Laman

Kamis, 29 November 2018

Peran Arab Saudi dan Turki dibalik Berdirinya Negara Zionis Israel


Kekhalifahan Turki Ottoman adalah penakluk jazirah Arab saat. Hampir semua wilayah di Timur Tengah berada di bawah penguasaannya, termasuk Yerusalem.


Pada perang dunia 1, Inggris atau Britania Raya tentunya punya kepentingan di situ. Namun setelah 625 tahun, Kekhalifahan Turki Ottoman harus berakhir pada 1 Nobember 1922. Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1922 memutuskan untuk menghapus sistem khilafah Islam di Konstantinopel (sekarang Turki) dengan sistem republik yang sekuler.


Oleh masyarakat di luar Turki, peristiwa runtuhnya Ottoman & berdirinya Republik Turki mengundang simpati sekaligus kecaman. Kecaman khususnya datang dari golongan Muslim konservatif karena akibat peristiwa tersebut, Turki tidak lagi menjadi negara Islam. Kecaman juga datang dari orang-orang di luar etnis Turki karena pemerintah Turki cenderung mengucilkan hak-hak dari etnis minoritas Turki, misalnya etnis Kurdi. Namun, simpati juga datang dari golongan liberal & sekuler yang beranggapan kalau kelompok nasionalis Turki sukses membangkitkan Turki dari yang awalnya merupakan negara terbelakang di Eropa menjadi salah satu kekuatan regional seperti sekarang.

Lemahnya penguasa, perilaku korup & dzolim, perekonomian yang semakin terpuruk akibat perang & banyaknya kekalahan menyebabkan Kemunduran Kekhalifahan Ottoman. Keadaan ini diperparah dengan memunculan sentimen nasionalisme Arab yang semakin marak, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung.


Benih-benih Perang terhadap Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein yang merupakan penguasa Hejaz saat itu mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan kerajaa Turki Ottoman. Sharif Hussein sendiri diangkat sebagai Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909.

Peluang ini pun tidak disia-siakan oleh Inggris. Mereka menyusupkan agen mereka yakni Thomas Edward Lawrence untuk melobi Sharif Hussein.


Baca juga: Peran Thomas Edward Lawrence (Orang) Inggris di Balik Lahirnya Arab Saudi dan Kehancuran Kekhalifahan Turki Utsmani 

Hal itu rupanya adalah strategi lain dari Inggris. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk melawan Turki Ottoman saat perang dunia 1. Hal itu terbukti melalui surat-surat yang menunjukkan negosiasi ini disebut Korespondensi McMahon-Hussein, karena Sharif Hussein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

Pasukan berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia dengan Inggris.


Pengkhianatan Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab. Pasukan Turki Utsmani terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an jatuh ke tangan pasukan Arab.


Kemenangan pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan Sekutu. Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa tewasnya seorang pun tentara mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani.

Para pembelot Arab ini berhasil mengambil alih beberapa kota besar dari Ottoman. Sementara Inggris bergerak menuju Palestina dan Iraq, mengambil alih kota-kota yang kala itu masih dalam genggaman Ottoman, yakni Aqaba, Baghdad dan Yerusalem. 


Inggris menepati janjinya. Sharif Hussein akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya Pangeran Ali . Sedangkan Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal I of Iraqi ) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah , menjadi penguasa di Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan ).


Namun Inggris tidak membiarkan Syarif Husain menikmati sedikit kue empuk hasil kerja kerasnya. Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud.


Pasukan Syarif Husain mengalami kekalahan telak dalam pertempuran di wilayah Turbah melawan pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud mengalahkan pasukan Syarif Husain pada perang tahun 1343 H. Syarif Husain akhirnya lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya, Syarif Ali bin Syarif Husain.


Namun, kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif Ali bin Syarif Husain mundur ke kota Jeddah. Namun pasukan Abdul Aziz mengejarnya dan mengepung kota Jeddah selama satu tahun penuh. Selain itu, pasukan pemimpin Nejed itu juga menyerang dan mengepung kota Madinah. Madinah menyerah sepenuhnya ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud setelah dikepung selama 10 bulan. Begitupula dengan Jeddah, takluk setelah tercapai pengepungan setahun penuh. 


Berdasar kesepakatan kedua belah pihak, Jeddah menjadi wilayah kekuasaan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, sementara Syarif Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif Faishal bin Syarif Husain di Irak.

Syarif Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada tahun 1350 H. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud. Revolusi Arab yang dipimpin Syarif Husain pada akhirnya berperan menjatuhkan Palestina ke tangan Inggris dan Yahudi.

Baca juga: Deklarasi Balfour 1917 - Peran Inggris Dibalik Berdirinya Negara Zionis Israel 

Dalam sebuah dokumen resmi ditemukan surat menyurat antara Raja Abdul Aziz dengan pemerintah Inggris pada tahun 30-an, bahwa Raja Arab Saudi tidak diperbolehkan menentang sikap Inggris yang memberikan kedaulatan kepada Israel untuk mendirikan sebuah negara di kawasan Palestina. Bahkan, sikap Raja Abdul Aziz tersebut disahkan dalam sebuah fatwa keagamaan yang merupakan sikap resmi kerajaan pada tahun 90-an bahwa diperkenankan berdamai dengan Israel.


Maka dari itu, tidak aneh jika melihat sikap Arab Saudi saat ini terkait dengan kebijakan Amerika Serikat dan penjajahan Israel di Tanah Palestina yang cenderung lunak dan halus terhadap isu-isu Palestina dapat dilacak dari sejarah yang panjang. Apalagi kedaulatan dan kemerdekaan Arab Saudi merupakan "hadiah" dari Inggris.

Baca juga: Pengkhianatan Arab Saudi Terhadap Islam 

Di luar sepengetahuan Syarif Husain pada bulan Maret 1916 M penjajah Inggris, Perancis, dan Rusia mengadakan pertemuan rahasia untuk membagi-bagi bekas wilayah Turki Utsmani dan mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina. Cara yang dipakai Inggris memanfaatkan Mustafa Kamal, agar melakukan gerakan pemberontakan terhadap Kesultanan Ottoman. Berawal dari keputusan dari Kesultanan Ottoman ambil bagian dalam Perang Dunia 1 tahun 1914, ternyata menjadi blunder mengerikan.


Serupa dengan Syarif Husain & Abdul Aziz bin Saud, imbalan yang diberikan Inggris adalah kekuasaan. Musthafa Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa menembakkan sebutir peluru pun terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris memberikan hadiah Musthafa Kamal Pasha sebagai penguasa Turki.


Tanggal 29 Oktober 1923, parlemen nasionalis Turki mendeklarasikan berdirinya "Republik Turki" (Turkiye Cumhuriyeti) sebagai negara penerus resmi Kesultanan Ottoman. Pendirian republik juga diikuti dengan reformasi di banyak bidang. Turki ditetapkan sebagai negara dengan konstitusi & sistem hukum sekuler. Mustafa Kamal Atatürk dan Majelis Agung Nasional (GNA) menghapuskan kekhalifahan itu sendiri, dan mengirim semua anggota kekhalifahan yang tersisa dari keluarga Ottoman ke pengasingan.



Turki mengamandemen Undang-Undang Dasar 1924 hanya empat tahun setelah diresmikan dan menghapus Islam sebagai agama resmi negara. Bahasa & aksara Turki ditetapkan sebagai bahasa resmi negara menggantikan aksara Arab. 

Mustafa Kemal ditetapkan sebagai bapak bangsa dengan gelar "Ataturk". Penduduk Turki dianjurkan mengenakan pakaian yang mirip dengan model pakaian masyarakat Barat. Bahkan hingga tahun 1950, adzan di masjid-masjid diwajibkan memakai bahasa Turki.

Tak hanya adzan, Al-Quran pun semuanya harus berbahasa Turki, termasuk bacaan-bacaan dalam sholat. Peraturan menikah di Turki, mahar (mas kawin) minimal 90 gram emas. Belum termasuk pemberian gelang, cincin, dan perhiasan lainnya. 90 gram emas adalah murni mahar untuk si calon pengantin yang akan diperistri.

Foto Mustafa Kemal Attaturk banyak dipajang di tempat-tempat umum, di rumah-rumah, dan di banyak tempat. Bagi masyarakat Turki, Kemal Attaturk adalah pendiri bangsa yang heroik, bagaikan sesosok malaikat yang turun dari surga.


Sebelum menjadi Bapaknya orang Turki, diketahui Mustafa melakukan intrik-intrik khusus. Misalnya memposisikan dirinya sebagai pahlawan dengan mengusir Inggris dan Yunani dari tanah Turki. Terkesan heroik. Menghilangkan kekhalifahan yang sudah dirintis sejak ratusan tahun lalu dan menjadi simbol kebesaran umat Islam, tentu saja ini adalah sebuah hal gila yang mungkin tak termaafkan.

Aturan berikutnya yang membuatnya terkesan seolah membenci Islam adalah mulai menghapuskan sistem-sistem yang berbau keislaman di berbagai sisi. Ia kemudian mengadopsi sistem barat sebagai penggantinya. 


Pengaruh dari itu, kini semua wilayah kota di Turki, dari segi pakaian masyarakat Turki tidak jauh berbeda dengan masyarakat Eropa. Hari ini penyimpangan sexual (LGBT) legal di Turki. Namun tidak ada undang-undang yang melindungi kaum gay, lesbian, dan transeksual dari diskriminasi.




Referensi:

Buku : Dinasti Bush Dinasti Saud (2004).
By Craig Unger
(mantan deputi director New York Observer).

Buku: Library of Middle East History , Volume 10, 2006:15.
By Weldon Matthews.

Buku: The Saudi Enigma: A History, 2005:81.
By Pascal Menoret

Buku: A Companion to International History, 2008:134.
By Gordon Martel


Buku: Britain Through Muslim Eyes, 2015.
By Claire Chambers

Buku: Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia.(1992)
By George Lenczowski
(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku: History oh the Arabs (2006).
By Philip K. Hitti

Artikel “Lawrence of Arabia was a Zionist” dimuat Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007.
Penulis: Martin Gilbert