Laman

Jumat, 24 Juli 2020

Sejarah Hagia Sophia - Mengubah Hagia Sophia Menjadi Mesjid Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam

Dewan Negara, pengadilan administratif tertinggi Turki, pada 2 Juli membatalkan keputusan 1934 dan memerintahkan Hagia Sophia, situs Warisan Dunia UNESCO, akan dibuka kembali sebagai tempat beribadah Muslim. Dewan Negara memutuskan Hagia Sophia menjadi masjid dari museum dengan suara bulat. Proses suara bulan ini merupakan manipulasi emosi yang mencolok. 

Hagia Sophia/Foto: Westfalenpost

Usaha Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan ini tidak lain hanya untuk memenangkan satu kelompok Muslim namun menyembunyikan kenyataan yang jauh dari semangat Islam. Fakta-fakta sejarah jika terungkap akan menjadi bumerang. Pemerintah Edogan adalah contoh nyata dari pemerintahan yang mendistorsi sejarah untuk melayani kepentingan politiknya. Yang pasti, banyak sejarawan, baik orang Turki atau orang Arab, menyebut peristiwa ini dengan bangga, meski tidak mencerminkan moral Islam.

Ketika masih hidup, Nabi Muhammad SAW menulis kepada Uskup Bani Harith bin Kaab dan para uskup Najran, pendeta, biksu, dan pengikut mereka bahwa mereka menyimpan semua milik yang ada di tangan mereka baik sedikit atau banyak, termasuk harta milik mereka, doa. Semuanya di bawah perlindungan Allah SWT dan Nabi-Nya. Tidak ada uskup yang harus disingkirkan dari jabatannya atau biksu dari biaranya atau pendeta dari gerejanya. 

Seharusnya apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad menjadi sebuah tradisi dan hukum yang harus dipatuhi semua umat Islam. Yang dilakukan Nabi Muhammad ini bermakna untuk hidup bersama orang lain sambil menghormati ritual keagamaan mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan keyakinan keagamaan mereka. 

Setelah Nabi Muhammad wafat, para khalifah mengikuti tradisi yang toleran dan baik hati ini. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti dengan apa yang dikenal sebagai "Perjanjian Umar" untuk orang-orang Yerusalem:  

"Atas nama Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, ini adalah jaminan perdamaian dan perlindungan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, kepada orang-orang Yerusalem." Umar memberi mereka jaminan perlindungan kehidupan mereka, properti, gereja, salib, orang sakit, orang sehat, dan semua komunitas agamanya. Gereja-gereja mereka tidak akan ditempati, dihancurkan atau diambil seluruhnya atau sebagian. Tak satu pun dari salib atau properti mereka akan disita. Mereka tidak akan dipaksa dalam agama mereka dan tidak akan ada dari mereka yang terluka."

Umar menulis perjanjian serupa untuk rakyat Lod, sementara Ayyadh bin Ghanam menulis perjanjian serupa untuk rakyat atau Ar-Raqqah dan Uskup Odessa.
Ketika Khalid bin Walid menaklukkan Damaskus, ia menulis kepada orang-orangnya: 

Atas nama Allah, Yang Maha Pemurah, Penyayang. Ini diberikan oleh Khalid bin Walid kepada orang-orang Damaskus. Ketika orang-orang Muslim masuk, mereka (orang-orang Damaskus) akan memiliki keselamatan untuk diri mereka sendiri, harta benda mereka, tempat ibadah mereka, dan tembok-tembok kota mereka, yang tidak ada yang akan dihancurkan. Mereka memiliki jaminan ini atas nama Allah, Utusan Allah, Khalifah, dan Muslim.

Kondisi ini tidak terjadi saat penaklukan Konstantinopel. Hagia Sophia adalah gereja Kristen yang dibangun antara 532 M dan 537 M pada masa pemerintahan Kaisar Justinian I. Namun Mehmed II mengubah gereja itu menjadi masjid. 

Hagia Sophia, yang merupakan tempat ibadah terbesar di dunia Kristen, telah menjadi tempat yang hebat untuk ibadat Islam. Tidak ada bangunan di Eropa Barat yang lebih memesona selain Hagia Sophia. Sebelum pembangunan gereja-gereja besar selama masa Renaisans, Hagia Sophia menjadi sorotan orang-orang Kristen di mana-mana. Ini menjelaskan mengapa konversi Hagia Sophia menjadi masjid adalah masalah yang krusial bagi umat Kristen.

"Dalam arti yang sama, perilaku Republik Turki setelah tahun 1930 sangat penting dalam hal politik dan budaya ketika mengubah tempat ibadah ini menjadi museum, setelah itu menyebabkan perselisihan antara orang-orang selama berabad-abad." [Ottoman Ditemukan Kembali, diterjemahkan oleh Bassam Chiha (Beirut: Al-Dar Al-Arabiya Lil Ulum Nashiroun, 2012, 77)].

Erdogan berusaha memenangkan hati Muslim di seluruh dunia dengan mengadakan doa di Hagia Sophia dan mengubahnya menjadi masjid. Meskipun langkah seperti itu tidak mewakili nilai-nilai Islam, yang melarang paksaan dan penghinaan dari Ahli Kitab.

Turki tidak memiliki hak untuk membuat keputusan seperti itu, berdasarkan undang-undang yang menjamin hak dan sentimen orang-orang di seluruh dunia. Ini tidak hanya didikte oleh hukum internasional, tetapi terutama oleh prinsip-prinsip Nabi Muhammad, para sahabatnya dan ajaran-ajaran Islam moderat sepanjang zaman.

Adapun dokumen yang mengklaim bahwa Hagia Sophia adalah bagian dari Wakaf Fatih, itu pasti bagian dari permainan di mana sejarah ditempa dan digunakan.
Tidak sulit untuk memalsukan dokumen semacam itu, terutama mengingat bahwa dokumen tersebut tidak sesuai dengan fakta sejarah.

Bagi Fatih, ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota, mengumumkan konversi Hagia Sophia menjadi masjid, lalu kapan dia punya waktu untuk membelinya dan menetapkannya sebagai Wakaf? Baginya, itu adalah fait accompli.

Perubahan Hagia Sophia tidak mewakili kita sebagai Muslim di seluruh dunia.


Sejarah Hagia Sophia

Dalam bahasa Turki, Hagia Sophia disebut Ayasofya, dan di bahasa Latin: Sancta Sophia. Hagia Sophia juga pernah dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci (Church of the Holy Wisdom) dan Gereja Kebijaksanaan Ilahi (Church of the Divine Wisdom).

Menurut ensiklopedia Britannica , bangunan Hagia Sophia pertama kali didirikan di atas pondasi atau tempat kuil pagan pada 325 Masehi, atas perintah Kaisar Konstantinus I.

Putranya, Konstantius II, lalu menjadikan bangunan ini sebagai gereja Ortodoks pada 360 masehi. Hagia Sophia kemudian menjadi gereja tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium.

Pada tahun 404 masehi, Hagia Sophia sempat terbakar akibat kerusuhan karena konflik politik di kalangan keluarga Kaisar Arkadios yang kemudian menjadi penguasa Bizantium pada 395-408 masehi.

Selepas Arkadios mangkat, penerusnya, Kaisar Theodosis II membangun struktur kedua di Hagia Sophia. Di bangunan ini, ditambahkan lima nave dan jalan masuk khas gereja dengan atap terbuat dari kayu.

Sebagaimana dicatat Encyclopedia Britannica , pembangunan gereja Hagia Sophia berlanjut di masa kekuasaan Justinan I (532 M). Perbaikan dilakukan karena Hagia Sophia rusak akibat rusuh yang terjadi saat revolusi Nikka.

Setelah kerusuhan yang melanda Konstantinopel itu, Justinian I memerintahkan arsitek terkenal pada masanya, Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), untuk mendirikan ulang bangunan Hagia Sophia. Pada masa Kaisar Justinian I inilah yang paling masyhur diakui sebagai fondasi awal dari bangunan Hagia Sophia yang sekarang demikian terkenal.

Kubah yang menaungi Hagia Sophia juga diklaim sebagai kubah bangunan terbesar kedua selepas Gereja Pantheon di Roma. Bangunan ini dianggap warisan arsitektur terpenting dari era Bizantium dan merupakan bagian dari monumen warisan dunia.

Pada 1453, era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmet/Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Setelah Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel, status Hagia Sophia dikonversi menjadi masjid.

Nama Hagia Sophia masih dipertahankan oleh Sultan Mehmed II. Sebagaimana arti kata sophia dalam bahasa Yunani adalah kebijaksanaan, maka arti lengkap dari Hagia Sophia adalah tempat suci bagi Tuhan. Sultan Mehmed II mempertahankan kesucian Hagia Sophia dan hanya mengubah status fungsinya dari gereja menjadi tempat ibadah umat Islam.

Salah satu alasan Sultan Mehmed II: "Tuhan yang disembah umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang sama," tulis Robert Mark dan Ahmet S. Cakmak yang dikutip dari Diegesis di Hagia Sophia from the Age of Justinian to the Present (1992: 201).

Saat berubah menjadi masjid di era Mehmed II, banyak mosaik dan lukisan bercorak Kristen, yang menghiasai bangunan Hagia Sophia, ditutupi dan diplester. Seniman kaligrafi terkenal pada masa itu, Kazasker Mustafa İzzet, kemudian mengguratkan tulisan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, empat khalifah pertama, dan dua cucu Rasulullah SAW, di beberapa bagian interior Hagia Sophia.

Pada masa Kesultanan Ottoman, struktur bangunan Hagia Sophia memperoleh sentuhan arsitektur Islam. Misalnya, mihrab yang kemudian dibangun, hingga pendirian empat menara yang digunakan untuk melantunkan Adzan. Bangunan seperti madrasah, perpustakaan hingga dapur umum juga melengkapi Hagia Sophia pada masa Ottoman. Pada era Kekaisaran Ottoman, bangunan Hagia Sophia sempat difungsikan menjadi masjid selama 482 tahun.

Selepas Kekaisaran Ottoman bubar dan Turki menjadi negara republik, Hagia Sophia pun kembali beralih fungsi. Pendiri dan presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum.

Setelah Hagia Sophia menjadi museum, dilakukan restorasi mosaik-mosaik kuno di bangunan ini dan plester penutupnya dibuka. Lantas, selepas plester ornamennya dibuka, tampaklah lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus, yang ternyata berjejer dengan kaligrafi Allah dan Muhammad SAW.

Hagia Sophia kemudian diakui sebagai salah satu dari situs Warisan Dunia UNESCO yang disebut Area Bersejarah Istanbul, sejak tahun 1985.




Referensi

Ali Mohammed (Kairo: Al-Khanji Boosktore, 2001)

[Ahmed bin Abi Yakoob, Tarikh Al-Yakoobi, diulas oleh Abdul Amir Mhanna, (Beirut: Al-Aalami Lil Matbouat, 2010) Mengatakan bin Batriq “Afticius,” Al-Tarikh Al-Majmou 'Ala Al-Tahqiq Wal Tasdiq (Beirut : Jesuites Print, 1905)]

Ottoman Ditemukan Kembali [diterjemahkan oleh Bassam Chiha (Beirut: Al-Dar Al-Arabiya Lil Ulum Nashiroun, 2012, 77)]

Apakah Perubahan Hagia Sophia Mewakili Muslim Dunia?
Republika.co.id 

Sejarah Hagia Sophia, Museum yang Dijadikan Masjid oleh Erdogan
Tirto.id

Jumat, 03 Juli 2020

Kitab Lauhul Mahfudz

Lauh Mahfuzh (ﻟَﻮْﺡٍ ﻣَﺤْﻔُﻮﻅٍ) juga disebut sebagai Kitaabun Min Qabli (Kitab Ketetapan) karena mengisahkan tentang berbagai peristiwa yang akan terjadi di seluruh jagad raya. Allah telah menjadikan Lauh Mahfuz ini sebagai tempat untuk menyimpan segala rahasia di langit dan di bumi.

Nuzulul Qur'an ilustrasi/Foto: Shutterstock
Dalam Al-Qur'an, Lauhul Mahfudz disebut sebagai Ummul Kitaab (Induk Kitab), Kitaabun Hafiidz (Kitab Yang Memelihara atau Mencatat), Kitaabun Maknuun (Kitab Yang Terpelihara). Lauh Mahfuzh berarti terpelihara (mahfuzh), jadi segala sesuatu yang tertulis di dalamnya tidak berubah atau rusak.

Seluruh kehidupan di dunia ini tercatat dalam Lauh Mahfuzh: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al An’aam, 6:38).

Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. Al Hajj, 22:70) (1

Tidak ada yang tertinggal atau terlupakan dari kitab ini: Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kcuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al An’aam, 6:59)

Kalimat Allah di dalam Lauh Mahfuzh tidak akan ada habisnya, dan hal ini dijelaskan melalui perumpamaan: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman, 31:27)

Apakah lauhul mahfudz bisa berubah?

Takdir memang tidak bisa berubah tanpa takdir baru yang datangnya dari Allah SWT. Dengan demikian, catatan di dalam Lauh al-Mahfuzh pun bisa berubah, namun berdasarkan usaha manusia, baik itu berupa tindakan atau doa, semuanya adalah kejadian yang tertulis di lauh mahfudz.

Berdoa ilustrasi/Foto: iStock
Sama sekali tak ada kejadian apa pun yang tak terekam di sana. Tidak relevan sama sekali menanyakan apakah usaha dapat mengubah takdir sebab usaha itu sendiri adalah juga bagian dari takdir. Intinya, usaha tak bisa dipertentangkan dengan takdir sebab usaha itu sendiri, baik usaha positif atau usaha negatif, adalah juga bagian dari takdir. Dengan kata lain Manusia itu sendiri yang mengisi catatan Lauh al-Mahfuzh dengan usaha manusia, baik itu berupa tindakan atau doa.

Adanya perubahan di dalam Lauh al-Mahfuzh itu merupakan hak prerogatif Tuhan, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umm al-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS ar-Ra'd [13]:39).

Kalimat “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki” dari lembaran tertentu dan “menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” dalam lembaran lain yang bukan Lauh al-Mahfuzh. Di sisi Allah SWT terdapat Umm al-Kitab yang tidak lain adalah Lauh Mahfuzh yang sesungguhnya dan tidak tersentuh perubahan.


Referensi:

Bisakah Manusia Mengubah Takdir
IslamPos.com

Apakah Takdir Bersifat Tetap?
HakikatIslam.com

Menyingkap Misteri Lauh al-Mahfudz
Republika.co.id

Lauh Mahfuzh
Republika.co.id