Laman

Senin, 19 November 2018

Sejarah Hizbut Tahrir Indonesia HTI


Gerakan Hizbut Tahrir terkenal karena retorika anti-Barat, anti-Demokrasi, anti-sekulerisme, dan ideologi politik khilafah Islam yang dimilikinya. Di satu sisi, bendera hitam juga digunakan banyak organisasi Islam selain HT dan kelompok Anarkis yang secara ideologi berseberangan dengan gagasan pendirian negara apalagi khilafah. Di sisi lain, berbagai organisasi Islam pengguna bendera hitam berlafaz syahadat itu saling bermusuhan



.

HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) masuk ke Indonesia pada 1983 oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia. Ia memulainya dengan mengajarkan pemahamannya ke beberapa kampus di Indonesia hingga menjadi salah satu gerakan. 


Gerakan Hizbut Tahrir berawal dari sebuah gerakan di Palestina, didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 1953. Tujuan Hizbut Tahrir adalah "menghidupkan konsep politik yang diklaim merupakan kewajiban dalam kitab suci, sunah, dan telah diwujudkan dalam sejarah kekuasaan Islam sejak era Nabi Muhammad sampai kejatuhan imperium Utsmani (Abad ke-18 Masehi)".


Taqiyuddin an-Nabhani dalam tulisannya di kitab Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HTI Press sejak 2004 dan 2007. Bagi Taqiyuddin an-Nabhani; "generasi umat Islam saat ini tidak tertarik dengan konsep khilafah karena tidak pernah menyaksikan atau punya pengalaman dengan pemerintahan Islam. Pada akhirnya Muslim memilih menggunakan falsafah hidup lain yang membuat kemurnian Islam menjadi terkikis". 


Bagi Taqiyuddin, ini adalah adalah kemunduran besar kaum muslimin. Taqiyuddin mengistilahkannya dengan ghazwu ats-tsaqafi (invasi budaya) "yang menyebabkan kaum muslimin enggan menerapkan hukum-hukum Islam pada sistem pemerintahan mereka".


Bagi Hizbut Tahrir, seluruh sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sebab Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat buku "Mengenal HT" hal. 49-55)


Gagasan Daulah Islamiyah (Negara Islam) di Indonesia memang sempat muncul saat Kartosuwiryo melakukan pemberontakan DI/TII di masa pasca-kemerdekaan. Belakangan dalam bentuk yang berbeda, ia juga muncul dalam bingkai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hanya saja keduanya masih menerapkan atau mengakui batas-batas negara dengan mengganti sistem maupun dasar pemerintahan saja.



Sedangkan Hizbut Tahrir secara umum mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia. Cita-cita yang menerabas batas-batas geografis, kebudayaan, dan politik bangsa-bangsa.



Konstitusi Hizbut Tahrir menggunakan kata “Khilafah” dan “Negara” secara bergantian. Bangsa dalam konsep “negara-bangsa” bagi gerakan ini adalah “Islam” yang wilayahnya dinamakan sebagai dar al-Islam (wilayah Islam) sedangkan di luar itu dinamakan dar al-kufr (wilayah kafir). Di dalam dar al-Islam diterapkan hukum Islam, dan di luarnya masuk kategori hukum orang kafir.



Masuk ke Indonesia pada tahun 1983, Hizbut Tahrir dibawa Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia. Abdurrahman memulainya dengan mengajarkan pemahamannya ke beberapa kampus di Indonesia hingga menjadi salah satu gerakan yang punya anggota cukup banyak saat ini.


HTI dianggap ancaman karena akan mengubah ideologi Pancasila. Secara resmi pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas terhadap keberadaan HTI tersebut. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengumumkan bahwa pemerintah akan membubarkan organisasi tersebut untuk mengarahkannya agar sesuai dengan koridor Undang-Undang Ormas yang berlaku di Indonesia.


Lima poin penting pernyataan Pemerintah tentang HTI :

1. Sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan.

2. Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah berhubungan dengan tujuan, asas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.

3. Aktifitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

4. Mencermati pertimbangan di atas serta menyerap aspirasi masyarakat pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas membubarkan HTI.

5. Keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UU 1945.



Data dan Fakta yang Dimiliki Pemerintah untuk Bubarkan HTI

Tenaga Ahli Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan,  Wiranto mengatakan, keputusan pembubaran HTI tidak dilakukan dalam waktu yang singkat. Sudah sejak lama pemerintah mengumpulkan data dan fakta terkait HTI yang mengarah pada dugaan anti-Pancasila.





"HTI ini berberda dengan ormas Islam lainnya. Bedanya mereka punya rancangan undang-undang dasar seperti UUD 1945. Di dalamnya mencakup konsep khilafah yang bermaksud menghancurkan konsep negara bangsa," ujar Yunanto.

"Peraturan hukumnya juga bertentangan dengan demokrasi. Kalau khilafah berarti nanti tidak akan ada DPR," kata dia.

Konsep khilafah yang diusung HTI, lanjut Yunanto, disebarkan ke berbagai institusi pendidikan dan berbagai kongres khilafah yang diadakan. Menurut Yunanto, temuan tersebut semakin mengindikasikan bahwa HTI sebagai organisasi politik, bukan organisasi dakwah atau pun ilmiah.

"HTI adalah organisasi politik, bukan organisasi dakwah maupun ilmiah. Ini murni politik," ucapnya.


Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdatul Ulama (NU), pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Pemerintah Republik Indonesia sudah tepat. Hal ini tentunya wajib melewati berbagai macam kajian komprehensif dengan pertimbangan yang sudah matang.


"HTI tidak sesat. Tapi tidak tepat di Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah darul Islam (Negara Islam), tapi darussalam (negara keselamatan" ujar KH Munawir (Ketua Lembaga Bahtsul Masail Provinsi Lampung).

HTI selama ini tidak memiliki peran dan sumbangsih ikut berjuang melawan penjajah di zaman kemerdekaan. Mereka bukan seperti ormas lainnya seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhamadiyah dan ormas islam lainnya, yang telah jelas & nyata berjihad & berperang mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

"Begitu mudahnya mereka datang tidak ikut berjuang, tiba-tiba ingin mengganti ideologi Indonesia dengan sistem khilafah yang sudah dilarang di banyak negara," ujar KH Munawir.

KH Munawir kembali mengatakan "Pancasila dan NKRI adalah harga mati dan sudah final. Menurutnya tidak perlu ada wacana-wacana khilafah di Indonesia. Jangankan di Indonesia, di negara Timur Tengah HT itu sudah ditolak," tegasnya sembari menilai bahwa pelarangan HTI di Indonesia terlambat dibanding negara-negara lain."


Berdasarkan kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak termasuk aliran sesat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjunjung Pancasila sebagai ideologi negara. Bila ada ormas yang berencana mengubahnya, maka bertentangan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Masalah NKRI sudah final, masalah Pancasila sudah final. Jadi kalau memang ada pihak-pihak yang ingin mengubah filsafah NKRI maka itu berati bertentangan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : 
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.” 

Hudzaifah berkata: 
“Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” 

(HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radiyallahu ‘anhu, 3/1476, no. 1847)?!


Tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari empat keadaan:

1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

4. Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-22)



Referensi:

Kitab "Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir"
-Taqiyuddin an-Nabhani

"Jurnal Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia"
-Sudarno Shobron

At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini

“Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Gerakan"
Narasumber: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.
Majalah Asy Syariah, Vol. II/No 17/1426 H/2005

Sejarah Kemunculan HTI Hingga Akhirnya Dibubarkan - Tirto.id

MUI sebut HTI bukan aliran sesat - Merdeka.com

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir : Siapa mereka ? - Salafy.or.id

Apa Data dan Fakta yang Dimiliki Pemerintah untuk Bubarkan HTI ? - Kompas.com