Laman

Selasa, 27 November 2018

Pengkhianatan Arab Saudi Terhadap Islam


Gurun Negev akses utama tentara Turki Ottoman jika hendak melakukan serangan. Kekhalifahan Turki Ottoman adalah penakluk jazirah Arab saat itu. Hampir semua wilayah di Timur Tengah berada di bawah penguasaannya, termasuk Yerusalem Palestina, dan tentu Inggris atau Britania Raya tentunya punya kepentingan di situ.

Bukan berpegang teguh dan bersatu dalam ukhuwah islamiyah, klan-klan di jazirah Arab justru saling berperang satu sama lain. Klan terbesar Bani Hasyim, yang juga klan sang Nabi Muhammad. Klan Hasyim ini menjadi penguasa di Mekkah dan Madinah (atau Hejaz). Sedangkan Klan Saud atau Bani Saud berkuasa di Najd, yang masih berada di kawasan Arab Saudi sekarang.

Bagi Inggris, Bani Hasyim yang memimpin Kota Hijaz (sekarang Mekkah), sangat penting. Dalam situasi krusial Perang Dunia I, penguasa Hejaz adalah Sharif Hussein yang diangkat sebagai Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909.


Lemahnya penguasa, perilaku korup & dzolim, perekonomian yanh semakin terpuruk akibat perang & banyaknya kekalahan menyebabkan Kemunduran Kekhalifahan Ottoman. Keadaan ini diperparah dengan memunculan sentimen nasionalisme Arab yang semakin marak, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung.


Benih-benih Perang terhadap Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan kerajaa Turki Ottoman.


Peluang ini pun tidak disia-siakan oleh Inggris. Mereka menyusupkan agen mereka yakni Thomas Edward Lawrence untuk melobi Sharif Hussein. 



Melalui Thomas Edward Lawrence, Inggris menjanjikan sebagian besar wilayah Arab akan menjadi milik Sharif Hussein jika ia segera mengumumkan perlawanan terhadap Turki Ottoman. Inggris juga siap membantu dana perang dan persenjataan lengkap. nggris juga menjanjikan bahwa setelah perang, dia akan mendapatkan kerajaan Arabnya sendiri yang akan terdiri atas seluruh Semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Iraq.

Baca juga: Peran Thomas Edward Lawrence (Orang) Inggris di Balik Lahirnya Arab Saudi dan Kehancuran Kekhalifahan Turki Utsmani 

Hal itu rupanya adalah strategi lain dari Inggris. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk melawan Turki Ottoman. Hal itu terbukti melalui surat-surat yang menunjukkan negosiasi ini disebut Korespondensi McMahon-Hussein, karena Sharif Hussein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.



Juni 1916, Sharif Hussein memimpin kelompok bersenjata Bedouin dari Hejaz dalam sebuah kampanye bersenjata melawan Ottoman. Dalam beberapa bulan, gerakan ini berhasil mencaplok beberapa kota di Hijaz, termasuk Jeddah dan Mekah dengan bantuan angkatan darat dan laut Inggris. Mereka memberikan bantuan dalam bentuk prajurit, senjata, uang, penasehat (termasuk Lawrence ), dan sebuah bendera.


Para pembelot Arab ini berhasil mengambil alih beberapa kota besar dari Ottoman. Sementara Inggris bergerak menuju Palestina dan Iraq, mengambil alih kota-kota yang kala itu masih dalam genggaman Ottoman, yakni Aqaba, Baghdad dan Yerusalem, yang kelak oleh inggris, tanah itu diberikan kepada Yahudi yang akhirnya berhasil mendirikan negara Zionis Israel.

Baca juga: Deklarasi Balfour 1917 - Peran Inggris Dibalik Berdirinya Negara Zionis Israel

Inggris menandatangani Perjanjian Balfour yang isinya memberikan hak kepada Yahudi internasional untuk mendirikan negara zionis di Palestina jika Turki Ottoman sudah dikalahkan. Hal ini diberikan Inggris karena kaum zionis berhasil membujuk Amerika Serikat membantu Sekutu melawan kubu Jerman di Perang Dunia I. 



Kembali ke topik, seluruh pasukan Turki Ottoman akhirnya berhasil dipukul mundur pada 27 September 1918. Itu berarti, misi Inggris (bersama Prancis) untuk menguasai Jazirah Arab tercapai. Inggris menepati janjinya. Sharif Hussein akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya, Pangeran Ali. Sedangkan Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal I of Iraqi) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah, menjadi penguasa di Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan).


Namun kekuasaan klan tersebut diganggu oleh Bani Saud yang berkuasa di Nejd. Bani Saud yang sempat berkuasa di Hejaz sejak abad-17. Bani Saud mengincar kekuasaan Hussein Ali di Hejaz dan, lagi-lagi, mereka mendapatkan bantuan Inggris.


Dimulai dengan menaklukkan Riyadh. Pada 1926, di bawah kepemimpinan Abdul Azis, Bani Saud kembali menguasai Hejaz. Keturunan Sharif Hussein pun tersingkir dari Mekkah dan Madinah. Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ibnu Sa’ud terus memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara mempersatukan jazirah Arabia dibawah kerajaannya. Pada tahun 1920 Ia memulai ekspansi ke Ha’il dan berhasil menghapus kekuasaan dinasti Rasyidiyah. Setahun kemudian Ia memplokamirkan diri sebagai penguasa Nejd. 



Tahun 1922 Ibnu Sa’ud meluncurkan serangan ke Hijaz, Ia berhasil membuat penguasa Hijaz ketakutan dan memasuki kota Makkah tanpa perlawanan pada tahun 1924. Pada tahun 1927 Inggris kemudian mengadakan perjanjian dengan Ibnu Sa’ud dan mengakui kemerdekaan dari wilayah kekuasaan Sa’udiyah pada saat itu. 


Manufer Ibnu Sa’ud ini menyebabkan perpecahan antara Ikhwan dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Hal ini mengakibatkan pemberontakan kelompok Al-Ikhwan terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Mereka mempertanyakan perihal Abdul Aziz yang menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. 

Namun pada Januari 1930, Adul Aziz Ibnu Sa’ud berhasil meredam pemberontakan ini. Ia mengatakan bahwa semua pemberian itu adalah Jizyah (pajak). Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud kemudian menumpas semua kelompok pemberontak dan melarang segala bentuk gerakan politik yang sebelumnya diperbolehkan. 



Pada tahun 1932 Ia berhasil memplokamirkan penggabungan Hijaz dan Najd, hingga puncaknya Ibnu Sa’ud memplokamirkan berdirinya Kerajaan Monarki Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932.


Sistem pemerintahan Kerajaan Monarki Arab Saudi dimuat dalam pasal 5.a Konstitusi Saudi ditulis : Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum (bukan al-Quran dan as-Sunnah). 



Sementara itu, dalam Islam bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah Swt, rasul-Nya dan orang-orang yang berilmu (para ulama).

Dalam sistem Kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya, biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.c : Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. 



Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan Amerika Serikat. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah di pilih, diplokamirkan & diambil sumpahnya (di baiat) oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan.


Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari diperbolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank “ribawi“ di Saudi seperti “ The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluar- kan oleh Raja (no.M/5 1386 H).


Demi alasan keamanan keluarga kerajaan, pihak kerajaan Saudi Arabia telah menghabiskan 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan Amerika Serikat. Saat ini lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi. 


Sungguh sangat berakal dan beradab membiarkan musuh-musuh Islam berkonspirasi di negaranya, sedangkan banyak hal yang dapat dilakukan untuk Palestina, Irak, Suriah, Libya, Afganistan dengan 72 miliar dollar, hal ini dilakukan oleh Kerajaan Saudi karena lebih mencintai Amerika dan musuh-musuh Islam daripada mencintai negara muslim.

Dalam sebuh dokumen resmi ditemukan surat menyurat antara Raja Abdul Aziz dengan pemerintah Inggris pada tahun 30-an, bahwa Raja Arab Saudi tidak diperbolehkan menentang sikap Inggris yang memberikan kedaulatan kepada Israel untuk mendirikan sebuah negara di kawasan Palestina. Bahkan, sikap Raja Abdul Aziz tersebut disahkan dalam sebuah fatwa keagamaan yang merupakan sikap resmi kerajaan pada tahun 90-an bahwa diperkenankan berdamai dengan Israel.


Maka dari itu, tidak aneh jika melihat sikap Arab Saudi saat ini terkait dengan kebijakan Amerika Serikat dan penjajahan Israel di Tanah Palestina yang cenderung lunak dan halus terhadap isu-isu Palestina dapat dilacak dari sejarah yang panjang. Apalagi kedaulatan dan kemerdekaan Arab Saudi merupakan "hadiah" dari Inggris.


Apa yang terjadi di Saudi ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim-Yahudi yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang para pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam, negara yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, meskipun pada praktiknya jauh dari Islam.



Referensi:

Buku : Dinasti Bush Dinasti Saud (2004).
By Craig Unger 
(mantan deputi director New York Observer).

Buku: Library of Middle East History , Volume 10, 2006:15.
By Weldon Matthews.

Buku: The Saudi Enigma: A History, 2005:81.
By Pascal Menoret

Buku: A Companion to International History, 2008:134.
By Gordon Martel

Buku: Britain Through Muslim Eyes, 2015.
By Claire Chambers

Buku: Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia.(1992)
By George Lenczowski
(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku: History oh the Arabs (2006).
By Philip K. Hitti

Artikel “Lawrence of Arabia was a Zionist” dimuat Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007.
Penulis: Martin Gilbert


Sikap Arab Saudi terhadap Palestina - Detik News 

Arab Saudi bukan “Negara Islam”, Tapi “Penjual Islam” - ArrahmahNews.com 

Peran (Orang) Inggris di Balik Lahirnya Arab Saudi - Tirto.id (28 Februari 2017)