Laman

Rabu, 27 Mei 2020

Minum Es Semakin Membuat Haus, Air Hangat Justru Lebih Cepat Hilangkan Haus

Air dapat terserap lebih cepat jika memiliki suhu yang sama dengan suhu tubuh. Karena itu jika minum es, penyerapan berjalan lebih lambat dan rasa haus terasa lebih lama.

Image: naukrinama.com
Air dingin yang diminum perlu waktu untuk menyesuaikan dengan suhu tubuh. Butuh waktu lebih hingga diserap ke darah. Ketika minum air dingin atau air es, tubuh bekerja lebih keras untuk menetralkan suhu air. Alangkah baiknya saat haus, lebih baik minum air hangat.

Hal tersebut berdasarkan dari banyak hasil studi dan penelitian, salah satunya yang dilakukan oleh Universitas Ottawa menyatakan minuman hangat menjadi salah satu pilihan terbaik untuk menjaga kestabilan suhu di dalam tubuh.

Sistem penginderaan yang berada di dalam mulut, tenggorokkan, dan perut dapat memicu keluarnya keringat ketika seseorang mengonsumsi cairan panas. Namun uniknya, suhu di dalam tubuh tetap seimbang bahkan mengalami penurunan. Untuk menurunkan suhu tubuh, keringat yang dikeluarkan harus sepenuhnya menguap sehingga menghasilkan efek pendinginan.

Meminum air dingin justru menghasilkan respon yang berlawanan , meski keringat yang dikeluarkan tidak sebanyak ketika meminum air panas. Meminum air dingin yang berlebihan juga dipercaya dapat menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi dan batuk .

Saat haus, anjuran minum paling tepat adalah air putih. Namun jika rasa haus terjadi saat berolahraga, minuman isotonik atau air kelapa bisa menjadi alternatif. Minuman isotonik dan air kelapa mengandung banyak mineral yang berfungsi memperkaya dan menjaga asupan cairan tubuh. Seperti yang kita ketahui, cairan tubuh tidak hanya berisi air, namun juga zat-zat lain seperti natrium, potassium hingga zat besi.



Referensi:

Minum Es saat Cuaca Panas Justru Bikin Tambah Haus dan Batuk, Benarkah?
Okezone.com

Jangan Salah, Minum Air Hangat Lebih Cepat Hilangkan Haus Daripada Minum Es
detikNews.com

Air Dingin atau Hangat, Mana yang Bikin Lebih Gampang Haus?
HaiBunda.com

Minggu, 10 Mei 2020

Hilangnya Bulan Pada Tahun 1110 Dari Langit Bumi

Bulan ternyata pernah menghilang dari langit Bumi sekitar satu milenium atau seribu tahun lalu. Lantas apa penyebabnya? Berikut penjelasannya;

Moon from Earth Space
(Images: Science Photo Libary)

Hal tersebut dikarenakan terjadi pergolakkan besar di atmosfer bumi. Pada saat itu adanya awan raksasa kaya akan partikel sulfur yang bergerak ke seluruh stratosfer, sehingga mengubah langit menjadi gelap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Stratosfer sendiri merupakan lapisan kedua dari atmosfer bumi, terletak di atas troposfer dan di bawah mesosfer. Terungkapnya fenomena itu setelah para peneliti melakukan pengeboran untuk mengambil sampel inti es dari perut bumi di bawah lapisan es atau gletser. Analisa pada sampel tersebut menunjukkan adanya sulfur aerosol yang terjebak di dalamnya.

Jejak sulfur aerosol tersebut diperkirakan terbentuk akibat peristiwa letusan gunung berapi yang mencapai lapisan stratosfer, dan kemudian letusan itu membutuhkan waktu untuk pada akhirnya turun kembali ke Bumi. Lapisan es itu menyimpan bukti vulkanisme yang terjadi jauh di masa lalu, meski demikian tetap sulit untuk menentukan waktu pasti peristiwa itu terjadi.

Peneliti masih mencari dari gunung berapi apa letusan itu berasal. Melansir Science Alert , Jumat (8/5/2020), para ilmuan berasumsi endapan sulfur tersebut berasal dari lutusan besar gunung berapi Hekla di Islandia pada tahun 1104. Salah satu gunung yang paling paling ditakuti, bahkan disebut-sebut sebagai 'Gerbang Menuju Neraka'.

Asumsi letusan itu pun dianggap masuk akal, berdasarkan bukti yang ditemukan di bawah lapisan es bahwa adanya endapan sulfat terbesar selama 1.000 tahun terakhir. Kendati demikian, hal itu masih meragukan jika ternyata garis waktu dari inti es mengalami lengkungan waktu. Lantaran, sebuah penelitian beberapa tahun lalu mengungkapkan, bahwa menurut skala waktu yang dikenal dengan Greenland Ice core Chronology 2005 (GICC 05), terdapat tahun yang hilang hingga tujuh tahun pada milenium pertama masehi dan empat tahun pada milenium berikutnya.

Berdasarkan temuan itu, menurut penelitian terbaru oleh palaeoclimatologi Sébastien Guillet dari University of Geneva di Swiss menyimpulkan, Hekla bukanlah gunung berapi yang menyebabkan terbentuknua endapan sulfat pada inti es tersebut. Adanya revisi kronologi waktu inti es Greenland, maka diperkirakan waktu terbentuknya endapan sulfat tersebut mulai terjadi pada akhir tahun 1108 atau awal 1109, dan terus berlangsung hingga 1113.

Tim peneliti pun menelusuri dokumen sejarah guna menyelidikan penyebab dari terbentuknya endapan sulfat pada inti es. Mereka mencari catatan sejarah abad pertengahan mengenai peristiwa gerhana bulan aneh yang sangat gelap, yang dimungkinkan berhubungan dengan terbentuknya kabut yang menutupi lapisan stratosfer akibat letusan gunung berapi.
Menurut catatan NASA, berdasarkan retrokalkulasi astronomi, tujuh peristiwa gerhana bulan total pernah terjadi di Eropa pada 20 tahun pertama di milenium terakhir, yakni antara 1100 dan 1120.

Dalam kurun waktu tersebut, seorang saksi menuliskan adanya gerhana bulan yang terjadi pada Mei 1110. Menurutnya, saat itu bulan terlihat sangat gelap.

"Pada malam kelima di bulan Mei, muncul bulan yang bersinar terang di malam hari, dan sedikit demi sedikit cahayanya berkurang sehingga begitu malam mencapai puncaknya, cahaya itu benar-benar padam. Tidak ada cahaya maupun orb, tidak ada apapun yang terlihat," tulis saksi dalam Peterborough Chronicle.

Banyak astronom yang telah membahas gerhana bulan yang misterius itu, salah satunya Georges Frederick Chambers astronom asal Inggris.

"Gerhana bulan ini adalah contoh gerhana 'hitam', ketika bulan menjadi tidak terlihat dan tak memancarkan cahaya dengan rona tembaga yang seperti biasanya," kata dia.

Meskipun peristiwa ini terkenal dalam sejarah astronomi, namun para peneliti tidak dapat memperkirakan kejadian itu disebabkan oleh aerosol vulkanik yang berada di lapisan stratosfer. Jika berdasarkan penghitungan waktu tersebut bukanlah gunung Hekla yang meletus pada saat itu, maka gunung berapi apa yang jadi penyebabnya?

Para peneliti menilai penjelasan yang paling mungkin adalah berasal dari Gunung Asama di Jepang. Gunung berapi tersebut pernah meletus pada tahun 1108 dan menghasilkan lapisan debu yang tebal selama berbulan-bulan. Jauh lebih besar dari letusan yang terjadi pada 1783 dengan menewaskan lebih dari 1.400 jiwa.

Catatan yang ditulis oleh seorang negarawan menggambarkan peristiwa yang terjadi pada tahun 1108, di mana ada api di puncak gunung berapi, lapisan abu tebal menutupi kebun gubernur, begitu pula di ladang dan sawah sehingga jadi tidak layak untuk ditanami.

Para peneliti juga melakukan penelitian bukti cincin pohon untuk memperkuat hipotesis mereka. Hasilnya menunjukkan pada tahun 1109 temperatur udara sangat dingin yakni sekitar 1 derajat celsius lebih dingin di belahan bumi utara. Dokumuen sejarah lainnya juga mencatat adanya dampak iklim dan sosial yang terjadi pada tahun 1109-1111 akibat terjadi letusan gunung berapi pada 1108. Para peneliti menemukan banyak kesaksian yang merujuk pada cuaca buruk, kegagalan panen, dan kelaparan di tahun-tahun tersebut.

"Berbagai rangkaian bukti menunjukkan saat itu masyarakat mengalami kesulitan bertani, dimulai pada tahun 1109 hingga terjadi bencana kelaparan yang meluas hingga beberapa wilayah di sebelah barat Eropa,” kata tim peneliti.

Meski demikian, masa-masa sulit yang terjadi pada manusia hampir satu milenium yang lalu itu, tak bisa dijadikan bukti kuat terjadinya peristiwa letusan gunung berapi. Tetapi para peneliti mengatakan, jika semua bukti dirangkai menjadi satu maka menunjukkan adanya rangkaian letusan gunung berapi yang terlupakan pada tahun 1108-1110 yang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang mengerikan pada masa itu.

Penelitian ini menyatakan alasan itu merupakan yang paling masuk akal dalam mengungkap tentang misteri hilangnya Bulan di langit Bumi.


Dilansir dari: KOMPAS.COM
"Ternyata Bulan Pernah Menghilang dari Langit Bumi, Kok Bisa?"
Publikasi: 8 Mei 2020
Penulis: Yohana Artha Uly
Editor: Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas