Laman

Sabtu, 27 Oktober 2018

Ibadah Haji Zaman Dulu dan Orang Indonesia yang Pertama Kali Naik Haji

Dalam sejarahnya, perjalanan menuju Makkah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu hingga dua tahun. Kapal masih menjadi transportasi pilihan bagi jamaah haji sebelum tahun 1979. Pada abad ke-15, kapal layar bahkan digunakan untuk sampai ke Hijaz (Arab Saudi). Selain lama, juga menghadapi kondisi alam yang menyulitkan.

Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji. Itu pun masih ada persoalan lain, keamanan. Jalanan belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan serangan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka yang sakit yang tak bisa meneruskan ke Mekah atau yang meninggal ditinggal di negara-negara tempat persinggahan (transit) kapal. Persinggahan kapal antara lain Malaysia (termasuk Singapura), beberapa kota di India hingga Jibuti dan Yaman. Sebagian mereka ada yang kemudian tinggal dan beranak pinak di sini. Sebelum Pesawat Terbang menjadi angkutan utama haji, hanya kapal laut yang tersedia menuju Tanah Suci, itupun merupakan kapal-kapal yang masih sederhana, masih mengandalkan tenaga angin (kapal layar), sehingga membutuhkan waktu tempuh lebih dari Dua tahun perjalanan laut. Pada tahun 1803, Robert Fulton seorang ahli teknik, dan seniman berkebangsaan Amerika. Fulton berhasil membuat kapal uap untuk pertama kalinya. Sejak saat itu sistem kapal uap terus mengalami penyempurnaan. 



Kapal uap mulai digunakan untuk ibadah haji sejak akhir abad 19 membuat perjalanan jadi lebih mudah dan cepat. Waktu yang diperlukan hanya sekitar 20 hingga 25 hari. Meski waktu perjalanan telah terpangkas, tetapi kematian masih mengintai jemaah haji di Sepanjang pelayaran. Di atas kapal, jemaah selalu dalam risiko. Mulai ancaman kecil seperti mabuk laut karena tak biasa berlayar, penipuan, perampokan, hingga jatuh sakit parah yang menyebabkan kematian. Bagi jamaah yang meninggal dunia karena kelelahan atau mengidap penyakit selama pelayaran, jenazahnya dilepas (dimakamkan) ke Laut.


Sebelum jenazah dilepas ke laut, jenazah dimandikan dan dikafani menurut ketentuan Islam, jenazah kemudian dishalatkan. Awak kapal yang sudah berpengalaman membungkus jenazah itu dari luar dengan kain layar putih bersih. Beberapa kepingan baja dan timah hitam seberat antara 30-50 kg diikat dengan rapat pada kepala dan kakinya. Proses pelepasan dilakukan di buritan kapal. Ketika hendak melepas jenazah, kecepatan kapal dikurangi atau berhenti dengan posisi yang ditentukan mualim. Jenazah itu ditempatkan ke dalam sekoci kecil. Kepalanya dihadapkan ke haluan kapal. Dengan penuh hikmat, sekoci itu diturunkan. Tali sekoci bagian kepala ditarik ke atas sehingga posisinya menjadi miring dan jenazah tenggelam ke dalam laut.
Sedangkan untuk Jamaah haji yang meninggal di tanah suci, jenazahnya tidak dikembalikan ke negara asalnya. Jenazah di kuburkan di Makkah atau di Madinah. Jenazah-jenazah itu apabila meninggal dunia di Medinah, maka ia akan dimakamkan di Makam Baqi’. Di Mekah, jenazah-jenazah itu umumnya dimakamkan di Makam Ma’la, namun bila sudah penuh, maka jenazah akan dimakamkan di Makam Siroyai, pemakaman dekat Jabal Nur.

Ibadah Haji Masa Kolonial Belanda : Pada masa penjajahan kolonial Belanda, bagi jemaah perempuan, ancaman bahaya menjadi berlipat ganda. Banyak jemaah perempuan dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang dilecehkan hingga diperkosa. Dalam satu musim haji, selalu ada perempuan yang mengalami pelecehan seksual, dan seringkali pelecehan ini terjadi di atas kapal. Ironisnya, banyak dari kasus ini dilakukan para Muthawif (petugas yang menyiapkan keberangkatan hingga berkegiatan di Tanah Suci, layaknya yang dikerjakan para petugas agen perjalanan di masa kini).

Salah satu kasus yang terkenal pada 1927-1930. Seorang muthawif bernama Muhammad Magelang diketahui memperkosa lebih dari tiga perempuan. Pelecehan terhadap perempuan tak hanya terjadi di atas kapal, tapi juga di tempat karantina. Ketika sampai di Pulau Kamaran, jemaah haji akan dipisah berdasarkan jenis kelamin dan diharuskan mandi serta menerima pengobatan dan pengecekan oleh tenaga medis. Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi pelecehan terhadap perempuan yang dilakukan oleh petugas kolonial Belanda di tempat karantina. Perempuan-perempuan setengah telanjang harus menuju tempat pemandian ditatap oleh mata para petugas yang jelalatan seakan-akan jemaah perempuan adalah tontonan. Maraknya pelecehan yang terjadi terhadap jemaah perempuan ini yang kemungkinan besar menyebabkan pemerintah Belanda mulai mengizinkan adanya muthawif perempuan. Pekerjaan sebagai muthawif yang tadinya hanya untuk laki-laki mulai diisi perempuan sejak 1920-an. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga mengetatkan keamanan di Mekkah untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual serta perdagangan manusia yang sering menimpa jemaah haji perempuan dari Hindia Belanda. Orang Indonesia yang Pertama Kali Naik Haji Indonesia telah mengenal kewajiban ibadah haji sejak dekade pertama penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera. Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Kafilah datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara. Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya. Memasuki abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal. Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Siapa orang Indonesia yang pertama kali menunaikan ibadah haji ? Ada berbagai versi sejarah yang mencatat perjalanan haji yang dilakukan orang Indonesia. Dalam naskah “Carita Parahyangan”, pemeluk agama Islam yang pertama di tanah Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan kakaknya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat, yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar dan sering melakukan pelayaran ke Sumatera, Tiongkok, India, Srilanka, Iran, bahkan sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak. Sejarah lain juga mencatat, pada tahun 1482, Hang Tuah (seorang pelaut dengan pangkat laksamana dari kerajaan Malaka) pergi ke Tanah Suci. Ia mendapat tugas negara dari Sultan Melaka. Hang Tuah berangkat dengan 42 kapal dan 1.600 awak. Kapal yang ditumpanginya bernama Mendam Birahi. Ketika melintasi Negeri Judah (Jeddah) Hang Tuah berlabuh dan disambut syahbandar setempat. Penguasa setempat lantar mengantar mereka ke Mekkah dan Madinah. Tak lupa, Laksamana Hang Tuah menciumi Hajar Aswad, si batu hitam.


Sumber sejarah lain mencatat, Ludovico di Barthema, penjelajah dari Roma pertama yang mengunjungi Makkah di tahun 1503 menjumpai jamaah haji dari kepulauan Nusantara. Jamaah haji yang dijumpai Ludovico itu disebutkan sebagai orang-orang Nusantara yang pertama menunaikan ibadah haji. Namun tak bisa dirincikan secara lebih detail darimana asal orang Nusantara tersebut, apakah berasal dari Aceh, Sunda, Jawa, Maluku. Yang jelas mereka berasa dari kepulauan Nusantara. Baru pada tahun 1556 muncul titik terang terkait siapa orang Nusantara yang pertama kali berhaji. Ada catatan berbahasa Portugis yang menyebutkan telah ada lima kapal besar Aceh yang berlabuh di Jeddah. Aceh melalui kerajaan Samudera Pasainya memang menjadi kota di Nusantara yang terkenal dengan ketaatan penduduknya dalam menjalankan syariat. Banyak ulama besar lahir di sana, mereka mengajarkan ilmu agama secara turun temurun. Rombongan ulama-ulama Aceh yang berkunjung ke Makkah awalnya bukan untuk berhaji. Niat awal mereka adalah untuk berdagang dan menimba ilmu agama dengan para syekh di Makkah. Tetapi, mereka bukan jemaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka adalah pedagang, utusan sultan, dan pelayar yang berlabuh di Jeddah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Makkah. Umat Islam Nusantara yang pertama datang ke Makkah itu bertujuan mencari legitimasi politik, berniaga, menimba ilmu. Namun mereka memanfaatkan keberadaannya di Makkah juga untuk menunaikan ibadah haji. Tokoh Islam lainya yang melakukan perjalanan ibadah haji di zaman kolonial Belanda yang tercatat dalam sejarah yakni :

Sunan Gunung Jati (tahun 1520),

Syech Yusuf dari Makassar (tahun 1650), 



dan Raja Ali Haji dari Riau (tahun 1828).
Sedangkan Tokoh Islam yang melakukan perjalanan ibadah haji pada masa akhir zaman kolonial Belanda diantaranya adalah :

RAA Wiranatakusuma (tahun 1924)


KH Abdussamad (tahun 1948)



Ali Hasjmy (tahun 1949)


dan Buya Hamka yang dua kali naik haji dan dua kali mencatat (tahun 1927 dan tahun 1950).

Referensi: Aneka Kapal dari Zaman ke Zaman Under Their Own Steam: A History of Steamships Buku "Historiografi Haji Indonesia" (terbit tahun 2007). pengarang: Shaleh Putuhena Buku "Naik Haji di Masa Silam Tahun 1900-1950" (cetakan tahun 2013) Catatan perjalanan Kyai Haji Abdussamad dalam Melawat ke Mekkah (1948) Buku "Historiografi Haji Indonesia" karya: Shaleh Putuhena Buku "Kerajaan Arab Saudi" (tahun 1951) karya: Ali Hasjmy Buku "Haji di Masa Kolonial" pengarang: M Din Majid Lijst van Pelgrimssjeich, 1931-1932, Arsip Konsulat Belanda di Jeddah Film "Het Groote Mekka-feest" (tahun 1928) karya: C.H. Krugers Artikel “Aniaja Karantina”, yang terbit dalam Bendera Islam edisi 12 Agustus 1926.