Laman

Jumat, 04 Januari 2019

Sejarah Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah


Terdapat tiga versi sejarah tentang asal nama "Sampit" itu sendiri.

Versi Pertama menyebutkan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama "Sampit" berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1700-an.

Versi Kedua menyebutkan, kata Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan.

Sedangkan menurut Versi Ketiga, Kerajaan Sungai Sampit ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar.

Sejarah Kota Sampit

Versi Pertama
Versi Pertama menyatakan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama "Sampit" yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1700-an. Hingga kini, makam “Datu” Sampit dapat ditemui di sekitar Basirih.

Datu” Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. “DatuDjungkir dan “DatuUsup Lamak.

Makam keramat “DatuDjungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai Mentaya di Baamang Tengah dengan nisan bertuliskan Djungkir bin Sampit. Sedangkan makam “DatuUsup Lamak berada di Basirih.

Versi Kedua
Menurut Versi Kedua, kata Sampit berasal dari bahasa Cina yang berarti “31” (sam =3, it =1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan.

Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Cina yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan mereka banyak yang lari kearah selatan, terutama ke pulau Borneo (Kalimantan).

Orang-orang Tionghoa tersebut bukan hanya berdomisili, mencari nafkah dan membangun usaha di Sampit saja. Mereka juga mengembangkan usaha hingga ke daerah Samuda.

Distrik (wilayah) Jaya Kelapa, Samuda jaman dulu 
Wilayah Samuda saat itu dikenal sebagai basis para pejuang ketika melawan penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Keberadaan etnis Tionghoa dikenal baik dengan berbaur bersama etnis Dayak dan lainnya, sehingga Sampit terkenal mempunyai penduduk multi etnik.

Versi Ketiga
Di era yang sama, saat kejayaan Majapahit, wilayah Sampit termasuk dalam wilayah kerajaan Sakai (cabang dari Kerajaan Negeri Dipa Kuripan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Saka. Pusat kerajaan Negara Dipa Kuripan terletak Amuntai, Kalimantan Selatan.


Raja-raja yang pernah memerintah Negara Dipa antara lain; Pangeran Suryanata, Patih Lambung Mangkurat, Pangeran Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga.

Sebelum Islam tersebar, Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan bercorak Hindu yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Nan Sarunai yang runtuh akibat serangan dari Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Negara Dipa menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah orang Banjar, yaitu sebagai salah satu mata rantai pemerintahan yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banjar.

Purti Junjung Buih, istri dari Pangeran Suryanata, pernah berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Pangeran Suryanata (berkuasa sebagai Raja Negara Dipa sekitar tahun 1400 hingga tahun 1435).

Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih 

40 kerajaan Sakai pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Akhirnya Negeri Dipa berhasil ditaklukan.

Pada tahun 1636, Raja Banjar ke-4, Sultan Mustain Billah (Raden Senapati atau Soeltan Moesta'in Allah atau Moestakim Billah bin  Sultan Hidayatullah) memasukan  Sampit sebagai " vazal" (cabang kekuasaan monarki) dari Kerajaan Banjarmasin.

Selain untuk menyebarkan Islam, hal tersebut dilakukan karena kedatangan VOC, Kongsi dagang Kolonial Hindia  Belanda di pulau Kalimantan, sementara tidak ada raja yang memerintah di wilayah Sampit.

Nama kota Sampit ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.

Naskah Kakawin Nagarakretagama

Awal abad ke-16 menjadi era keemasan bagi kerajaan Islam Banjar. Wilayah kekuasaannya terbentang sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan. Kerajaan Banjar mengutus ulama, menteri-menteri atau ketua-ketua untuk menyebarkan agama Islam kepada penduduk serta suku setempat.

Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Kota Beringin (Kuta Ringin/Kotawaringin) tahun 1615 yang didirikan oleh Pangeran Adipati Antakasuma. Pangeran Adipati Antakasuma merupakan putra Sultan Mustain Billah (Raden Senapati atau Soeltan Moesta'in Allah atau Moestakim Billah bin  Sultan Hidayatullah)

Pangeran Adipati Antakasuma menjadi sultan (raja) pertama kerajaan Kotawaringin. Pangeran Adipati Antakasuma memerintah dari tahun 1615-1630 M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.

Pangeran Adipati Antakasuma 

Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Disitulah Pangeran Adipati Antakasuma mendirikan Istana Kesultanan Kotawaringin dengan nama Astana Al - Nursari.

Astana Al-Nusari di Kotawaringin Lama

Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Imanudin, tahun 1814 ibukota kesultanan dipindahkan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun. Sultan Imanudin mendirikan sebuah istana yang diberi nama Astana Indra Sari (sekarang: Istana Kuning) sebagai pusat pemerintahan.

Foto: Astana Indra Sari (Istana Kuning) Pangkalanbun tahun 2000, setelah mengalami pemugaran, pasca terbakar tahun 1986.

Baca juga: 
Sejarah Kerajaan Kotawaringin dan Istana Kuning

Tanggal 13 Agustus 1787, Raja Banjar yang menjabat saat itu, Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Batu (Sunan Nata Alam atau Sunan Sulaiman Saidullah (ke-1) atau Maulana As Sulthan Tahmidillah ibni As Sulthan Tamjidillah atau Tahhmid Illah II) menyerahkan wilayah Sampit (kala itu masih dalam wilayah kesultanan Banjar) kepada VOC (Kongsi Dagang Kolonial Hindia Belanda) yang sudah memasuki pulau Kalimantan dari tahun 1598. Penyerahan wilayah Sampit tersebut dilakukan dalam sebuah perjanjian yang bernama Acte van Afstand, 13 August 1787. Perjanjian tersebut tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu huruf Arab.

Sultan Batu menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut Pulo, Tabanio, Mendawai, Sampit, Teluk Sampit (Samuda hingga Ujung Pandaran) Kuala Pembuang, Hanau (Pembuang Hulu), Lamandau, Sukamara, Kuta Ringin (Kotawaringin), Pangkalan Buun (sekarang: Pangkalanbun) dan Teluk Kumai.

Setelah mendapat mandat kekuasaan, Belanda mengangkat petugas pemerintahannya dari penduduk pribumi di bawah pengawasan pejabat Hindia Belanda. Dibawah pengawasan kolonial, sistem kekuasaan Kotawaringin  Timur pada masa itu menerapkan sistem Onder Afdelling Sampit, yakni setingkat kewedanaan dengan kepala pemerintahnya yakni Kontrolir atau controleur.

Rumah Sakit Umum Sampit jaman Hindia Belanda (sekarang bernama RSUD dr. Murjani Sampit)

Onder Afdelling Sampit lebih dipusatkan pada kegiatan perdagangan dan industri. Ini bias ditelusuri dari adanya bukti peninggalan sejarah yakni kawasan Pelabuhan Sampit dan PT. Inhutani III yang dulu dikenal dengan nama N.V. Bruinzell, yakni perusahaan yang bergerak dibidang pertanian.

Sebenarnya, penyerahan wilayah tersebut bukan sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Batu. Karena situasi & kondisi sulit saat itu, tidak ada pilihan lain bagi Sultan Batu, yang terdesak, terus-menerus dibombardir Pasukan Bugis dibawah kepemimpinan Pangeran Amir, dibantu sang paman, Pangeran Tarawe.

Sultan Batu mau tak mau harus meminta bantuan Belanda untuk mengusir pasukan Bugis tersebut.   Belanda dijadikan tameng untuk menjaga stabilitas, melindungi kedaulatan dan garis keturunannya agar tetap terikat dengan Kesultanan Banjar.

Sungai Sampit jaman dahulu

Tahun 1795 hingga 1802 terjadi pertempuran sengit Belanda melawan Inggris. Untuk meminimalisir korban, pemukiman warga yang berdiam di Sampit direlokasi (dipindahkan) ke wilayah Kota Besi.

Selain karena perang Inggris melawan Belanda, pemindahan itu juga tak terlepas dari adanya gangguan para bajak laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda akhirnya mengalahkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang berkekuatan 25 perahu di sekitar Teluk Kumai dan Tanjung Puting.

Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan dimakamkan di sekitar Ujung Pandaran. Makam itu dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Makam Koewardl di Ujung Pandaran
Setelah merasa aman, pada tahun 1836, penduduk kemudian pindah ke Banua Usang (sekarang: Seranau, Mentaya Seberang). Para pedagang Tionghoa waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana.

Sungai Mentaya, Sampit jaman dahulu 

Namun, dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, (Feng Shui), suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam, yang dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau (sekarang wilayah: Baamang, Ketapang, Mentawa, Sampit) karena posisinya menghadap matahari terbit.


Dalam perang Asia Timur Raya, Jepang menyerah dari tentara sekutu, setelah kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dibom. Momentum tersebut digunakan Soekarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Negara Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat pada Jum’at pagi, 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Lantaran keterbatasan sarana komunikasi, berita kemerdekaan tersebut baru terdengar di Sampit dan wilayah Kalimantan lainnya, khususnya setelah kedatangan A.A. Hamidan dan A.A. Rivai di Banjarmasin, pada 24 Agustus 1945.

Berita gembira itu kemudian disiarkan serta disebarluaskan melalui Radio Borneo Simbun di Banjarmasin dan Kandangan. Selain berita proklamasi, juga disiarkan pengangkatan Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan.

Pada 1 September 1945, pemerintah telah diambil alih oleh Panitia Aksi Kemerdekaan. Selanjutnya, dalam keadaan darurat dibentuklah Pemerintahan RI Wilayah Samuda dipimpin oleh Mohamad Baidawi Udan dengan wakilnya Ali Badrun Maslan.

Peresmiannya sendiri dilakukan pada tanggal 8 Oktober 1945, dalam suatu upacara rapat umum disertai pengibaran bendera merah putih serta diiringi lagu Indonesia Raya dipimpin oleh Darham Ibul bertempat di muka pasar setempat.


Sejak 9 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia wilayah Samuda mulai aktif. Mereka menempati sebuah kantor sederhana yaitu sebuah rumah yang diserahkan oleh penduduk setempat. Rumah yang dijadikan kantor Pemerintah republik Indonesia wilayah samuda itu terletak di Basirih Hilir, tak jauh dari sungai Jajangkit, Samuda.

Berbeda dengan Samuda, di Kota Sampit pemerintah Jepang masih bertahan hingga awal September 1945. Penyerahan secara De Jure dan De Facto baru dilakukan dalam sebuah upacara di Lapangan Tugu, Sampit. Upacara tersebut adalah upacara penurunan bendera Jepang dan dikibarkan bendera merah putih, yang diikuti seluruh komponen masyarakat Kota Sampit seperti para Pegawai Negeri, Guru, Kepala Kampung, Tokoh Masyarakat, serta murid-murid sekolah.  Pemerintah Jepang diwakili oleh Bunken Kanrikan Nomura Akira.


Selain Jepang, pemerintahan Sampit juga pernah dikuasai pemerintahan Belanda/NICA. Pada 7 – 8 Januari 1946. Pasukan NICA berhasil menduduki Pemerintah RI wilayah Sampit dan Samuda.


Namun, kondisi itu tak berlangsung lama, karena semangat juang rakyat di wilayah Sampit maupun Samuda dengan senjata ala kadarnya terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui pergerakan bersenjata dalam pertempuran heroik yang dikenak dengan nama “Gerakan Operasi Subuh”.


Operasi Subuh dipimpin secara gabungan oleh Pemuda Indonesia Merdeka Sampit yakni Hasyim Djapar dari PIM/BPRI Sampit, Muhammad Baidawi Udan, Ali Badrun Maslan, TKR Samuda Usman H. Asan dan Majekur Maslan serta sembilan orang anak buah Bung Tomo, wilayah Sampit kembali direbut dari tangan musuh pada 29 November 1945, pukul 04.00 subuh.

Menyadari kenyataan itu, Belanda yang dikenal licik dengan politik De Vide Et Impera (politik pecah belah dan adu domba) dengan cara membentuk “negara-negara boneka”.

De Vide Et Impera

Untuk pulau Kalimantan, Belanda merencanakan untuk membentuk Negara Kalimantan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Belanda membentuk daerah-daerah otonom yang berdiri sendiri dan kemudiannya menggabungkannya kedalam bentuk federasi. Pulau Kalimantan kala itu terdapat lima pemerintahan federasi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Dayak Besar, Banjar, dan Kalimantan Timur.

Kerajaan Kotawaringin yang pada masa itu berpusat dan beribukota di Pangkalan Bun masih menjadi daerah pendudukan tentara Belanda. Pada 14 januari 1946, daerah Kotawaringin Barat rencananya juga akan dimasukkan ke dalam daerah Bagian dayak Besar menjadi sebuah negara bagian. Ini merupakan salah satu politik kotor pemerintah Belanda saat itu dimana tujuannya untuk memecah belah daerah sehingga mudah dikuasai kembali.

Namun, Kerajaan Kotawaringin yang saat itu dipimpin Sultan ke-14, Pangeran Kesuma Anum Alamsyah tetap bersikeras memperjuangkan Kotawaringin untuk lepas dari pemerintahan Belanda dan hanya tunduk kepada pemerintahan RI yang sah. Hal ini dibuktikan dari adanya perlawanan sporadis rakyat Kotawaringin yang memang tidak mau lagi berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Pangeran Kesuma Anum Alamsyah

Akhirnya, pada 1 Mei 1950, wilayah Kotawaringin bergabung ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah Swapraja Kotawaringin.

Tahun 1949, Dr. Murdjani datang ke daerah Kotawaringin di dampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain.


Di lain sisi, pada 16 April tahun 1950, beberapa pemuka Daerah Istmewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum dan mengeluarkan mosi bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya, mereka meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin dan mengubahnya menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit.

3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onder Afdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kewedanan (Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit.

Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Marsekal Tjilik Riwut. Muncul aspirasi dan keinginan datang para tokoh perintis kemerdekaan dan masyarakat Kotawaringin pada saat itu, agar Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin menjadi sebuah Provinsi sendiri, dengan membagi daerah otonom Kotawaringin menjadi dua wilayah kabupaten dalam wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, dengan Kota Sampit sebagai ibukota Provinsi.

Marsekal Tjilik Riwut

Baca juga: 
Aksi Tjilik Riwut dalam Operasi Penerjun Payung Pertama Indonesia di Pangkalanbun Demi Mempertahankan Kemerdekaan


Keinginan itu cukup beralasan, dengan mempertimbangkan bahwa Kota sampit merupakan kota yang cukup tua dan bersejarah dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI serta merupakan salah satu kota maju karena berkembangnya industri kayu sejak zaman Belanda. Apalagi, didukung oleh Pelabuhan Sampit yang merupakan outlet pintu masuk dan keluar barang-barang dan jasa dari provinsi Kalimantan.

Pelabuhan Mentaya Sampit jaman dahulu

Namun demikian, keinginan itu harus kalah karena aspirasi masyarakat di banyak wilayah Kalimantan Tengah justru menginginkan Ibu Kota Kalimantan tengah berada di Desa Pahandut (sekarang kota Palangkaraya) yang itu masuk dalam wilayah Kabupaten Kapuas).

Pada 18 Mei 1957, dalam sebuah upacara adat yang dimotori anggota Gerakan Mandau Telawang Pancasila (GMTPS), akhirnya Gubernur Milono (gubernur pada Departemen Dalam Negeri Koordinator Seluruh Kalimantan) menyatakan bahwa Desa Pahandut dipilih sebagai Kota Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan tengah. Peletakan batu pertama pembangunan Kota Palangka Raya pada 17 Juli 1957 itu dilakukan langsung oleh Presiden RI Ir. Soekarno.

Tugu Soekarno di Kota Palangkaraya

Sejak itu pula secara resmi Kotawaringin dipisah menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur, meliputi Kewedanan Sampit Barat (DAS Seruyan), Sampit Timur (DAS Mentaya), dan Sampit Utara (DAS Katingan) beribukota di sampit dan Kotawaringin Barat (Swapraja Kotawaringin meliputi Kewedanan Kotawaringin) beribukota di Pangkalanbun.

Dua Kabupaten ini menjadi bagian wilayah provinsi Kalimantan Tengah, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan.

Tahun 2002, Kabupaten Kotawaringin Timur dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Penetapan pemekaran itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2002. Ketiga Kabupaten tersebut adalah:

Kabupaten Kotawaringin Timur, mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) Mentaya dengan luas seluruhnya 16.496 km², terdiri dari 17 kecamatan, 132 desa dan 12 kelurahan, terletak di antara 111°0’50” - 113°0’46” BT dan 0°23’14”- 3°32’54” LS.

Kabupaten Seruyan, mencakup DAS Seruyan, dengan luas wilayah 16.404 kilometer persegi mencakup lima Kecamatan beribuko di Kuala Pembuang.

Kabupaten Katingan, mencakup DAS Katingan dengan luas 17.800 kilometer persegi, dengan 11 Kecamatan beribukota di Kasongan.  

Peta Kalimantan Tengah

 Referensi:

Sejarah Kesultanan Kotawaringin dan Asal Mula Nama Pangkalan Bun - SINDOnews.com

Melihat Istana Kuning Milik Kesultanan Kutaringin yang Eksotis di Pangkalan Bun - Detik News

Sejarah Kotim - Kotimkab.go.id
(laman Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur)

Ziarah Tiga Makam, Wisata Religi Kotawaringin Timur - Tempo.co

Sunan Nata Alam - Wikipedia Bahasa Indonesia

Kabupaten Kotawaringin Timur provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia - Wikipedia Bahasa Indonesia

Sampit Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia - Wikipedia Bahasa Indonesia

Kerajaan Negara Dipa - Wikipedia bahasa Indonesia