Laman

Kamis, 06 Desember 2018

Pertempuran Karbala

Pertempuran Karbala terjadi pada tanggal 10 Muharram, tahun ke-61 dari kalender Islam (9 atau 10 Oktober tahun 680) di Karbala, yang sekarang terletak di Irak. Pertempuran terjadi antara pendukung dan keluarga dari cucu Muhammad, Husain bin Ali dengan pasukan militer yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah pada saat itu. 

Pihak Husain terdiri dari anggota-anggota terhormat keluarga dekat Muhammad, sekitar 128 orang. Husain dan beberapa anggota juga diikuti oleh beberapa wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata Yazid I yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad berjumlah 4.000-10.000.


Pemimpin Islam setelah Rasulullah dan khalifah pertama Abu Bakar wafat mengalami berbagai ujian. Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua tewas dibunuh Abu Lu’Lu’ah, seorang pandai besi asal Persia. Ia mendendam setelah Persia ditaklukkan pasukan Islam. Pada suatu pagi saat Umar bin Khattab dan kaum Muslimin melaksanakan salat Subuh di Masjid Nabawi, Abu Lu’Lu’ah menikam tubuh khalifah hingga tersungkur dan meninggal dunia.

Sementara khalifah ketiga, Utsman bin Affan, tewas dibunuh kaum oposisi saat terjadi krisis politik yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Kaum Muslimin yang datang dari Mesir, Bashrah, dan Kufah mengepung rumah khalifah selama hampir empat puluh hari. Utsman bin Affan akhirnya tewas dihunjam dua tombak pendek milik para oposisi.

Dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meninggal dunia dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang kaum Khawarij, ketika ia sedang wudu untuk menunaikan salat Subuh. Abdurrahman bin Muljam yang datang tiba-tiba mengayunkan pedangnya yang terhunus. Khalifah keempat itu tak sempat mengelak hingga pedang mengenai kepalanya dan ia roboh. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah terus merongrong. Ia berambisi merebut tampuk kekuasaan khalifah. Dua hari sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin di Kufah sebagai pusat pemerintahan Islam membaiat Hasan bin Ali (selanjutnya ditulis Hasan).

Menurut Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, salah seorang sahabatnya bertanya apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, yakni Hasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak menyuruh dan tidak melarang.”

Mulanya Hasan enggan menerima pembaiatan dirinya sebagai khalifah, tapi ia didesak penduduk Kufah sehingga akhirnya menerimanya.

“Keengganan itu tampak sekali dari sikapnya yang pasif selama dua bulan sejak dibaiat sebagai khalifah. Selama itu ia tidak mengambil langkah apa pun juga terhadap ancaman Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam yang sudah siap siaga hendak mencaplok seluruh dunia Islam,” tulis Al-Hamid Al-Husaini.

Karakter Hasan yang lebih menyukai perdamaian membuat ia mengirim surat kepada Muawiyah, isinya mengajak Muawiyah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah membaiatnya sebagai khalifah. Namun, Muawiyah yang telah berpengalaman dalam dunia politik justru menjawabnya dengan sinis.

“Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu,” jawabnya.

Muawiyah lalu melanjutkan dalam surat balasannya bahwa dirinya yakin jika ia lebih sanggup menjadi khalifah daripada Hasan karena lebih tua dan berpengalaman. Ia bahkan menyuruh Hasan untuk mendukung dirinya sebagai khalifah.

Muawiyah lalu membawa pasukannya yang besar dari Syam menuju Kufah untuk menggulingkan Hasan yang telah dibaiat sebagai khalifah. Mendengar kabar pergerakan pasukan Muawiyah, Hasan mengumpulkan penduduk Kufah untuk bersiap melawan pasukan tersebut.

Namun, penduduk Kufah yang telah membaiatnya sebagai khalifah justru merosot mentalnya. Sebagian dari mereka tidak menyambut seruan khalifah. Hanya sebagian saja yang bersiap maju ke medan pertempuran.

Nahas, Ubaidillah bin Abbas, orang yang ditunjuk untuk memimpin pasukan yang bersiap membela khalifah tersebut ternyata berkhianat dan berbalik mendukung Muawiyah. Hal ini membuat semangat pasukan longsor. Malah karena persoalan politik lainnya, mayoritas penduduk Kufah berbalik hendak menjatuhkan khalifah.

Di tengah situasi yang rumit tersebut, khalifah akhirnya memutuskan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Salah satu poin perjanjian damai tersebut adalah menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, yang dikutip Hamka dalam pengantar di buku karya Al-Hamid Al-Husaini, Rasulullah bersabda: 

“Sesungguhnya anakku [Hasan]—Rasulullah kerap memanggil cucunya dengan ungkapan ‘anakku’—ini adalah Sayid (Tuan). Dan moga-moga Allah akan mendamaikan dengan anak ini di antara dua golongan kaum Muslimin.”

Hal ini, menurut Hamka, memang terjadi pada tahun 40 Hijriyah saat Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah, sehingga dua kubu yang berseteru dapat bersatu di bawah kekhalifahan Muawiyah.

“Tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang: ‘Aamul Jamaah’ atau tahun bersatu kembali,” tulis Hamka.


Permintaan Baiat dari Kufah


Hasan yang telah menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah akhirnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Madinah. Sampai akhir hayatnya ia tinggal di kota tersebut. Sementara Muawiyah meninggal dunia pada tahun ke-60 Hijriyah setelah sebelumnya menobatkan Yazid bin Muawiyah (selanjutnya ditulis Yazid), anaknya, sebagai putra mahkota yang akan meneruskan kepemimpinannya.

Sepeninggal dua orang tersebut, sejarah mencatat bahwa kebencian Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dan kebencian Muawiyah kepada Hasan, terus berlanjut ketika Yazid berkuasa yang membenci Husein, adiknya Hasan. Hal inilah yang akhirnya mengobarkan perang, atau lebih tepatnya pembantaian terhadap Husein dan pengikutnya di Karbala.

Dalam catatan Al-Hamid Al-Husaini, kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dilatari tiga hal: Pertama, fanatisme kekabilahan yang secara turun-temurun menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang Bani Hasyim (Ali bin Abi Thalib keturunan Bani Hasyim). Kedua, karena Muawiyah tahu bahwa dalam peperangan masa lalu antara kaum Musyirikin Quraisy dan kaum Muslimin, banyak keluarga dan kerabatnya yang tewas di ujung pedang Ali bin Abi Thalib. Ketiga, Muawiyah mengenal tabiat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi yang keras membela kebenaran dan keadilan serta berani bertindak tegas terhadap kebatilan dan kezaliman. 

Naiknya Yazid sebagai penguasa baru yang berkedudukan di Damaskus, Syam, segera mengintai keselamatan Husein yang tinggal di Madinah. Mata-mata berkeliaran mengawasi gerak-gerik cucu Rasulullah tersebut. Demi keselamatan, ia beserta keluarganya akhirnya pindah ke Makkah.

Penduduk Kufah yang semula daerahnya dijadikan pusat pemerintahan kekhalifahan, merasa kecewa dengan kepemimpinan Yazid. Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka sandarkan kepada Husein.

Mereka lalu meminta Husein untuk pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah. Dalam surat permintaan yang diterima Husein, mereka menyatakan bahwa lebih dari 100.000 penduduk Muslimin Kufah telah siap menerima kedatangannya.

Meski kabar tersebut merupakan angin segar bagi Husein karena ternyata ada dukungan yang begitu besar untuk menghadapi kezaliman Yazid, tapi ia tak buru-buru menerima permintaan tersebut.

Mula-mula ia mengutus Muslim bin Aqil pergi ke Kufah untuk memperoleh keterangan yang pasti tentang keadaan yang sebenarnya. Tak lama setelah tiba di Kufah, Muslim bin ‘Aqil menulis surat kepada Husein yang isinya menginformasikan bahwa penduduk Kufah telah bulat untuk membaiat Husein sebagai khalifah.

Namun, kabar kedatangan Muslim bin ‘Aqil ke Kufah dan rencana pembaiatan Husein sebagai khalifah terdengar oleh Yazid. Ia lalu mengganti kepada daerah Kufah, Nu’man bin Bisyr oleh Ubaidillah bin Ziyad yang terkenal kejam.

Pergantian kepala daerah tersebut membuat penduduk Kufah ketakutan, dan nasib Muslim bin ‘Aqil pun diintai marabahaya. Setelah mencoba bersembunyi di rumah penduduk, akhirnya Muslim bin ‘Aqil tertangkap dan dibunuh pasukan Ubaidillah bin Ziyad.

Situasi Kufah yang telah berubah drastis dan terbunuhnya Muslim bin ‘Aqil tak segera diketahui Husein. Kabar yang ia terima lewat surat yang dikirimkan utusannya tempo hari membuat Husein yakin untuk berangkat ke Kufah.

Sejumlah sahabat dan keluarga Husein menasihatinya agar ia membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kufah. Mereka mencemaskan Husein dan ragu akan sikap penduduk Kufah.

“Aku khawatir kalau mereka membohongimu dan akan membiarkanmu menghadapi musuh seorang diri, bahkan tidak mustahil mereka akan berbalik menghantammu dan akan berlaku kejam terhadap keluargamu,” Kata Abdullah bin Abbas, saudara Husein.

Nasihat serupa disampaikan juga oleh Abdullah bin Ja’far, ipar Husein. Ia tergesa-gesa menulis surat dari Madinah dan diantarkan langsung oleh kedua orang anak laki-lakinya kepada Husein.

“Aku minta dengan sangat supaya anda membatalkan rencana keberangkatan ke Kufah setelah menerima suratku ini. Aku benar-benar khawatir kalau niat anda itu akan mengakibatkan anda binasa bersama segenap anggota keluarga anda. Kalau hal itu sampai terjadi, maka padamlah cahaya di permukaan bumi ini. Ingatlah, bahwa diri anda sesungguhnya adalah lambang semua orang beriman,” tulis Abdullah bin Ja’far.

Namun, semua nasihat dan kekhawatiran yang terpancar dari keluarga dan para sahabatnya tidak berhasil membatalkan niat Husein untuk pergi ke Kufah. Keharuan menyelimuti penduduk Makkah saat mereka akhirnya terpaksa melepas Husein dan rombongannya yang hendak menuju Kufah pada 18 Zulhijah tahun ke-60 Hijriyah.

Sebelum tiba di Kufah, Husein mengutus Qeis bin Mashar As-Saidawiy untuk pergi ke kota tersebut, untuk memastikan kembali situasi Kufah. Namun nahas, Qeis bin Mashar As-Saidawiy tertangkap Ubaidillah bin Ziyad dan pasukannya, lalu ia dibunuh.

Saat Qeis bin Mashar As-Saidawiy pergi menjalankan perintahnya, datang kabar kepada Husein tentang kematian Muslim bin ‘Aqil dan situasi Kufah yang telah berubah. Namun, Husein beserta sebagian rombongan terus melanjutkan perjalanan menuju Kufah.

Kabar kedatangan Husein dan rombongannya di dekat perbatasan Kufah disambut dingin penduduk Kufah yang konon lebih dari 100.000 ribu orang menyatakan janji setianya kepada Husein. Kekhawatiran keluarga dan sahabat Husein di Makkah yang menasihatinya agar tidak berangkat ke Kufah ternyata benar.

Rombongan Husein tiba di Karbala pada 2 Huharram 61 Hijriyah di bawah pengawasan ketat pasukan berkuda utusan Ubaidillah bin Ziyad yang dipimpin oleh Al-Hurr bin Yazid At-Tamimiy. Sementara Ubaidillah bin Ziyad sang kepala daerah Kufah kemudian menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 4000 orang dengan persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash.

Pada 10 Muharam 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi, tepat hari ini 1338 tahun lalu, 4000 pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein yang hanya berkekuatan 72 orang; 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan.

Pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas. Setelah pasukannya habis, akhirnya Husein pun dibunuh.

Perang Karbala merupakan kelanjutan dari riwayat panjang tentang perselisihan dan permusuhan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah. Karen Amstrong dalam Sepintas Sejarah Islam (2000) menyebutnya sebagai "fitnah" yang melanda dunia Islam. Dan Perang Karbala pula yang menjadi puncak permusuhan itu menjadi batu tapal dimulainya keterbelahan antara kaum Sunni dan Syiah secara luas di seluruh dunia.

Persoalan politik itu seolah-olah menjadi hulu ledak bagi timbulnya perdebatan yang tak berkesudahan, sebab kemudian dibumbui juga oleh perbedaan lain yang disebut-sebut kaum Sunni sebagai perbedaan secara syariat dan akidah. Sunni dan Syiah sama-sama mencintai Ahlul Bait atau keluarga Rasulullah, tapi karena persoalan syariat dan akidah semakin meruncing, maka keduanya tak bisa disatukan laksana air dan minyak.

Dalam pengantarnya di buku Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), Hamka menerangkan jika dirinya ditanya akan berpihak ke mana dalam pertentangan yang terjadi pada masa lalu itu, maka ia mengungkapkan bahwa dirinya akan berpendirian seperti para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri, dan Umar bin Abdul Aziz yang berkata:

"Itulah darah-darah yang telah tumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku."


Pandangan & Sikap Ahlus Sunnah Wal Jama'ah


Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : “Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan adajuga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen).

Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahidyang melakukan ijtihad dengan  benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”

Ahlussunah wal Jama’ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. 

Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.

Mengenai peristiwa Karbala, SyaikhulIslam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain Radhiyallahu ‘anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. 

Para penulis tentang berita pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak”


Riwayat Paling Shahih Tentang Karbala


Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :
“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammaddari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd[3]. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “DiantaraAhlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Saat itu, Husain Radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)”

Kisahnya, Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu ‘Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada Husain Radhiyallahu ‘anhuma meminta beliau Radhiyallahu ‘anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai’at Husain Radhiyallahu ‘anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah.

Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu ‘anhumadi Mekah mengajak beliau Radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan.

Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasehati Husain Radhiyallahu ‘anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayahHusain Radhiyallahu ‘anhuma, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana”.

Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin ‘Aqilyang telah dibunuh di sana.

Akhirnya, berangkatlah Husain Radhiyallahu ‘anhuma bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain Radhiyallahu ‘anhuma bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak.

Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu ‘anhuma, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain c dan keluarganya berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘anhuma sebagai orang yangterzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa kehadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.

Lalu ‘Ubaidullah kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami Radhiyallahu ‘anhum. Anas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”

Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dinyatakan :“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu ‘anhu”.

Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu :
Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, “Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.” Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.
Demikianlah kejadiannya, setelah Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh, kepala beliau Radhiyallahu ‘anha dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi beliau Radhiyallahu ‘anhu ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada ‘Ubaidullah orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu.

Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu ‘aiahi wa sallam, orang kesayangan beliau n dihinakan di depan mata mereka.

Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain Radhiyallahu ‘anhuma diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu ‘anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas.

Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.

Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapanYazid, kepala Husain Radhiyallahu ‘anhuma dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan  bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh Husain.”

Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu’awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja dia tidakmenghukum dan mengqisas ‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.

Pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556 :

- Ketika Hari pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.

- Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu ‘anhuma.

- Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi :

“Katakanlah:”Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan” 
[asy Syûrâ/42:23]

Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan, “Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhanHusain Radhiyallahu ‘anhuma, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan.Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah Radhiyallahu anha menikah.
HUSAIN RADHIYALLAHU gugur sebagai Syuha

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati;bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya,” (QS. Al-Baqarah: 154).

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, 
“Tidak disangsikan lagi bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu ‘anhuma berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan."

Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu (bapak Husain Radhiyallahu ‘anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap ‘Utsman juga Radhiyallahu ‘anhu.

Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syi’ah yang meratapi kematian Husain Radhiyallahu ‘anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi . Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwamereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu.Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu.

Misalnya,riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan  siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebutdan dia kekal di dalamnya.

Kesalahan dalam memahami peristiwa ini, telah memecah Belah Umat, bahkan menimbulkan penyimpangan yang tidak sesuai dengan Al Quran, Syariat Islam & Hadist

Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhuma, manusia terbagi menjadi tiga : dua golongan yang menyimpang dan satu berada di tengah-tengah.

Golongan Pertama
Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu ‘anhuma ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia.” 

Kelompok pertama ini mengatakan bahwaHusain Radhiyallahu ‘anhuma datang saaturusan kaum muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah)dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma hendak memecah belah umat.

Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui batas,sampai berani menghinakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Inilah kelompok ‘Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.

Golongan Kedua
Mereka mengatakan Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama’ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya,baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum’at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya. [9]Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid yangmengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu ‘anuhma. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh ‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.

Golongan Ketiga
Yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.

Ahlussunnah mengatakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau Radhiyallahu ‘anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau Radhiyallahu ‘anhuma.

Karena, saat beliau Radhiyallahu ‘anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masaitu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu ‘anhuma seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar.

Ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin ‘Aqîl dibunuh di Irak, beliau Radhiyallahu ‘anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau Radhiyallahu ‘anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu ‘anhuma tewas terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.

DAJJAL & SETAN MENYEBARKAN BID’AH


Syaikhul Islam mengatakan “Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu ‘anhuma, setan memunculkan dua bid’ah di tengah manusia.

Pertama: Bid’ah kesedihan dan ratapan para hari Asyûra (di negeri kita ini, acara bid’ah ini sudah mulai diadakan-pen) seperi menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain Radhiyallahu ‘anhuma dibacakan yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.

Kemudian Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan , “Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain Radhiyallahu ‘anhuma yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci ‘Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu ‘anhum.
Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak”

Orang Syi’ah yang bernama Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid itulah sang pendusta . Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj.Yang pertama membuat bid’ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid’ah kesenangan.

Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barang siapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari ‘Asyûra, maka AllahAzza wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu.”


Kedua: Bida’ah yang kedua adalah bid’ah kesenangan pada hari Asyura : Karena itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini – karena ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah – , sebenarnya secara tidak langsung, masukke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain Radhiyallahu ‘anhuma.

Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagikita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpamengurangi haknya, tidak mengatakan Husain Radhiyallahu anhuma seorang imam yang ma’sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu anhuma itu adalah tindakan yang benar.

Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma adalah tindakan maksiat kepada Allah dan RasulNya.



Referensi:

Tragedi Karbala, Kematian Husein bin Ali, dan Terbelahnya Islam - Tirto.id 

Pertempuran Karbala - Wikipedia bahasa Indonesia  

Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. 
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, 
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 
57183 Telp. 0271-761016