Laman

Jumat, 15 Februari 2019

Operasi Intelejen CIA di Indonesia


CIA, Badan intelijen Internasional  Amerika Serikat "menyalurkan uang dan memasok senjata kepada pemberontak untuk melengserkan Sukarno pada 1950-an". Walaupun sempat gagal, namun mereka tidak menyerah, berbagai cara dan upaya terus mereka lakukan. Akhirnya apa yang menjadi misi mereka terwujud di Tahun 1965. 

"Bulan September 1957 mereka memberikan 50 ribu US Dollar. CIA, melalui stok senjata marinir dan angkatan darat Amerika, memasok 42.000 pucuk senjata tipe Riffles yang diberikan kepada para pemberontak, demi menjatuhkan Presiden Sukarno". 

Puncaknya pada peristiwa G30S/PKI. Keterlibatan CIA dalam penumpasan G30S/PKI, seperti yang tercatat dalam dokumen rahasia September 1965.


CIA (Central Intelligence Agency) adalah badan intelijen rahasia
yang ditugaskan oleh pemerintah Amerika Serikat. CIA berbeda dengan FBI. FBI hanya menjalankan aksi intelijen, dan menegakkan hukum dinegara federal (negara bagian) dan isu-isu domestik Amerika Serikat saja. Sedangkan aktivitas CIA adalah berhubungan dengan isu-isu internasional.


CIA melaporkan langsung segala macam kegiatan mereka kepada Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat yang bermarkas di Langley, Virginia. Direktur Intelijen Nasional mempunyai kompetensi untuk memberikan penilaian, pendapat dan perspektif yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dan kepentingan keamanan Amerika Serikat.

CIA memiliki agen yang sangat terlatih,  agen intelijen sipil non-militer yang kadang-kadang dimasukkan ke dalam tugas kegiatan rahasia atas permintaan Presiden Amerika Serikat. CIA mengumpulkan informasi tentang pemerintah asing, perusahaan, dan individu.

Jejak Agen Rahasia CIA di Indonesia
Perang Dingin melawan ideologi komunis Uni Soviet mengharuskan CIA, badan intelijen Amerika Serikat, menempatkan para intelnya di Indonesia. Amerika Serikat harus bekerja melalui organisasi militer Indonesia untuk memobilisasi oposisi terhadap komunisme. Seperti yang sudah diketahui bersama, perang dingin adalah perang dua ideologi, antara Amerika Serikat yang berideologi Kapitalis, melawan Uni Soviet yang berhaluan komunis.

Selain Indonesia, Amerika Serikat juga menghalau haluan komunis di beberapa negara, seperti di Vietnam, Korea, Tiongkok dan Kuba. Caranya dengan mengirimkan agen intelejen mereka dan mendanai pemberontakan dan perang sipil.

Ini adalah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah lagi. Usaha kudeta pertama di Indonesia pada tahun 1958 gagal mengguncangkan pemerintahan Sukarno. Namun setelah gelombang pembersihan komunisme "pada tahun 1965, Maj. Suharto memimpin penumpasan PKI dan pada akhirnya berhasil menyingkirkan Sukarno. Peran penting Suharto saat itu menempatkannya di kursi kepresidenan pada tahun 1967".

CIA menjadikan oknum militer Indonesia sebagai sekutu dan kolega penting mereka, yang bertujuan memberantas komunisme dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Agen CIA mendekati para kolonel ini. CIA yang kaya sumber daya ini mengontak salah satu dari perwira menengah yang berpengaruh.

Mereka, para oknum militer pembelot itu membuka rekening bank sendiri di Singapura dan rekening itu dapat digunakan siapa pun yang bersedia membantu mereka.

Buku Mestika Zed & Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein: perlawanan seorang pejuang (2001) menulis:

"Mereka memiliki perwakilan di Singapura, termasuk Soemitro, sebagai pencari dana bagi para pemberontak, bersama Letkol Herman Nicolas "Ventje" Sumual, salah seorang pencetus Perdjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957.


Bersama para pemimpin dari Minahasa, Bugis, Makassar, dan Ambon, Sumual mendeklarasikan ide Permesta di kediaman Andi Pangerang Petta Rani, seorang aristokrat Bugis dan gubernur Sulawesi. 

Adapun Soemitro Djojohadikusumo yang pergi ke Padang. Sementara Ahmad Husein adalah komandan militer Sumatera Barat yang mengatur pertemuan di Sungai Dareh, sebuah kota kecil di sebelah timur Padang, untuk membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958. Hashim termasuk salah satu yang terlibat dalam PRRI"

Soemitro Djojohadikusumo
Soemitro Djojohadikusumo adalah ayah dari Prabowo Subianto. Soemitro Djojohadikusumo pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri di era Orde Lama dan Orde Baru, termasuk menjadi menteri keuangan.

9 Februari 1958, Pemberontak Letnan Kolonel Maluddin Simbolon mengeluarkan ultimatum atas nama pemerintah provinsi Sumatera Utara, menuntut pembentukan pemerintahan baru.


Sukarno menolak tuntutan itu dan memerintahkan pemimpin TNI, Jendral Abdul Haris Nasution untuk menghentikan pemberontakan itu.


12 Februari 1958, Jendral Abdul Haris Nasution memutuskan untuk menerbangkan prajurit ke Sumatra untuk melakukan penyerangan. Pasukan militer dibawah pimpinan Jendral Abdul Haris Nasution tersebut berhasil melumpuhkan para pemberontak-pemberontak itu.


Dalam dokumen rahasia CIA yang dibuka dan dirilis kepublik oleh Arsip Keamanan Nasional di The George Wshington University, sangat jelas terlihat, sejak tahun 1957, CIA terus memberikan dukungan terhadap sejumlah upaya pemberontakan di Indonesia melalui markas udara di Naha, Okinawa, dibawah kepemimpinan Ted Shanon. Fasilitas lainnya adalah di Taiwan, dimana pesawat pembom A-26 disiapkan untuk membantu pemberontak di Indonesia.

"Agen-agen CIA mengadakan hubungan pula dengan lingkaran orang-orang Letnan Kolonel Ahmad Husein. Bulan September 1957, Smith berangkat ke Sumatera Tengah untuk bertemu Ahmad Husein dan Simbolon di Bukittinggi. Mereka diberi 50 ribu US Dollar".

Uang ini, menurut Simbolon, "untuk membeli makanan bagi 300-400 tentara di Medan. Di Singapura, Simbolon pun dapat bantuan lagi, termasuk senjata sebanyak 42.000".

Pemberontak Indonesia yang telah dipersenjatai itu kemudian dikembalikan ke Sumatra melalui air drop dari Filipina dan juga didaratkan dengan kapal selam.

Pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
CIA mengirim berton-ton senjata dan amunisi ke Pelabuhan Painan, 35 mil ke arah selatan Padang. Dari Painan, 50 tentara bawahan para kolonel diangkut ke pangkalan-pangkalan militer Amerika di Asia Tenggara untuk dilatih.

Bulan November dan Desember 1957, cukup banyak persenjataan modern buatan Amerika Serikat yang masuk dan dibiayai oleh Amerika Serikat, diangkut ke pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai pemberontak. Namun, memasuki bulan Desember 1957, pengiriman senjata dilakukan secara terbuka. Senjata diangkut pesawat yang diterbangkan dari Filipina, Thailand, Taiwan atau Malaya.

Namun, segala bantuan CIA ini seolah mubazir. Sebab, ambisi pasukan PRRI cepat dipadamkan oleh tentara Republik, dibawah kepemimpinan Jendral Abdul Haris Nasution. PRRI digambarkan sebagai pencundang, sekaligus menjadi aib yang memalukan bagi CIA. Kolaborasi antara pemberontak dan CIA tak mampu melengserkan Sukarno.

G30S/PKI dan Pembantaian 1965
Peristiwa G30S/PKI pada 1965 adalah babak sejarah paling abu-abu di Indonesia. Ternyata, dari jauh hari, peristiwa G30S/PKI dipantau oleh CIA,

Pada situs resmi CIA, terdapat 'The President's Daily Brief'.  Laporan intelijen ini sudah bebas di- download dan dibaca di www.cia.gov/library

Ini adalah kompilasi laporan intelijen dari CIA kepada empat presiden, yaitu John F Kennedy, Lyndon B Johnson, Richard Nixon, dan Gerald Ford, dalam rentang waktu 1961-1977.

Agen-agen CIA cukup intens melaporkan kondisi PKI dan Indonesia. Nah, setelah peristiwa G30S/PKI, lebih kencang lagi pemantauan mereka.
Setiap hari, kecuali Minggu, selalu ada laporan dari CIA soal perkembangan peristiwa G30S/PKI, termasuk manuver Mayjen Soeharto saat itu.

30 September 1965, terjadi operasi  penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira berjabatan kapten. Bahkan Ahmad Yani yang menjabat menteri atau Panglima Angkatan Darat tidak luput dari sasaran.

Saat itu, satuan TNI Angkatan Darat  mengalami guncangan hebat akibat aksi G30S/PKI. Para perwira TNI Aangjatan Darat ingin melakukan tindakan akibat peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.

7 Pahlawan Revolusi korban G30S 
Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad yang saat itu menggantikan posisi Jenderal Ahmad Yani yang tewas dibunuh. Soeharto segera melakukan aksi untuk "melumpuhkan aksi G30S/PKI".

Tidak hanya pasukan TNI Angkatan Darat yang bergerak untuk melakukan penumpasan, melainkan organisasi massa dan keagamaan, serta partai anti-PKI juga turun tangan.

Sekitar 39 dokumen yang tersedia dari hampir 30.000 halaman arsip, merupakan catatan harian Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Indonesia, dari tahun 1964-1968.


Menurut dokumen tersebut,
"TNI Angkatan Darat membunuh 500.000 pendukung PKI yang diduga dilakukan antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Selain itu, satu juta orang pendukung PKI dipenjarakan. Hingga akhirnya masa kepemimpinan Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto".

Dokumen tersebut menguak bahwa "terjadi sebuah pertemuan rahasia, pada tahun 1964 di Filipina yang merumuskan skenario Amerika Serikat untuk Indonesia. Yaitu skenario supaya Indonesia tidak jatuh kepada Komunis PKI. Kalau hal itu terjadi, maka posisi Amerika yang saat itu bertempur melawan Vietnam akan semakin terjepit".


Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, "bahwa pada tanggal 12 Oktober 1965, oknum Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan opsi untuk menjatuhkan Soekarno. Mereka mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu".

Pada 1 November, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib. Dengan demikian, komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya. Selanjutnya Soeharto dan kroni-kroninya menuding "PKI sebagai dalang dari Gerakan 30 September (G30S0)".


"Sebuah kampanye propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia lah, terutama perempuan-perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menyiksa dan mencungkil mata atau memutilasi alat kelamin mereka sebelum meninggal,”
bunyi laporan dokumen itu.


Soeharto mengeluarkan instruksi (Kep1/KOPKAM/12/1965) kepada para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing.


2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto langsung mengambil kontrol de facto atas ibu kota dan angkatan bersenjata. 10 Oktober  1965, Soeharto membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.

Akibat propaganda ini, terjadi persekusi, kekerasan, dan  pembantaian terhadap orang-orang yang diduga komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah. Kekerasan ini terjadi di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan menyebar ke seluruh tanah air.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 23 Juli 2012 memutuskan bahwa "berbagai kekerasan setelah peristiwa 30 September 1965 merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, berdasarkan hasil penyelidikan sejak 2008. Pengumpulan bukti dan pemeriksaan 349 saksi dilakukan di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah korban menurut Komnas HAM di kisaran 500 ribu hingga 3 juta jiwa"


Riset dan investigasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965/1966) menyebut "total korban pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 mencapai jutaan. Tak banyak versi resmi pemerintah tentang jumlah korban tewas dalam operasi penumpasan anggota PKI".


New York Times pada Mei 1966 menuliskan "jumlah korban tewas mencapai 300 ribu orang. New York Times beberapa bulan kemudian, seperti dipaparkan buku Dalih Pembunuhan Massa, kembali melakukan investigasi jurnalistik.

Berdasarkan penyelidikan tersebut, New York Times menyimpulkan jumlah korban mati seluruhnya lebih dari setengah juta orang.

Maraknya pemberitaan, terutama media Amerika Serikat yang memberitakan dugaan pembunuhan pasca-30 September itu terdengar sampai ke telinga senator Robert F. Kennedy.

Januari tahun 1966, dalam sebuah pidatonya, Robert F. Kennedy nengkritik Presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson yang diam saja terhadap kondisi Indonesia.


Pada akhirnya, kita harus move on untuk berdamai dengan sejarah. Kita harus bisa menerima perjalanan sejarah bangsa sebagai fakta. Hampir semua tokoh terkait telah tiada. Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal.

Hikmah dari semua peristiwa itu hendaknya menjadi peringatan bagi penguasa,  agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.


Referensi:

Meski Sama-sama Badan Intelijen AS, Nyatanya CIA Bisa Lebih Brutal dan Menghalalkan Segala Cara Dibanding FBI 
Intisari.Grid.ID

Berkat Limpahan Bedil dari CIA: PRRI dan Pusaran Anti-Komunis 
Tirto.id 

Ini Bukti CIA Pantau Peristiwa G30S/PKI 1965 
detik News 

Dokumen rahasia AS: Korban 'tuntut' tanggung jawab Amerika
BBC News Indonesia 

Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
BBC News Indonesia 

G30S 1965: Inggris Sudah Lama Ingin Singkirkan Soekarno TEMPO.co 

Berapa Sebenarnya Korban Pembantaian Pasca-G30S 1965?
TEMPO.co