasan atau penyelamatan korban dari pelaku.


Penyebab 


Dalam keadaan yang bersifat traumatis seperti penculikan, korban tentu akan mengalami tindakan kekerasan; baik fisik, seksual, dan/atau verbal yang akan membuatnya sulit untuk berpikir dengan jernih. Di satu sisi menurut sang penculik, kabur bukanlah suatu pilihan bagi korbannya karena ia pasti akan mati bila melakukannya. Penculik juga mengancam akan membunuh keluarganya bila ia berusaha untuk kabur. Jadi, satu-satunya jalan untuk bertahan hidup adalah dengan mematuhi penculiknya tersebut.


Kemudian seiring berjalannya waktu, kepatuhan mungkin bukanlah satu-satunya hal yang diinginkan oleh si penculik. Hal ini dikarenakan sang penculik juga merasa stress dan perubahan mood sang penculik ini tentunya akan membawa pengaruh buruk bagi korbannya. Jadi, menemukan berbagai hal yang dapat memicu kemarahan sang penculik juga merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Dengan demikian, korban pun mulai mengetahui seperti apa sifat sang penculik.

Suatu kebaikan kecil yang dilakukan oleh sang penculik, termasuk dengan tidak membunuh korbannya, akan membuat sang penculik tampak seperti seorang pahlawan yang sangat baik bagi sang korban. Pada situasi traumatis dan mengancam nyawa, satu kebaikan kecil atau tidak adanya lagi tindakan kekerasan, akan tampak seperti suatu tanda persahabatan dan korban pun biasanya akan sangat bergantung pada hal tersebut demi bertahan hidup.

Sang penculik pun lama-kelamaan tidak lagi terlihat menakutkan, melainkan seperti sebuah alat untuk bertahan hidup dan melindungi diri dari bahaya. Sang korban pun akhirnya akan mengalami suatu delusi atau pemahaman palsu (untuk mengurangi stress psikologis dan fisik yang ia alami), di mana ia benar-benar mengira bahwa sang penculik adalah temannya, bahwa ia tidak akan membunuhnya, dan bahkan mereka dapat saling membantu untuk dapat keluar dari kekacauan yang telah terjadi.


"orang-orang lain yang berusaha untuk menyelamatkan korban justru dirasa bukanlah temannya. Sang korban merasa bahwa orang lain tersebut justru akan melukai sang penculik, sehingga mereka justru melindungi orang yang telah menculiknya tersebut".



Kasus Stockholm Syndrome 


Colleen Stan, a.k.a. Carol Smith disandera hidup-hidup dari 1977 hingga 1984 oleh Cameron dan Janice Hooker di dalam boks kayu yang terkunci. Dia tidur di dalam boks berbentuk seperti peti mati di bawah ranjang tidur Hooker. 


Selama penyanderaan itu, Colleen berkali-kali disiksa dan diserang secara seksual. Colleen Stan tidak pernah kabur, walaupun sepertinya ada kesempatan dia dapat melarikan diri.


Patty Hearst membantu SLA merampok bank dua bulan setelah penculikannya.



Natascha Kampusch, seorang anak perempuan Austria berusia 10 tahun diculik oleh Wolfgang Priklopil. 


Sebelum melarikan diri saat umur 18 tahun 2006, menunjukkan tanda-tanda telah menderita sindrom Stockholm, seperti dibuktikan dengan kesedihannya setelah penculiknya bunuh diri.

Elizabeth Smart diculik dari rumahnya oleh Brian David Mitchell. Dia diperkosa dan disembunyikan di dalam lubang di Emigration Canyon. 


Kemudian, Elizabeth ditutupi dengan tudung, dibawa ke tempat umum, bahkan difoto dengan menggunakan tudung tersebut, tetapi dia tidak berusaha untuk menghubungi orang lain untuk memberi tahu bahwa dia sedang diculik.


Referensi :

"Stockholm Syndrome: Psychiatric Diagnosis or Urban Myth” - Elizabeth L. Sampson and Nicola Tufton (Pdf) 

Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser Psychologist Dr Joseph Carver - CounsellingResource.com 

Nils Bejerots articles about the events at Norrmalmstorg 

Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser - CounsellingResource.com 

Stockholm Syndrome - Urban Dictionary 

Stockholm syndrome | Definition, Examples, & Facts - Encyclopedia Britannica 

Sindrom Stockholm - Wikipedia 

Apa Itu Sindrom Stockholm? - Dokter.id 

5 Fakta Stockholm Syndrome yang Harus Kamu Tahu - IDN TIMES