Laman

Kamis, 06 Desember 2018

Hasil Otopsi 7 Jenazah Jendral Pahlawan Revolusi Korban G30S PKI 1965


Sejak tahun 1985 film G 30 S PKI menjadi film yang wajib diputar di stasiun televisi plat merah (milik pemerintah) TVRI setiap tanggal 30 September pukul 10.00 WIB Film propaganda versi pemerintah Orde Baru ini mengisahkan kebiadaban yang dituduhkan kepada PKI dan menonjolkan sosok keheroikan Soeharto, bagaikan malaikat yang turun dari surga. 



Film G30S/PKI dibuat pada masa Orde Baru tahun 1984. Film yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer menelan biaya produksi hingga Rp800 juta pada 1984 dengan menghadirkan 120 pemain dan 10 ribu figuran. Jika dikalkulasikan di tahun 2017, jumlahnya mencapai sekitar Rp14,6 miliar. Lebih dari 14 tahun Film G30S/PKI seperti mesin brain wash, menimbulkan efek yang luar biasa bagi pemirsanya. Akibat film tersebut semua otak penontonnya berpikir bahwa PKI adalah organisasi paling kejam di republik ini. Efek film tersebut benar-benar memberikan kesan yang mendalam bagi yang pernah menontonnya.



Di menit-menit terakhir, film G30S/PKI mulai memunculkan kesadisan. Banyak darah dipertontonkan dalam setiap adegan, mulai dari ditembaknya Jenderal Ahmad Yani, hingga darah yang menetes dari tubuh Ade Irma Nasution. Puncaknya, adalah adegan penyiksasn, “pencungkilan” mata dan “pemotongan” alat kelamin yang dilakukan "simpatisan PKI dan Gerwani" 


Namun ketika orde baru tumbang,  tepatnya tahun 1998, di era Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menghentikan penayangan film tersebut. 

Puluhan tahun fakta di balik peristiwa 1965 yang terkunci rapat mulai menemui titik terang.

Dalam wawancara yang dimuat di majalah Tempo edisi 11 Maret 2001, seorang Wartawan perang kawakan, bernama Hendro Subroto mengatakan: 


"Salah satu mozaik pengalaman yang tak terlupakan bagi saya adalah mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi dari Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965". 
Kala itu, dia bertugas sebagai juru kamera TVRI. Puluhan tahun diam, akhirnya Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru.

"Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," ujarnya kepada wartawan Tempo, Edy Budiyarso dan Hermien Y. Kleden, Maret 2001.

Jarak antara ia dan jenazah hanya sekitar tiga sampai empat meter. Sempat tak kuat mencium aroma busuk jenazah, Hendro melipir. Namun, ia balik lagi ke lokasi. Ia melihat jenazah-jenazah itu dikeluarkan dari Lubang Buaya lalu langsung dipindahkan ke dalam peti. Selama sekitar tiga menit ia merekam semua peristiwa itu. "Dari jarak itu, saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan," ujarnya. 



Begitupun dengan publikasi yang menyebutkan bahwa alat kelamin para jenderal itu disayat-sayat, Hendro membantahnya. Kala diwawancara, Hendro lalu masuk ke kamarnya dan keluar membawa setumpuk foto hitam-putih. Ia memperlihatkan salah satu foto.

"Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan? Tujuh jenazah itu memang telanjang saat diangkat," ujarnya. 


Autopsi dilakukan oleh dua dokter militer, salah satunya Brigadir Jenderal dr. Roebiono Kertopati, dan tiga ahli forensik sipil di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Autopsi dilakukan selama delapan jam, dari tanggal 4-5 Oktober 1965, 75 jam setelah jasad mereka dievakuasi dari Lubang Buaya.

Menurut dokumen autopsi yang diperoleh Anderson, visum et repertum dilakukan terhadap enam jenderal, yaitu Ahmad Yani, Suprapto, Haryono, Pandjaitan, dan Letnan Tendean atas perintah dari Komandan KOSTRAD Mayor Jenderal Suharto.



Hasil autopsi ini, tulis Anderson, diulas pertama kali oleh dua koran milik ABRI yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Namun menurut Anderson, informasi yang diterbitkan koran itu terlalu terburu-buru padahal autopsi belum juga rampung. Dalam laporannya, kedua koran menyebutkan bahwa para jenderal disiksa sebelum dibunuh.

"Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan di luar batas perikemanusiaan," tulis Koran Angkatan Bersendjata.

Sementara Koran Berita Yudha menyebutkan "Bekas luka di sekudjur tubuh akibat siksaan  sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita."

Suharto juga dikutip mengatakan: "Djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa jang dinamakan Gerakan 30 September." 



Berita soal penyiksaan para jenderal terus digulirkan oleh kedua media tersebut untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan kisahnya lebih ngeri lagi. Pada 7 Oktober contohnya, koran Angkatan Bersendjata menuliskan bahwa mata "Ahmad yani ditjongkel", Berita Yudha memberitakan hal yang sama dua hari kemudian. "Penterror biadab," tulis Berita Yudha menyebut PKI.

Tendean diberitakan "mengalami luka tusukan pisau di dada kiri dan perut. Lehernya disayat, dan matanya juga ditjungkil". Media ini juga mengutip para saksi mata peristiwa Oktober kelam itu yang mengatakan: 

"Ada jang dipotong tanda kelaminnja dan banjak hal-hal lain jang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan."

Peran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga dijelaskan secara horor. Anggota Gerwani disebut "menyiksa para jenderal dengan silet dan pisau kecil, bahkan memotong-motong kemaluan para korban".

Namun berdasarkan pengamatan Anderson terhadap dokumen autopsi, kondisi para jenderal tidak menunjukkan adanya penyiksaan seperti disebutkan di atas. Tidak ada mata yang dicungkil, penis mereka masih ada, bahkan lebih detail lagi.

"Pertama, dan yang terpenting, tidak ada mata-mata korban yang dicungkil, dan seluruh penis mereka masih menempel: Kami bahkan diberitahu ada empat dari mereka yang disunat, dan tiga tidak disunat," ujar Anderson dalam laporannya.

Anderson kemudian membagi korban menjadi dua kelompok, yaitu yang ditembak mati di rumah mereka; Ahmad Yani, Pandjaitan, dan Harjono, dan yang dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya; Parman, Suprapto, Sutoyo, dan Tendean.

Diberitakan Berita Yudha dan Kompas saat itu, kelompok pertama ditembak mati di rumah mereka oleh anggota Tjakrabirawa di bawah perintah Letnan Satu Doel Arief.

Mereka yang dibunuh di Lubang Buaya tewas ditembak mati di tubuh atau kepala. Beberapa mengalami patah tulang akibat pukulan popor senapan atau dibenturkan dengan benda keras. 
"Tidak ada satu pun dari laporan ini yang menunjukkan tanda penyiksaan, dan bekas silet atau pisau juga tidak ada," tulis Anderson lagi.

Anderson menyinggung soal pernyataan Presiden Sukarno kepada Antara pada 12 Desember 1965 yang mengkritik para jurnalis karena berlebihan memberitakan.

"[Sukarno] mengatakan bahwa para dokter yang memeriksa jasad para korban melaporkan tidak ada mutilasi mengerikan pada mata atau alat kelamin seperti yang diberitakan media," tutup Anderson dalam laporannya itu.


Evakuasi dan Hasil Otopsi



Tujuh jenazah dewan jenderal diambil empat hari setelah mereka dibunuh, dari dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Okotober 1965. Setelah berhasil dievakuasi, tujuh mayat jenderal itu lantas dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk diotopsi.


Otopsi dilakukan oleh tim yang terdiri dari dua dokter Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), yaitu dr Brigjen. Roebiono Kartopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; lalu ada tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman UI, Prof. dr. Sutomi Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.


Jenderal Achmad Yani


-- Luka Tembak masuk: 2 di dada kiri, 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di garis pertengahan perut, 1 di perut bagian kiri bawah, 1 perut kanan bawah, 1 di paha kiri depan, 1 di punggung kiri, 1 di pinggul garis pertengahan.

-- Luka tembak keluar: 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di punggung kiri sebelah dalam.

-- Kondisi lain: sebelah kanan bawah garis pertengahan perut ditemukan kancing dan peluru sepanjang 13 mm, pada punggung kanan iga kedelapan teraba anak peluru di bawah kulit.


Letjen R. Soeprapto


-- Luka tembak masuk: 1 di punggung pada ruas tulang punggung keempat, 3 di pinggul kanan (bokong), 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pertengahan paha kanan.

-- Luka tembak luar: 1 di pantat kanan, 1 di paha kanan belakang.

-- Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan di atas telinga, 1 di pelipis kanan, 1 di dahi kiri, 1 di bawah kuping kiri.

-- Kondisi lain: tulang hidung patah, tulang pipi kiri lecet.


Mayjen M.T Haryono

-- Luka tidak teratur: 1 tusukan di perut, 1 di punggung tangan kiri, 1 di pergelangan tangan kiri, 1 di punggung kiri (tembus dari depan).


Mayjen Soetojo Siswomiharjo


-- Luka tembak masuk: 2 di tungkai kanan bawah, 1 di atas telinga kanan.

-- Luka tembak keluar: 2 di betis kanan, 1 di atas telinga kanan.

-- Luka tidak teratur: 1 di dahi kiri, 1 di pelipis kiri, 1 di tulang ubun-ubun kiri, di dahi kiri tengkorak remuk.

-- Penganiayaan benda tumpul: empat jari kanan.


Letjen S. Parman


-- Luka tembak masuk: 1 di dahi kanan, 1 di tepi lekuk mata kanan, 1 di kelopak atas mata kiri, 1 di pantat kiri, 1 paha kanan depan.

-- Luka tembak keluar: 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di perut kiri, 1 di paha kanan belakang.

-- Luka tidak teratur: 2 di belakang daun telinga kiri, 1 di kepala belakang, 1 di tungkai kiri bawah bagian luar, 1 di tulang kering kiri.

-- kekerasan tumpul: tulang rahang atas dan bawah.


Letjen D.I Panjaitan

-- Luka tembak masuk: 1 di alis kanan, 1 di kepala atas kanan, 1 di kepala kanan belakang, 1 di kepala belakang kiri.

-- Luka tembak keluar: 1 di pangkal telinga kiri.

-- Kondisi lain: punggung tangan kiri terdapat luka iris (tidak dijelaskan apa luka itu diiris menggunakan silet atau senjata tajam lainnya).


Kapten Anumerta Pierre Tendean


-- Luka tembak masuk: 1 di leher belakang sebelah kiri, 2 di punggung kanan, 1 di pinggul kanan.

-- Luka tembak keluar: 2 di dada kanan.

-- Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan, 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di puncak kepala.

-- Kondisi lain: lecet di dahi dan pangkal dua jari tangan kiri.


Jadi, bagaimana dengan klaim yang mengabarkan kondisi para jenderal tersebut dicungkil matanya dan dipotong kemaluannya?


Referensi: 

Documen Ben Anderson Report G30S/PKI : How Did the Generals Die? (Pdf) - Cornell University 

Final Report 30 September Movement - Tribunal1965.org  
Menilik Laporan G30S/PKI Ben Anderson: Tanpa Silet dan Cungkil Mata - kumparan NEWS 

Apakah Para Jenderal Disiksa Seperti di Film G30S? - Tempo.co 

G30S PKI: Inilah Hasil Lengkap Otopsi 7 Pahlawan Revolusi - Warta Kota Tribun News 

Inilah Hasil Visum Para Jendral Korban G30S/PKI yang Bertentangan dengan Filmnya - Yukepo.com