Laman

Jumat, 19 Juni 2015

Pembantaian Sabra dan Shatila

Tragedi Sabra dan Shatila - Tragedi Pembantaian yang dilakukan militan Kristen "Manorit" terhadap pengungsi Palestina tahun 1982


Pembantaian Sabra dan Shatila adalah pembantaian para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada September tahun 1982, yang berlokasi di Beirut, Lebanon, yang saat itu dikuasai Israel. Pembantaian ini dilakukan oleh para militan Kristen yang menamakan diri mereka "Maronit" yang berasal Lebanon. Pasukan-pasukan Maronit tersebut berada di bawah komando Elie Hobeika yang merupakan anggota parlemen Lebanon, dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon.


Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp Sabra dan Shatila ini dikepung oleh tentara-tentara Israel yang dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).


Sejauh mana Peran Israel dalam pembantaian ini banyak diperdebatkan. Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun hasil investigasi & temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab.


Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Kelompok Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Falangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Sementara itu, fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah ,Iran dan negara-negara lain di wilayah itu. Sejak tahun 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.


Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang. Pembantaian sebelumnya telah terjadi beberapa kali dalam kurun waktu itu, termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina. Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon selama masa perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang.




Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra dan Shatila" menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang.




PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel. 


Israel membalas mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran. Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan 


Serangan ini mendapat kecaman dari Seluruh Dunia, terutama Dewan Keamanan PBB.


Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori Oleh Negara Paman Sam yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada Badan pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang saat itu masih tinggal di kamp-kamp pengungsi.


Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel (Tokoh yang sangat populer di antara kaum Maronit) terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan Nasional. Israel telah mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO.

 
Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari kemudian, Israel mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin keamanan para pengungsi Palestina yang tertinggal pada 11 September, setelah penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS.


Hari berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu, mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini dibantah oleh pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin membawa Gemayel ke Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel, ia pun menuntut diterimanya kehadiran militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan Mayor Saad Haddad (seorang pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel untuk memindahkan para pejuang Palestina yang menurut Israel masih bersembunyi di kamp-kamp pengungsi, termasuk Sabra dan Shatila.





Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan Suriah, yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi kepentingan-kepentingan dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon. Selain itu, menurut sejumlah laporan saksi mata, ia secara pribadi merasa tersinggung atas apa yang dilihatnya sebagai sikap yang sok dari Begin atas dirinya. Ia menolak tuntutan-tuntutan Israel untuk menandatangani perjanjian itu ataupun memberikan kuasa untuk dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi.



Pada 14 September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon mempersalahkan orang-orang Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka.


Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut Barat, melukai 254 orang dan 88 orang korban tewas.





Israel melanggar perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut Barat. AS pun telah memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin perlindungan warga Muslim di Beirut Barat. Pendudukan Israel juga melanggar perjanjian perdamaiannya dengan tentara-tentara Muslim di Beirut dan dengan Suriah.





Menachem Begin membenarkan pendudukan Israel sebagai "hal yang perlu untuk mencegah langkah-langkah balasan oleh orang-orang Kristen terhadap orang Palestina" dan untuk "menjaga keamanan dan kestabilan setelah pembunuhan Gemayel." Namun, beberapa hari kemudian, Sharon mengatakan kepada Knesset, parlemen Israel: "Masuknya kita ke Beirut Barat dimaksudkan untuk memerangi infrastruktur yang ditinggalkan oleh para teroris."


Tentara Israel kemudian melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel maupun warga sipil di Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para milisi Falangis Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap.


Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon untuk memasuki kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila dengan dalih untuk membersihkannya dari para teroris. Di bawah rencana Israel, tentara-tentara Israel akan mengontrol daerah sekeliling kamp-kamp pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik sementara milisi Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan menyerahkannya kepada pasukan-pasukan Israel.






Namun, Israel telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan melindungi kaum sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di bawah hukum internasional), namun Israel tidak melakukan apa-apa untuk melindungi warga sipil ketika ia sadar bahwa pembantaian sedang berlangsung. Pada 4 Februari 1983, Der Spiegel (sebuah majalah Jerman terkemuka) memuat sebuah wawancara dengan salah seorang Falangis yang ikut serta dalam pembantaian itu. Menurut orang ini, para pasukan Israel berperang bersama-sama kaum falangis serta mengebomi kamp itu untuk menolong mereka mengatasi perlawanan Palestina. Pada 1987, "Time" menerbitkan sebuah laporan yang menyiratkan bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas pembantaian-pembantaian itu. Sharon menuntutTime dengan tuduhan pencemaran di pengadilan Amerika dan Israel. Timememenangi tuntutan itu di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat membuktikan bahwa Time telah "bertindak dengan maksud jahat," sebagaimana yang diharuskan di bawah undang-undang pencemaran AS, meskipun para juri merasa bahwa artikel itu keliru dan mencemarinya. Setelah terpilihnya Sharon pada tahun 2001 sebagai Perdana Menteri Israel, kaum keluarga para korban pembantaian ini mengajukan tuntutan di Belgia dan menuduh bahwa ia secara pribadi bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian itu, dengan menggunakan undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat dalam Genosida Rwanda


Mahkamah Agung Belgia memutuskan pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti Jenderal Yaron dari israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan ini. Israel mengklaim bahwa tuntutan ini dilakukan dengan alasan-alasan politis. 




Sebuah kasus lain diajukan di Belgia yang menyatakan bahwa Presiden George H. W. Bush dan Menteri Luar Negeri Colin Powell bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan perang dalam Perang Irak pertama. AS mempertanyakan yurisdiksi pengadilan Belgia untuk mengadili kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan di tempat lain, dan meminta sekutu-sekutu Eropanya untuk menekan Belgia serta mengancam untuk memindahkan markas besar NATO dari Belgia. Selain itu sejumlah kasus lainnya terhadap para pemimpin dunia, seperti Fidel Castro, Augusto Pinochet, dan Yasser Arafat, juga diajukan di pengadilan Belgia, hingga menimbulkan sejumlah masalah diplomatik. 





Akhirnya Belgia mengamandemen hukumnya dan menyatakan bahwa pengaduan-pengaduan hak asasi manusia hanya bisa diajukan apabila korban atau tertuduhnya adalah warga Belgia atau sudah lama menjadi penduduk negara itu pada waktu kejahatan yang dituduhkan itu terjadi. Parlemen Belgia juga menjamin kekebalan diplomatik bagi para pemimpin dunia dan pejabat pemerintahan lainnya yang berkunjung ke negara itu.


Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu pembantaian itu tidak pernah diadili dan ia memegang jawaban menteri di pemerintahan Lebanon pada tahun 1990-an. Ia dibunuh dengan sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002. Padahal saat itu ia bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Ariel Sharon




Pada 24 September 2003, pengadilan tertinggi Belgia menolak pengaduan kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan menyatakan bahwa pengaduan itu tidak mempunyai basis hukum untuk dijadikan tuntutan.