Laman

Selasa, 29 Januari 2019

Cebong dan Kampret

Sejarah Cebong vs Kampret


Sebutan cebong dan kampret, awalnya dilakukan warganet guna mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat. Dua sebutan itu cukup menghangatkan situasi politik jelang pemilu dan sesudahnya. 

Dilansir dari Denny Siregar, istilah cebong mulai digunakan sejak ada vlog Jokowi yang melempar cebong-cebong ke kolam. Sejak itulah pihak pendukung Prabowo selalu menggunakan istilah "cebong" untuk mengejek pendukung Jokowi.



Istilah kampret tidak tahu kapan mulainya. Mungkin karena kubu mereka selalu menilai buruk apapun kebijakan atau capaian Jokowi. Sehingga para Cebong memberi gelar Kampret (kelelawar) yang melihat secara terbalik saat bergelantungan di pohon. 



Itu upaya membangun sinisme dan ekspresi politik yang fantastik. Memang dipakai saling mengidentifikasi dan membedakan dengan tegas satu kelompok dengan yang lain. 

Fenomena sosial ini, berdampak langsung penggunaan medsos sebagai alat kampanye, saling menjatuhkan lawan politik.

Di negara demokrasi yang lebih dewasa, orang bertarung di level ide, gagasan, kebijakan yang akan diimplementasikan, dan bukan di level identitas serta labelisasi. Hal tersebut menjadi pertanda, bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih perlu diperbaiki.

Labelisasi serupa 'cebong' dan 'kampret' pernah digunakan di negara Rwanda ketika perang berkecamuk. Ketika itu, musuh menganalogikan lawannya sebagai kecoak. 

Yang membuat kita khawatir, penggunaan istilah tersebut berpotensi berpeluang memecah belah bangsa. Bila hal itu terjadi, akan sulit mengembalikan integrasi bangsa. 

Di media sosial, muncul sebutan bagi pendukung Presiden Joko Widodo, yaitu kecebong. Sementara pendukung tokoh selain Jokowi kerap disebut kampret. 

Fenomena ini terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014. Sinisme tersebut berlanjut hingga kini.

Bias Kognitif 
Manusia tidak didesain sebagai makhluk rasional. Keputusan-keputusan yang kita ambil hampir pasti dibarengi dengan bias-bias kognitif. 

Bias kognitif adalah kesalahan dalam pemikiran, persepsi, penilaian maupun proses kognitif lainnya. 

Seseorang dengan bias kognitif cenderung membuat penilaian secara subjektif dan irasional (tidak logis), enggan melakukan klarifikasi. Mereka hanya membenarkan diri-sendiri, senang mendengar kekurangan dan hal negatif dari pihak yang berbeda pendapat & tidak disukainya. 

Bias kognitif juga dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), untuk terhindar dari rasa “malu” meskipun  sebenarnya ia memang salah. 

Hoaks
Tahun politik adalah "tahun panas, terutama menjelang pemilihan presiden. Situasi semacam ini dengan gampang ditunggangi para petualang politik yang menghalalkan segala cara demi kursi kekuasaan. 

Caci maki membanjir lini masa sosial media. Mulai dari isu PKI, utang luar negeri, kriminalisasi ulama, pelanggaran HAM, penculikan aktivis dan sebagainya, melalui sosial media, para buzzer, akun anonim, dan para pendukung fanatik garis keras, menumpahkan sumpah serapahnya di sosial media. isu sensitif tersebut memang mudah membangkitkan emosi pemilih. 

Isu SARA dan ujaran  kebencian digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan. 

Calon pemimpin harusnya menyajikan visi misi, program-program semacam sekolah gratis, pembangunan infrastruktur, penurunan harga, membuka lapangan pekerjaan dan janji lainnya. 

Tim sukses akan berusaha membuat pasangan jagoannya disukai, membuat pasangan lawan tidak disukai dengan black campaign. Ironisnya emosi memainkan peranan sentral dalam pengambilan keputusan para pemilih. Hal tersebut memaksa kandidat atau para tim suksesnya harus menggunakan isu SARA, jika tidak, calon pemilih kurang tertarik. 

Mengapa Orang Indonesia gemar Hoaks ?
Sudah bukan rahasia lagi bahwa berita palsu alias hoax merajalela di ranah digital Tanah Air. Jalurnya bisa berupa situs online, media sosial, hingga chatting di aplikasi pesan instan. 

Kenapa orang Indonesia getol menyebarkan hoax? Sebabnya mungkin berkaitan dengan penggunaan teknologi yang tidak dibarengi dengan budaya kritis melihat sebuah isu atau suatu persoalan. 

Indonesia termasuk lima besar pengguna smartphone dunia, tapi tingkat literasinya kedua terbawah setelah Botswana di Afrika. 

Riset World's Most Literate Nation yang dipublikasikan pertengahan tahun 2017 lalu, dari 61 negara yang dilibatkan dalam studi tersebut, Indonesia memang menempati urutan ke-60 soal minat baca (literasi masyarakatnya). 

Dampaknya, pengguna internet di Indonesia cenderung suka menyebarkan informasi ke orang lain tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya. Celakanya, orang tersebut justru bangga dan merasa hebat, alau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak. 

Padahal, hoax adalah hal berbahaya yang akibatnya bisa sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi, bahkan juga bisa mengancam nyawa. 

Jika dulu propaganda disebar melalui media cetak, penyebaran hoax saat ini jauh lebih masif lantaran didorong oleh media sosial. 

Di internet, penyebar hoax merasa relatif "aman" karena tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang dijadikan sasaran
hoax. Pelaku merasa aman dan tidak akan mudah tertangkap karena banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengelabui polisi. Apalagi ini dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi kan mungkin dia bisa aja ganti nomor kartu alamat email ganti identitas. 

Hukum yang diberlakukan terkait kasus tersebut dianggap tidak membuat pelaku merasa takut. Sehingga, penyebar hoax tidak dibayangi dengan jeratan hukum yang berat. 

Masyarakat yang enggan untuk melakukan verifikasi, atau tabayun, atau berbaik sangka, banyak digunakan oleh para pemburu klik untuk menulis judul bombastis, berita bohong, atau konten yang asal agar disebarkan di media sosial. 

Ini yang kemudian membuat banyak media yang tak kredibel mendapatkan porsi penyebaran atau sharing yang tinggi di media sosial. Banyak dari netizen yang menyebarkan berita dari situs media yang tidak kredibel, tidak patuh etika jurnalistik, atau punya integritas dalam menyebarkan berita. Padahal untuk mencegah hoax, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melihat legitimasi dari sumber berita.

Sebuah berita yang menjadi
trending topic di media punya kecenderungan disebarkan lebih banyak, tanpa adanya upaya verifikasi terlebih dahulu. 

Selain itu, orang yang terjebak hoax juga karena information overload. Banyaknya informasi membuat orang malas dan kerap kali terjebak dengan berita-berita yang tak benar.

Bukan hanya soal politik maupun teori konspirasi bisa membuat orang Indonesia egois, tapi juga berita maupun konten yang didapat juga egois. Merasa mendapat berita yang paling bener tanpa membandingkan berita dari orang lain membuat berita yang dia dapat yang sebenarnya hoax malah kesebar kemana-mana. 

Ingatlah kalau orang itu tidak luput dari kesalahan sehingga ada kemungkinan berita yang kamu dapatkan itu ada kesalahan juga. Jangan merasa yang paling benar, hanya terus mencari dari sumber-sumber yang lain sehingga kamu bisa menyimpulkan dan membuat berita yang kamu dapat itu akurat.

Untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkan hoax, masyarakat dihimbau bersikap lebih kritis dalam menjumpai informasi yang dijumpai di internet, entah lewat situs online, medsos, ataupun pesan chatting. Jadilah netizen yang cerdas dan jadilah salah satu dari orang-orang yang dapat membendung berita hoax yang ada. Jadilah agen perubahan!