Laman

Jumat, 09 November 2018

Sejarah dan Latar Belakang Konflik Rohingya - Keterlibatan Pemerintah dan Militer Myanmar

Rohingya berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang, sebutan untuk daerah tersebut sebelum dinamai Arakan. 


Sejak 1942 mereka mengalami upaya pengusiran dari wilayah Arakan. Saat itu terjadi pembantaian muslim Rohingya oleh pasukan pro Inggris. Sedikitnya 100 ribu muslim Rohingya tewas dan ribuan desa hancur dalam tragedi tersebut. Sejak itu muslim Rohingya hidup dalam ketakutan.

Komunitas muslim mendiami wilayah Arakan (kini Rakhine) pada abad XIV. Tepatnya di Kerajaan Mrauk U yang dipimpin oleh raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun. Sebelumnya, selama 24 tahun, Narameikhla diasingkan di kesultanan Bengal. Atas bantuan Sultan Bengal yang bernama Nasirudin, dia mendapatkan takhta di Arakan.




Kesultanan Bengal adalah sebuah kerajaan Islam pada abad pertengahan yang didirikan di Bengal pada 1342. Daerah kekuasaan kesultanan ini mencakup wilayah negara Bangladesh saat ini, India bagian Timur, dan bagian Barat Myanmar.


Setelah mendapat takhta di Arakan, Narameikhla mengucapkan Syahadat dan ganti nama jadi Suleiman Shah. Dia kemudian membawa orang-orang Bengali untuk membantu administrasi pemerintahannya. Lalu terbentuklah komunitas Muslim pertama di Arakan kala itu.


Pada 1420, Arakan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam merdeka di bawah Raja Suleiman Shah. Kekuasaan Arakan yang Islam itu bertahan hingga 350 tahun. Pada 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Sejak itulah populasi Islam di kawasan Arakan perlahan-lahan berkurang.


Situasi buruk umat Islam Rohingya terjadi saat Perang Dunia Kedua saat Myanmar (Birma) dijajah Inggris. Selama pemerintahan Inggris dari 1824 -1942 Arakan diizinkan memiliki tingkat otonomi daerah sendiri. Ketika itu Arakan relatif aman dan hanya ada beberapa insiden pemberontakan yang tercatat.

Pada 1942, pasukan Jepang menyerang Birma dan Inggris mundur sehingga menyebabkan kekosongan besar dalam kekuasaan dan stabilitas. Saat itulah terjadi kekerasan komunal antara Muslim Rakhine dan Rohingya. Terjadi pembantaian berikutnya dari kedua belah pihak sehingga memaksa Muslim Rohingya migrasi besar ke Bengal.


Setelah Burma merdeka pada Januari 1948, ketegangan antara pemerintah dengan Muslim Rohingya berlanjut dengan gerakan politik dan bersenjata. Sekitar 13.000 orang Rohingya mencari perlindungan di kamp pengungsian India dan Pakistan. Hal inilah yang menyebabkan mereka ditolak hak warga negaranya untuk kembali ke Birma dan terjadilah penolakan terhadap Muslim Rohingya.

Sejak periode itulah Muslim Rohingya menyandang status manusia tanpa negara. Sejak Birma merdeka pada 1948, Muslim Rohingya dikucilkan dalam hal pembangunan bangsa. Pada 1962 Jenderal Ne Win mensistematiskan penindasan terhadap Rohingya dengan membubarkan organisasi politik dan sosial mereka.




Pembantaian Sistematis Otoritas Myanmar Terhadap Muslim Rohingya

Etnis Rohingya, minoritas muslim terbesar, telah mengalami diskriminasi, represi, dan kekerasan di Myanmar selama puluhan tahun. Status kependudukan mereka ditolak oleh pemerintah Myanmar meski etnis ini sudah menduduki wilayah Rakhine selama bergenerasi-generasi, jika bukan berabad-abad, dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia. Kendati sudah banyak korban berjatuhan, otoritas Myanmar masih terus menegasikan genosida yang dilakukan oleh pihaknya. Penyerangan oleh tentara-tentara Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar yang dilakukan pemerintahan Burma terhadap etnis ini sejak 2012 dan 2016.


Diperkirakan, sedikitnya 6.700 pengungsi Rohingya tewas dalam kurun waktu sebulan setelah serangan yang disebut pemerintah Myanmar sebagai “operasi pembersihan” pada Agustus lalu. Hal ini diungkapkan dalam laporan survei Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas terhadap pengungsi Rohingya di sejumlah kamp di Bangladesh.

Jumlah yang dirilis oleh lembaga kemanusiaan berbasis di Perancis dan beroperasi di Bangladesh sejak 1985 ini jelas jauh berbeda dari angka resmi yang dirilis pemerintah Myanmar pada September lalu, yakni hanya 400 jiwa. 


Dari rilis pengungsi muslim Rohingya yang tewas tersebut, 730 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). Survei ini menunjukkan, sedikitnya 71,1 persen kematian ini disebabkan oleh kekerasan. Sebanyak 69 persen tewas akibat luka tembak, kemudian tewas dibakar sampai tewas (9 persen), dan dipukuli hingga meninggal (5 persen).



Faktor Ekonomi Turut Memicu Konflik Sosial
John McKisick, kepala organisasi untuk pengungsi PBB, mengatakan pemerintah Myanmar sedang melaksanakan pembersihan etnis. Kesimpulan Human Right Watch juga sama. Sementara publik di Indonesia banyak yang mereduksi apa yang terjadi di Rakhine sebagai genosida sistematis dengan korban warga muslim Rohingya sehingga memunculkan sentimen SARA bermodalkan hoax .

Saskia Sassen, profesor Sosiologi di Columbia University dan penulis Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy (2014), menilai konflik antar-agama di Rakhine adalah puncak gunung es dari akar masalah yang lain, yakni konflik perebutan lahan dan sumber daya alam. Pelaku utamanya adalah pemerintah Myanmar dan rezim militernya yang masih kuat bercokol di tubuh pemerintahan hingga saat ini.


Myanmar adalah salah satu negara di Asia yang mayoritas masyarakatnya masih menggantungkan pekerjaan di sektor agrikultur (pertanian), pertambangan, dan ekstraksi air sederhana. Di sisi lain, Myanmar menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, salah satunya gas alam. Apalagi posisi Myanmar berada di antara dua raksasa Asia, Cina dan India, yang sedang lapar-laparnya terhadap pelbagai macam SDA untuk modal akselerasi pembangunannya.


Sebagian besar penduduk Myanmar menggantungkan hidupnya di ranah agrikultur. Demikian pula etnis Rohingya, yang kebetulan mayoritas beragama Islam. Jika pun tak memiliki tanah, mereka tetap menggantungkan profesinya sebagai buruh tani dengan pendapatan tak seberapa.


Pada saat bersamaan, tahun 2012 juga tahun paling berdarah bagi orang-orang Rohingya. Konflik berdarah meletus yang membuat hampir 100 orang (sebagian besar muslim Rohingya, sisanya warga Buddha) meninggal dan 90.000 lain dipaksa meninggalkan rumahnya. Hampir 3.000 bangunan dibakar, dan 1.300-nya milik warga Rohingya dan sisanya milik warga Rakhine yang menganut agama Buddha.


Orang-orang Rohingya sudah terbiasa diintimidasi sejak lama. Namun, mereka mulai meninggalkan Myanmar dalam jumlah besar usai tragedi tersebut. PBB memperkirakan jumlah imigran Rohingya, yang dijuluki manusia perahu, kurang lebih 160.000 orang. Mereka meminta belas kasihan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan negara moyang mereka, Bangladesh.


Orang-orang Rohingya tergolong miskin . Lebih dari 78 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, demikian menurut Bank Dunia. Rakhine adalah salah satu negara bagian Myanmar yang paling tidak berkembang, dengan lahan luas dan menyimpan potensi alam berlimpah. Kemiskinan memungkinkan pengusiran orang-orang malang itu demi membuat ruang bisnis bagi proyek-proyek pembangunan negara maupun perusahaan asing.


Provokasi Elit dan Pemuka Agama 


Di setiap negara, ada aturan hukum. Jika warganya melakukan kesalahan, tentu akan dihukum. Setiap negara seperti itu. Tetapi tidak di Myanmar. Alih-alih fokus mencari pelaku penyerangan, para tentara melampiaskan kemarahan kepada warga lain. Mereka membunuh, membakar rumah, memperkosa, ini sangat menjijikkan. Di Myanmar, praktik seperti ini sebenarnya berlaku bagi semua etnik, tentara bisa sesukanya. Tetapi bagi Rohingya, mereka akan bertindak lebih jauh, lebih parah.


Ada ideologi yang cukup popular dari Nazi Jerman, ketika negara dan agamamu diserang, kau kehilangan akal sehat. Begitu yang sedang terjadi di Myanmar, untuk menjadi warga Myanmar yang baik, kau harus membenci Muslim. Jika tidak, kau bukan bagian dari Burma. Ideologi ini yang mendorong Aung Sang Su Kyii untuk diam. Dia bisa bertindak jika dia mau, tetapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia selalu bicara tentang aturan hukum, di mana aturan hukum itu bagi Rohingya?

Mereka (orang Rohingya) terlalu lemah. Mereka sadar konsekuensi yang akan mereka dapat jika melawan. Jika hal itu dilakukan maka ini akan jadi alasan militer untuk menyerang membabi-buta, dan korban yang berjatuhan akan lebih banyak. Dan kedua, tidak ada yang mau menolong mereka.


Kaum terpelajar juga banyak yang rasis. Ini seperti group psychology, ketika pandangan kita berbeda dari pandangan kelompok, maka kita akan dianggap musuh dan diperlakukan sama seperti musuh. Secara psikologi, manusia sulit menerima ini. Inilah yang terjadi di Myanmar. Agar dianggap benar dan diterima kelompok mayoritas, mereka harus membenci Rohingya.

Lagipula, tidak ada ancaman penjara dan hukuman dari menghina, dan menghancurkan Rohingya. Mereka bisa melakukan apapun terhadap kaum muslim Rohingya. Kalau ada hukuman, tentu mereka tak akan bertindak seenaknya. Di banyak tempat, terutama di Selatan Myanmar, kedai-kedai milik Muslim diboikot.


Ini bukan originalitas tindakan para biksu. Sebab seperti agama lain, Buddha tak mengajarkan kebencian dan diskriminasi. Biksu-biksu yang ada di Myanmar saat ini kebanyakan adalah orang yang direkrut oleh tentara dan dijadikan biksu. 


Biksu-biksu ini kemudian menyebarkan ajaran kebencian akan Rohingya, akan Islam. Anda bisa lihat di beberapa video, biksu-biksu itu mengatakan jika membiarkan umat Islam ada di Myanmar, maka mereka akan merebut kekuasaan, seperti yang terjadi di Indonesia. Ini didesain oleh tentara, agar rakyat Myanmar bertengkar satu sama lain.


Mereka hanya dijadikan alat politik. Dalam pidato-pidatonya, mereka akan cerita tentang kehancuran Buddha di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal itu dijadikan alasan mengapa Rohingya harus dienyahkan dari negeri mereka, jika tidak, mereka yang akan tersingkir. Bukan milisi Budha yang didukung pemerintah, tapi milisi Rakhine (pasukan Arakan – milisi ini adalah milisi pemberontak yang tidak ada sangkut pautnya dengan Rohingya, pasukan Arakan menutut kemerdekaan di negara bagian Rakhine dan Kachin). Cina juga mendukung dan melatih mereka.



Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer. Ashin Wirathu, Biksu Buddha penggerak Umat Buddha di Myanmar untuk membenci & menyerang Rohingya.


Wirathu disebut dalam majalah TIME sebagai tokoh paling kontroversial. Di balik jubah biksunya, dia mendapat cap provokator yang benci pada kaum muslim dan mulai khawatir atas perkembangan agama samawi ini di tanah Myanmar. Atas kelakukannya, Wirathu dilabeli banyak media sebagai 'Buddhist Bin Laden'. Bahkan, TIME juga menulis Wirathu sebagai 'The Face of Buddhist Terror' atau Wajah Teror Buddha.


Dalam majalah (Time) tersebut, dibeberkan bagaimana biksu militan yang dipimpin Wirathu mendalangi aksi kejahatan anti-Islam di Asia. Wirathu sempat mengatakan bahwa kaum Buddha tengah dalam ancaman bahaya. Seperti dikutip The Economist, Wirathu mengatakan berabad-abad silam, Indonesia merupakan negara Hindu dan Buddha, sebelum jatuh ke tangan Islam.


Biksu Wirathu lahir pada 10 Juli 1968. Ashin Wirathu, nama lengkapnya. Ia yang mencetuskan gerakan ‘969’; sebuah gerakan anti-Islam yang kemudian membantai muslim Rohingya dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya. Catatan hitam Wirathu mencuat sejak tahun 2001. Waktu itu ia menghasut kaum Budha untuk membenci muslim. Hasilnya, kerusuhan anti-Muslim pecah pada tahun 2003. 


Wirathu kini menjabat sebagai kepala di Biara Masoeyein Mandalay. Di kompleks luas itu Wirathu memimpin puluhan biksu dan memiliki pengaruh atas lebih dari 2.500 umat Budha di daerah tersebut. Dari basis kekuatannya itulah Wirathu memimpin gerakan anti-Islam “969”.

Interviewnya yang dimuat majalah The New York Times, terbit 21 Juni 2013, Biksu Wirathu menyebut muslim Rohingnya adalah anjing gila. Hal itu tidak disebutkan Wirathu secara sembunyi-sembunyi tetapi langsung dikatakannya dalam khutbah yang diliput media setempat & media internasional.

“Anda bisa berikan kebaikan dan rasa kasih, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila,” kata Wirathu.


Kampanye provokatif semacam itu mulai meluas pada awal 2013. Wirathu berpidato di berbagai tempat, menyalakan kebencian kaum Budha atas umat muslim. Selain melalui pidato, gerakan 969 juga menyebar dengan cepat melalui stiker, brosur dan sebagainya. Kebencian dan anti-Islam meluas dengan cepat, berbuah pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya.

Anthony Catalucci, analist geo politik Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dalam kasus Rohingya ini mengatakan, "Apa yang disebutkan sebagai genosida dalam hukum internasional, sedang terjadi di provinsi Rakhine, Myanmar barat."

Militer Myanmar dituding bertanggung jawab dalam pembunuhan, salah memenjarakan orang, melakukan penyiksaan, perbudakan seks dan pemerkosaan. Laporan PBB menyebut, di negara bagian Rakhine ada bukti telah terjadi pemusnahan dan deportasi.


Sebuah laporan tim pencari fakta PBB menegaskan bahwa para pemimpin militer, termasuk panglima tertinggi Myanmar, harus diselidiki dan didakwa dengan tuduhan bertanggungjawab dalam genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang, atas tindakan mereka terhadap kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk setengah juta muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine Agustus 2017 lalu.


Laporan itu, yang dikemukakan di Jenewa pada Senin 27 Agustus 2018 oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan. 


Laporan itu juga menyebut bahwa panglima tertinggi militer Myanmar, Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan didakwa atas dugaan mendalangi genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara, serta mendalangi kejahatan perang di Negara Bagian Kachin dan Shan.

Tindak kejahatan di Rakhine, Myanmar, berdasarkan cara para korban diperlakukan, kondisi dan ruang lingkup mengarah pada adanya niat melakukan genosida atau pembantaian dalam konteks lain. Tim pencari fakta PBB menyimpulkan ada cukup bukti untuk mengadili para pucuk pimpinan militer Myanmar.


Laporan setebal 190 halaman itu, berdasarkan lebih dari 400 wawancara yang dilakukan selama sembilan bulan di Myanmar dan Bangladesh, menggambarkan saksi dan laporan lain tentang pembunuhan di luar hukum, perkosaan massal, perampasan sumber daya vital, dan pembakaran desa-desa Rohingya dalam "cara yang disengaja".


Ditambahkan oleh Amnesty International, masyarakat Rohingya merupakan minoritas muslim yang teraniaya dan kebanyakan tanpa kewarganegaraan dari negara bagian Rakhine di wilayah barat Myanmar, negara dengan mayoritas penganut Buddha.


Setelah kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan beberapa serangan terhadap pasukan keamanan negara pada 25 Agustus 2017, militer Myanmar melakukan pembalasan brutal yang menargetkan warga sipil Rohingya.


Sejak itu, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, mewakili sekitar 80 persen dari total populasi mereka di wilayah utara negara bagian Rakhine.

Laporan tersebut juga mengidentifikasi dua divisi tempur yang diketahui terlibat dalam pelanggaran serupa lainnya di Myanmar , yakni 33rd and 99th light infantry divisions yang dikerahkan ke negara bagian Rakhine sebelum kekerasan Agustus terjadi. Amnesty International juga memperoleh rekaman audio tentang "konflik Agustus 2017" --diyakini otentik-- yang didapat dari panggilan telepon antara penduduk Rohingya dan seorang perwira militer setempat.


Dalam rekaman itu, petugas mengatakan, dalam bahasa Burma, "Kami mendapat perintah untuk membakar seluruh desa jika ada gangguan. Jika Anda penduduk desa tidak hidup dengan damai, kami akan menghancurkan segalanya ... Kami memulai operasi ... Jika Anda hanya diam, tidak akan ada masalah. Jika tidak, Anda semua akan berada dalam bahaya."



Kebencian Disebar Secara Sistematis Melalui Sosial Media
Anggota tim investigasi Yanghee Lee menyebutkan bahwa Facebook punya popularitas tinggi di Myanmar dan membuatnya jadi faktor kunci penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang menyasar kelompok Rohingya.


"Facebook digunakan untuk menyampaikan pesan publik, tetapi kami tahu bahwa para ultra-nasionalis Buddha Myanmar menggunakan Facebook untuk menyebarkan kebencian terhadap Rohingya atau etnis minoritas lainnya. Saya khawatir Facebook sekarang berubah jadi binatang buas dan bukan apa yang dimaksudkan pada awalnya.” ujar Yanghee Lee


Di Myanmar, Facebook Adalah Internet
Myanmar telah lama hidup di bawah cengkeraman junta militer yang memberlakukan aturan sensor ketat agar arus informasi bisa dikontrol. Salah satu langkahnya adalah menetapkan harga yang tinggi untuk kartu SIM ponsel

Tahun 2011 pemerintah Myanmar memutuskan untuk melonggarkan sensor. Kebijakan ini turut berdampak pada terbukanya akses internet, turunnya harga kartu SIM ponsel (dari yang semula $3.000 menjadi $1), serta meledaknya penggunaan teknologi seluler.


Salah satu pihak yang diuntungkan dari keterbukaan ini adalah Facebook. Sebagaimana diwartakan The New York Times , selepas sensor dilonggarkan dan teknologi seluler mulai berada di genggaman masyarakat Myanmar, Facebook dapat menarik sekitar 30 juta pengguna dalam kurun waktu 2014 sampai sekarang.


Tingginya angka tersebut memperlihatkan antusiasme masyarakat dalam beraktivitas di Facebook. Di Facebook, mereka seperti bisa melakukan apa saja. Bahkan, lebih banyak warga Myanmar yang punya akses ke Facebook dibanding jaringan listrik di rumah mereka. Facebook, singkat kata, telah menjadi bagian dari hidup masyarakat Myanmar. Facebook adalah internet dan begitu juga sebaliknya.

“Facebook telah menjadi semacam internet secara de facto untuk Myanmar,” ungkap Jes Kaliebe Petersen, kepala eksekutif Phandeeyar, pusat teknologi sekaligus mitra Facebook di Myanmar kepada The New York Times. “Ketika orang beli smartphone, Facebook sudah terpasang.”


Namun, ada harga yang harus dibayar untuk pengadopsian internet Myanmar. Tej Parikh dalam “Social Media Exhibits Its Disruptive Power in Myanmar” yang terbit di The Diplomat menyebut tingginya akses internet dan Facebook di Myanmar turut meningkatkan sentimen terhadap minoritas Rohingya yang digulirkan oleh biksu-biksu ultra-nasionalis. Lewat internet, terutama Facebook, mereka menyebar fitnah yang ganas sampai ujaran kebencian yang pada akhirnya mampu membentuk skeptisisme masyarakat akan keberadaan Rohingya. 

Dari kebencian kelompok tertentu menjadi kebencian berskala nasional—dan Facebook adalah media penyalurnya. Beberapa konten anti-Rohingya yang beredar di Facebook antara lain karikatur rasis, foto palsu, sampai laporan-laporan menyesatkan. Konten-konten itu kemudian jadi viral, mendorong kebencian, hingga membentuk persepsi publik akan Rohingya. 


Kekerasan terhadap Rohingya semakin dilegitimasi dan dirayakan sebagai “keberhasilan negara.”
Salah satu pihak yang getol berlaku seperti ini adalah Ashin Wirathu yang mempunyai ratusan ribu pengikut di Facebook. Setiap hari, ia mengunggah informasi yang menyudutkan Rohingya. 

Menyebut Rohingnya sebagai “orang luar yang agresif,” membagikan foto maupun video biksu yang tewas “akibat serangan Rohingya,” hingga narasi-narasi lainnya yang menegaskan bahwa Rohingya merupakan ancaman bangsa dan agama.

Facebook berkali-kali memblokir akun Wirathu, tapi ia selalu saja berhasil membikin akun baru dan meneruskan kebenciannya kepada Rohingya lewat Facebook. Dalam satu wawancara, ia pernah mengatakan, apabila Facebook menghapus akunnya, ia tinggal membuat akun lagi. Ia juga menambahkan jika ada yang tak suka dengan unggahannya di Facebook, “mereka bisa menuntut saya.”

Selain Wirathu, ada pula Thu Seikta, biksu ultra-nasionalis dari Yangon yang menggunakan Facebook sebagai alat mobilisasi massa. Ia menyerukan pada pengikutnya untuk menentang penggunaan istilah “Rohingya” serta mengajak mereka mengintimidasi orang-orang Muslim di sekitaran Pagoda Shwedagon.

Dalam satu kesempatan, Seikta pernah mengatakan eksodus Rohingya ke Bangladesh membuatnya bahagia. Ia menambahkan, “Mereka [Rohingya] adalah orang paling berbahaya di dunia. Wajar jika mereka pergi ke rumah mereka [Bangladesh]. Jika mereka kembali ke sini, akan ada lebih banyak kekerasan.”

Tak hanya digunakan kelompok ultra-nasionalis, Facebook juga digunakan pemerintah dan militer untuk melancarkan propaganda yang semakin memperkeruh suasana. Misalnya saja Zaw Htay, juru bicara Aung San Suu Kyi, yang mengunggah lusinan gambar yang memperlihatkan seolah-olah orang Rohingya membakar rumah mereka sendiri. Meski gambar-gambar itu banyak ditentang, Facebook tak menghapusnya.

Lalu ada Min Aung Hlaing, panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar yang berkali-kali menegaskan melalui akun Facebook dan Twitter-nya bahwa operasi di Rakhine adalah respons atas “upaya bengis ekstremis untuk membangun sebuah kubu.” 


Pembenaran itu lantas dibagikan ke 1,3 juta pengikutnya. Pemberitaan pemerintah tentang Rohingya, catat Parkih dalam tulisannya di The Diplomat, dibuat secara tidak proporsional. Bagi pemerintah, tak ada yang namanya pelanggaran HAM. 

Lewat Facebook, pemerintah dan militer Myanmar dalam kasus Rohingya, kian gencar melakukan propaganda bahwa apa yang mereka lakukan terhadap kelompok Rohingya—membantai, memperkosa, dan mengusir—dapat dibenarkan. Di saat bersamaan, pemerintah juga menggunakan Facebook untuk mengawasi mereka yang kritis atas isu Rohingya. Siapa yang mengatakan pemerintah dan militer bersalah sekaligus dianggap mencemarkan nama baik kedua institusi itu, maka penjara merupakan balasannya. 


Walaupun pemerintah melonggarkan kebijakan sensor, tapi mereka tak benar-benar melonggarkan sepenuhnya. Militer masih mengontrol akses informasi dan membungkam masyarakat sipil yang kritis terhadap pemangku kebijakan.

Pada dasarnya, Facebook tidak selalu mengawasi miliaran unggahan maupun status yang beredar di seluruh dunia tiap harinya. Dalam menanggulangi kasus-kasus seperti “pelanggaran konten” (menyebar hoaks, foto vulgar), Facebook hanya mengandalkan apa yang disebut “standar komunitas” (pengguna melaporkan unggahan yang negatif, diproses Facebook, dan ditentukan apakah dapat dihapus atau tidak) yang seringkali justru membingungkan.


Ihwal kebingungan “standar komunitas” ini juga berlaku pada kasus Rohingya. Ketika Facebook kerap membiarkan unggahan hoaks dari kelompok ultra-nasionalis dan militer tentang Rohingya, mereka justru menghapus bukti-bukti pelanggaran HAM oleh negara yang dipublikasikan aktivis dan LSM dengan alasan “bermuatan kekerasan.”

Media sosial, tidak hanya jadi media mobilisasi massa namun juga jadi titik balik lahirnya gerakan yang sama di dunia nyata. Facebook hanya pemantik, lalu terus berlanjut secara offline sampai sekarang.



Referensi:

Sejarah Rohingya, Duka Warga Tanpa Negara - detikNews

Pembantaian Sistematis terhadap Muslim Rohingya - Tirto.id

Konflik Agama Jadi Dalih Kasus Perebutan Lahan di Myanmar - Tirto.id

"Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer" - Tirto.id

Fakta Menyeramkan Soal Biksu yang Membenci Kaum Muslim Rohingya - Wartakota.Tribunnews.com

Alasan Biksu Wirathu Sangat Membnci Muslim Rohingya - Tarbiyah.net

Tuntutan ICC untuk Mengusut Kejahatan Anti-Muslim Rohingya - Parstoday.com/id

Amnesty International: 13 Pejabat Myanmar Terlibat Kejahatan HAM pada Etnis Rohingya - Liputan6.com

Benarkah Facebook Terlibat dalam Pembantaian Rohingya? - Tirto.id