Laman

Rabu, 09 Januari 2019

Sejarah Kejayaan dan Runtuhnya Kerajaan Granada, Kerajaan Islam di Spanyol setelah berkuasa 800 tahun


Tahun 900-an Masehi, Islam mencapai puncak kejayaannya di tanah Andalusia. Lebih dari 5 juta muslim tinggal di daerah tersebut, dengan prosentase mencapai 80% penduduk.
Andalusia memiliki luas wilayah 700 ribu kilometer persegi, yang meliputi sebagian besar wilayah Spanyol, seluruh wilayah portugis, dan sebagian besar wilayah Selatan Perancis.  

Peta Andalusia, Spanyol 
Islam pertama kali masuk ke Andalusia pada tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum kedatangan Islam dikenal dengan nama Iberia/Asbania. 

Saat Raja Granada wafat, sang raja meninggalkan kekuasaannya tanpa pengganti atau pewaris. Muhammad al-Ahmar dibantu oleh rekan-rekannya dengan cepat bergerak dan mengambil alih kekuasaan yang kosong kala itu. Granada yang merupakan kerajaan terbesar di Andalusia. 

Muhammad al-Ahmar adalah penguasa pertama Kesultanan Granada, negara Muslim merdeka terakhir di Spanyol. Muhammad al-Ahmar juga pendiri dinasti Banu Nashri. 

Muhammad al-Ahmar 
Dibawah pemerintahan Muhammad al-Ahmar, rakyat Granada mencintai dan menghormati raja mereka ini, sebab Muhammad al-Ahmar adalah pemimpin yang saleh, memiliki ahlak yang baik, amanah, adil, dan darmawan. Sikap tersebut ditunjukan tidak hanya terhadap warga yang beragama islam saja, tertapi juga warga yang beragaman Yahudi dan Kristen.

Muhammad al-Ahmar memperkuat kekuasaannya dengan mempertahankan hubungan damai dengan Kastilia. Pada 1248, ia bahkan membantu kerajaan Kristen tersebut mengambil alih Sevilla dari kekuasaan Islam. Namun pada tahun 1264, ia berbalik melawan Kastilia dan membantu pemberontakan penduduk Muslim di wilayah yang baru dikuasai Kastilia, karena dikhianati. 

Mendengar sifat terpuji Muhammad al-Ahmar, Ferdinand III (raja kekaisaran Qusytala/Romawi Suci) merasa terganggu dengan kabar-kabar tersebut. Ia khawatir kalau Muhammad al-Ahmar akan menggagalkan amibisinya menguasai kerajaan-kerajaan Islam di Andalusia. 

King Ferdinand III  
Raja Ferdinand III memutuskan untuk berangkat berperang dan memimpin langsung pasukannya menyerang Granada. 

Mengetahui persiapan yang dilakukan oleh Ferdinand III. Muhammad al-Ahmar sadar betul bahwa ia tidak akan mampu melawan pasukan yang dibawa oleh Ferdinand III, Granada baru saja mulai bangkit dari keterpurukan yang mereka alami, di atas kertas tidak mungkin mereka akan menang melawan Kerajaan Kristen Qusytala yang sudah mapan.  

Muhammad al-Ahmar pun memutuskan untuk menyerah kepada Ferdinand III, menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Qusytala, dan memberikan loyalitasnya kepada mereka. 

Muhammad al-Ahmar bersedia membayar Jizyah (pajak/upeti) yang ditetapkan oleh Ferdinand hingga saat yang belum ia ketahui. Raja Ferdinand III pulang ke negaranya dengan kepala tegak dan sorak sorai kemenangan, mereka berhasil menaklukkan Granada tanpa mengangkat senjata.  

Mengalah dengan perhitungan realistis bukanlah suatu kekalahan, terlebih lagi masa-masa “mengalah” itu diisi dengan persiapan untuk menjemput kemenangan. Sepuluh tahun setelah Muhammad al-Ahmar merelakan Granada tunduk kepada Qusytala, ia pun membuat keputusan yang sangat berani, Muhammad al-Ahmar melakukan pemberontakan. 

Muhammad al-Ahmar melihat rakyat Granada mulai bangkit. Granada semakin kuat, memiliki benteng-benteng yang kokoh dan tentara-tentara yang tangguh dengan perlengkapan yang mumpuni sepuluh kali lipat lebih kuat dibanding sepuluh tahun yang lalu. Masyarakat Granada saat itu juga masyarakat yang memiliki persatuan yang amat kuat, mereka tidak lagi berbicara tentang keuasaan, akan tetapi pembicaraan mereka adalah tentang kemenangan. 

Dengan penuh keyakinan Muhammad al-Ahmar pun mengumumkan penolakan membayar pajak kepada Raja Ferdinand III, ia enggan untuk tunduk di bawah kekuasaannya seperti yang telah ia lakukan selama sepuluh tahun terakhir ini. Muhammad al-Ahmar juga menggandeng rekan-rekannya dari Bani Marin dan raja-raja Afrika untuk sama-sama menghadapi Kerajaan Qusytala. 


Penolakan tersebut ditanggapi Ferdinand dengan ekspansi militer. Pasukan Kristen Eropa itu datang dengan percaya diri yang tinggi karena ketidaktahuan mereka tentang Granada yang baru. Perang sengit pun terjadi, Muhammad al-Ahmar memimpin pasukannya menyerang pasukan musuh. 


Muhammad al-Ahmar tidak berhenti maju menerobos dan mengayunkan senjatanya sampai ia mendengar ucapan:

“Cukup wahai panglima, tidak ada yang tersisa lagi dari pihak musuh.”

Muhammad al-Ahmar dengan sedikit bingung sambil menjawab dengan suara keras:

“Benarkah perang telah selesai?!”

Salah seorang prajuritnya menjawab:
“Benar wahai panglima, kita menang Alhamdulillah. Orang-orang kafir telah berlari kocar-kacir.” 

Mendengar hal tersebut, Muhammad al-Ahmar berteriak gembira, 

“Kita menang!! Kita menang!! Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!” 

Kaum muslimin pun turut bertakbir dan bergemuruhlah medan perang dengan kalimat takbir.

Tidak lama setelah menguasai Granada, Sultan Muhammad mendapat surat dari Raja Ferdinand untuk menyerahkan Granada ke wilayah kekuasaannya. Sang sultan pun terkejut dengan permintaan Raja Ferdinand, karena ia menyangka Raja Ferdinand akan memberikan wilayah Granada kepadanya dan membiarkannya menjadi raja di wilayah tersebut.

Muhammad berusaha untuk menggalang kekuatan dengan bersekutu bersama prajurit Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk memerangi kekuatan Kristen Eropa. Namun bantuan yang diharapkan Muhammad tidaklah sesuai dengan harapannya. Turki Utsmani hanya mengirimkan sekelompok kecil angkatan laut yang tidak berpengaruh banyak terhadap kekuatan Kristen Eropa. 

Tahun 1491, Granada dikepung oleh pasukan-pasukan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dari menara istananya, Muhammad melihat pasukan Kristen dalam jumlah yang besar telah mengepung dan bersiap menyerang Granada.

Muhammad pun dipaksa untuk menandatangani surat penyerahan Granada kepada pasukan sekutu Kristen. Peristiwa ini terjadi pada November 1491.

Malam itu, Andalusia jatuh ke tangan kerajaan Katolik setelah berada di bawah kekuasaan Islam selama lebih dari 800 tahun. 

Dalam surat penyerahan Granada tersebut, orang-orang Kristen menjanjikan toleransi dan kedamaian terhadap masyarakat Islam Granada.

Muhammad al-Ahmar meninggalkan istana dengan hati pilu, dadanya sesak. Hingga sampai di sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari sana dia menatap Istana Al Hambra, dia menangis tersedu-sedu hingga jenggotnya basah kuyup dengan air mata.

Melihat hal itu, ibunya berkata, Menangislah! Menangislah seperti perempuan! Karena kau tidak mampu menjaga kerajaanmu sebagaimana laki-laki perkasa. Usai kekalahan tersebut, Sultan Muhammad ditahan disebuah tempat pengasingan hingga akhir hayatnya.


Janji tinggalah janji. Atas pengaruh gereja, Raja Ferdinand mengingkarinya tak lama setelah menguasai negeri itu. Orang-orang Yahudi kemudian diusir keluar dari Spanyol. Ribuan umat Islam Granada terbunuh dan yang lainnya mengungsi menyeberang lautan menuju wilayah Afrika Utara.

Jumlah muslim yang dibunuh mencapai puluhan ribu jiwa. Sebagian mereka ada yang murtad atau pura-pura murtad. Mereka yang murtad ini selalu diawasi oleh intelejen Kerajaan Kristen pada saat itu.


Bila terbukti masih beragama Islam maka akan ditangkap dan dihukum. Apalagi mereka yang merencanakan pemberontakan, tak tanggung-tanggung akan dihukum mati! Digantung dan dikuliti kemudian di arak keliling kota. 


Mereka juga membakar kitab suci Al-Qur'an dan mencampakkannya ke tempat-tempat sampah sehingga berbaur dengan najis. 

Di manakah kerajaan Islam Maroko yang saat itu bersebelahan dengan umat Islam Andalusia? Di manakah kekhalifahan Utsmaniyah yang dengan gemilang berhasil menaklukan Konstantinopel?

Awal abad ke-16 adalah titik nadir umat Islam Andalusia. Mereka sedang bersiap diri menghadapi keruntuhan, sebuah keruntuhan yang dicatat dalam sejarah. Sebuah keruntuhan yang mengundang kepiluan dan kesedihan yang mendalam.

Selama delapan abad lamanya mereka berkuasa di Andalusia dan mendirikan sebuah peradaban yang besar, peradaban ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban yang mengantarkan mereka menjadi kerajaan paling digdaya di seantero dunia saat itu.

Setidaknya, ada tiga penyebab keruntuhan peradaban Islam di Andalusia, Spanyol, yaitu:


Mosque-Cathedral of Córdoba (Masjid Agung Cordoba) berubah kembali menjadi katedral, yang hingga kini masih digunakan sebagai Katedral umat Katolik. UNESCO pada 15 Desember 1994 menetapkan Masjid Cordoba sebagai salah satu situs bersejarah dan penting di dunia.

Pertama, perpecahan umat Islam pada saat itu. Kedua, cinta dunia dan takut mati kaum muslimin khususnya anggota keluarga kerajaan Islam Andalusia. Ketiga, memudar atau hilangnya peran ulama pada saat itu.


Referensi:

Runtuhnya Kerajaan Granada, Kerajaan Islam Terakhir di Spanyol
KisahMuslim.com 

Runtuhnya Islam Andalusia Jangan Terulang di Indonesia
Republika.co.id