Tak banyak yang mengetahui hubungan dan kedekatan kedua kerajaan.Aceh dan Turki. Dua wilayah yang terpisahkan oleh ribuan kilometer jaraknya. Namun, dua pemimpin wilayah ini pernah menjalin hubungan erat ratusan tahun lalu.Tak main-main, hubungan tersebut bisa memberikan pengaruh yang besar pada eksistensi kerajaan kala itu. Hingga meninggalkan berbagai bekas dan manfaat positif yang mengakar hingga kini di masyarakatnya.Proses dan hubungan antar dua kerajaan ini sangat panjang dan unik.
Menurut aktivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) Thayeb Loh Angen, peristiwa ini tertoreh dalam sejarah masyarakat Aceh dan belum semua masyarakat Indonesia mengetahuinya.Hubungan yang terjalin ini sangat penting bagi perkembangan kerajaan Aceh dan Islam di nusantara. “Hubungan antara Aceh Darussalam dengan Turki Usmani (Ottoman Turkish) adalah sejarah panjang yang masih berpengaruh sampai sekarang."
Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudra Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika portugiss merebut goa di India, lalu malaka pun akhirnya jatuh ketangan portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri dipesisir utara Sumatra seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak(Perlak), Pase(Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis.
Datangnya tentara Portugis ke wilayah ini. Untuk itu, demi memperkuat posisinya di mata dunia, Kerajaan Acehberinisiatif mencari dukungan pada kerajaan Islam yang terbesar di dunia, yaitu Turki Usmani atau yangdikenal dengan Dinasti Ottoman. Aceh mencari sekutu yang kuat untuk menghadapi Portugis yang datang ke wilayahnya.
Sebuah arsip Utsmani berisi peti Sultan Aladin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al Qanuni, yang dibawa Husein Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhilafahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering menggangg udan merampok kapal pedagang Muslim yang berlayar dijalur rute pelayaran dari Turki-Aceh dan sebaliknya.
Portugis juga sering menghadang jama'ah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sebab itu, Aceh meminta bantuan Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi(Portugis).
Sultan ketiga Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah al-Qahhar, meminta pertolongan kepada Kesultanan Ottoman, Sultan Ali Mughayat Syah al-Qahhar mengirimkan utusan, di antaranya, bernama Omar dan Hussain, untuk menemui pejabat Kesultanan Ottoman pada 7 Januari 1565 dengan membawa sejumlah besar komoditas berharga ke Konstantinopel.“Peristiwa tersebut dikenal dengan lada sicupak,” tulis intelektual Muslim ini.
Saat utusan Aceh tiba di Konstantinopel pada 1565, Sultan Turki Usmani pada saat itu, Sulaiman, sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar di Eropa Timur.
Lamanya peperangangan kerajaan Ottoman itu, menyebabkan utusan dari Aceh menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel.Untuk meminta bantuan kerajaan Ottoman, maka utusan dari Aceh harus menunggu kerajaan Ottoman menyelesaikan perangnya. Dengan usaha sendiri, mereka para utusan Aceh menyewa tempat dan menafkahi diri mereka mereka terpaksa menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sebenarnya telah mereka niatkan untuk dihadiahkan kepada sultan. Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak (segenggam) dan itulah yang dapat mereka tawarkan kepada sultan yang baru saja naik takhta. Dalam pertemuan resmi tersebut, sultan Turki Usmani memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya termasuk sebuah meriam yang secara simbolis dinamakan lada sicupak.
Sultan Sulayman Al Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan untuk membantu Kesultanan Aceh Darusalam, dengan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksaman Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. Walau mereka berangkat dalam jumlah yang amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebagiannya saja, karena ditengah perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna mamadamkan pemberontaknan yang berakhir pada 1571 M.
Di Aceh , kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana KurtogluHizir Reizsebagai gubernur (wali) Nangroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan diwilayah tersebut. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, seluruhnya adalah ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentarara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, yaitu selat Malaka.
Rombongan ekspedisi kapal pasukan Turki Utsmani menuju Aceh agar aman dari gangguan perampok, Turki Utsmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani dikapalnya. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata,“Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orangTimur”.
Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan“Alam Zulfiqar”(Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah denganbulan sabit dan bintang ditengah serta sebilah pedang yang melintang dibawah berwarna putih.
Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyyah menghadang armada Salib Portugis di Samudra Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tenggara Ke Makkah, memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa dipasar Aleppo, Kairo, dan Istanbul, dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke China. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan.
Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersatu dengan kekholifahan Turki Utsmaniyyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan, Salah satu Sultan Buton, Lakiponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelarQaim ad-Din yangmemilki arti“penegak agama”,yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Makkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada yang menyebutkan dari penguasa Makkah).
Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literature klasik dari suber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekholifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyyah.Jadi bukan sekedar hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan Imandan Ukhuwah Islamiyyah. Jika satu Negara Islam diserang, maka Negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka kepada saudara seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyyah”
Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki (meriam Lada Sicupak) nasibnya sungguh menyedihkan. Selama fase kedua invasi/penjajahan Belanda di Banda Aceh, meriam ini dan beberapa meriam lainnya diambil oleh tentara Belanda dan kemudian dikirim bersama dengan artefak-artefak lainnya ke negara asal mereka di Eropa. Meriam-meriam ini sebenarnya bukan hanya aset dan warisan budaya yang tak ternilai harganya, tetapi juga merupakan bukti konkret hubungan antara Aceh dan Turki.
Reverensi:
J. Wils, A. Hasjmi, Farooqi, “protecting the Routherto Mecca”, hal. 215-216
MetinINNegollu, “The Early Turkish-Indonesia Relation”
Dr. Yusuf ats-tsaqofi, "Mawqif Urubamin ad-Daulatal-Utsmaniyyah" hal. 37
Lukman Thaib ,”Aceh Case: Possible Solution to Festering Cinflict."
Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal. 106
Ali Muhammad Ash-Shalabi, "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah" (Terj.)
Pustaka Al-Kautsar, tahun 2003, hal.258-259.