Laman

Kamis, 25 Oktober 2018

Dalang Pembantaian G30S PKI Tahun 1965



Peristiwa G30S/PKI—sebuah stigma yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kudeta gagal yang dipimpin Gerakan 30 September (G30S) Faktanya, militerlah yang mengerahkan kudeta pada 1 Oktober 1965 tersebut. Perencanaan kudeta ini dimulai di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Waktu itu, tentara dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Upaya Soeharto menggunakan rantai komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan menunjukkan bagaimana militer Indonesia memulai dan melakukan pembunuhan massal 1965-66. Persiapan Kudeta Pada 1965, di tengah ambisi kudeta, militer Indonesia menemukan sekutu utamanya, yaitu pemerintah Amerika Serikat. Dalam kabel diplomatik Kedutaan Amerika untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, "Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara barat memberi tahu soal kemungkinan itu." Sesaat setelah Kudeta Militer Indonesia 1 Oktober 1965, Soeharto justru mengisi kepemimpinan yang ditinggalkan Ahmad Yani, secara aktif mengabaikan wewenang Sukarno. Soeharto juga mempertahankan posisi strategisnya sebagai Komandan Kostrad Soeharto memainkan peran penting dalam koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye penumpasan setelahnya. Soeharto secara aktif berusaha merebut kekuasaan, dengan cara memanfaatkan aksi-aksi Gerakan 30 September sebagai katalis guna menjalankan rencana jangka panjang kudeta militer. Dalam pengambilalihan kepemimpinan pada hari itu, Soeharto tidak hanya merepons tindakan Gerakan 30 September, tetapi juga menjalankan skenario jangka panjang dalam kepemimpinan militer (rencana kudeta). Pembunuhan massal setelahnya digunakan untuk meneror penduduk dan menghilangkan seluruh potensi perlawanan terhadap rezim militer baru. Makalah berjudul Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia yang disampaikan oleh Bradley Simpson, dosen sejarah di Universitas Princeton, Amerika Serikat, Pada Januari 2011 pada konferensi internasional bertajuk Indonesia and the World in 1965. Konfrensi itu menyingkap keterlibatan AS secara langsung untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyingkiran Soekarno. Untuk diketahui, sebagian besar informasi di makalah Brad Simpson dari arsip-arsip AS sendiri, seperti telegram (rahasia) Kedubes AS, memo sejumlah pejabat AS, kabel infomasi CIA, airgram Kedubes AS, dan lain-lain. Jadi, akurasi informasinya dapat dipertanggung jawabkan. Setidaknya ada dua kepentingan besar AS di Indonesia saat itu. Pertama , AS berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya. Untuk mencapai dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu , menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat. Untuk lebih memudahkan para pembaca menangkap peran AS dalam memainkan situasi Indonesia untuk mencapai tujuannya. Pada Agustus 1964, AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI. Saat itu, pihak intelijen AS menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ini mencoba menggulingkannya.” AS melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok, dan rencana-rencana pembangunan di Indonesia. Harapan AS untuk membawa Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris). Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia makin merapat ke Cina. Awal 1965, ada peristiwa yang membuat AS dan barat makin tidak sabar untuk menghajar PKI dan menggulingkan Soekarno. Pertama, keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar dari PBB. Kedua , para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)–yang berada di bawah kendali PKI–untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh US Rubber Company di Sumatera Utara. Pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia. AS dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia. Dugaan bahwa AS dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua , mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll). Peristiwa G30S 1965 Dan Pembantaian Massal Gerakan prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, yang ironisnya memperlihatkan Biro Khusus PKI, merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh AD yang anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis). Telegram Kedubes AS tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan: “pemerintah AS, Inggris, dan Australia berusaha membantu AD dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan, penghianatan, dan kekejaman PKI. Setelah itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tanggal 4 Oktober, Kedubes AS melaporkan bahwa RPKAD di daerah komando Jateng memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim. Di sumatera utara dan Aceh, pemuda IPKI dan unsur-unsur anti-kom mulai dorongan sistematis untuk menumpas PKI. Ironisnya, AS menanggapi pembantaian massal itu dengan antusias. Malah mengintensifkan bantuan kepada tentara dan kelompok anti-komunis. AS telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI. AS terlibat dalam mendanai, mengoperasikan, dan mengintensifkan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI. Di Surabaya 15.000 komunis dibunuh di daerah Tulungagung saja. Di Pasuruan, Jawa Timur, 2000 buruh pabrik Nebritex–semuanya anggota SOBSI–dibunuh sejak akhir November. Di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, kelompok anti-komunis membantai sedikitnya 3000 anggota PKI setiap minggu. Apakah kali ini pemerintah tetap mengelak untuk membuka tabir sejarah kelam Tragedi Gerakan 30 September (G30S) Sebuah dokumen rahasia berisi komunikasi kabel diplomatik AS tentang tragedi berdarah itu dibuka ke publik oleh lembaga nirlaba National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA). Dokumen dibuka pada 17 Oktober 2017. Ada 39 dokumen rahasia pembantaian 1965 setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia sejak tahun 1964 hingga 1968. Dokumen mengungkap seputar pertikaian antara tentara dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengantar ke peristiwa yang disebut sebagai “pembantaian massal”. Sebagian dari fakta mengenai peristiwa G30S ini sudah dibuka ke publik antaralain lewat pengakuan saksi mata dan korban. Sebagian lagi lewat kesaksian yang diungkap oleh mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa 1965 . Dokumen rahasia AS ini membuka sebagian fakta lain yang selama ini ditutupi rapat-rapat. Pada tanggal 21 Desember 1965 misalnya, ada kawat diplomatik dari sekretaris pertama kedubes AS di Jakarta, Mary Vance Trent, yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri AS. Kawat diplomatik itu menggambarkan suasana yang terjadi pasca G30S, “Sebuah perubahan yang fantastis yang terjadi dalam 10 pekan yang singkat.” Laporan itu juga menyebutkan sekitar 100.000 orang telah dibantai. Kawat diplomatik juga melaporkan, bahwa di Bali saja, sampai pertengahan Desember 1965, 10.000 orang dibunuh. Termasuk para orang tua dan keluarga jauh dari gubernur saat itu yang dianggap pro komunis. “Pembantaian terus berlanjut,” kata laporan itu. Dua bulan kemudian laporan lain dari Kedubes AS memperkirakan bahwa pembunuhan di Bali telah meningkat jumlahnya sampai 80.000. Saat pemerintah menggelar simposium membahas peristiwa 1965, muncul kegaduhan di kalangan sesama tentara . Kader PKI mengaku tidak tahu yang terjadi. Telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965, menggambarkan bahwa kader-kader PKI tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya. Jurnalis itu disebutkan sebagai jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. "Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," demikian laporan itu. Informasi ini dikuatkan oleh Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Para aktivis tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi mereka. "Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno," ujar sang diplomat. Pada 26 November 1965 ada laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan tentang pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung setidaknya 15.000 komunis dibunuh. Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga) Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai pertahanan sipil atau hansip sebagai dukungan memerangi PKI. Dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan. Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera. Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. "Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah tentara. Telegram Kedubes AS tanggal 2 November 1965 mengatakan, “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya.” AS dan Negara Sekutu (Barat) khawatir, selama Soekarno masih berkuasa, AD akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan AS dan sekutunya. Untuk itu, pejabat AS mulai memikirkan untuk bagaimana membantu AD menyingkirkan Soekarno. Salah satu aksi paling efektif yang dilancarkan AS dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno, seperti dicatat Brad Simpson, adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk. Perang ekonomi itu cukup efektif. Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini dipakai oleh AD dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno. Yang paling ironis, sekaligus benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia, yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda. Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan AS yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini membuat soekarno benar-benar terjepit. Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh AD dan didanai AS/sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966. Segera setelah kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, AS dan sekutunya mulai merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat. Dalam penyusunan UU PMA, misalnya, AS mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat, untuk menyusun UU tersebut. Setelah selesai, draftnya diserahkan ke Kedubes AS untuk dimintai komentar akan perlunya perbaikan-perbaikan dari pihak investor AS. Lalu, untuk menguji kesetiaan rezim baru Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang beroperasi di Papua sebagai ujian pertamanya. Setelah investor Freeport sukses, investor-investor asing pun mulai berebut jarahan di bumi Indonesia. Penulis: Komarrudin.Amd Rabu, 15 Agustus 2018 ————————— Referensi: Makalah "Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia" oleh: Goethe Institute "Konferensi internasional bertajuk Indonesia and the World in 1965." Narasumner: Bradley Simpson, Ragna Boden, Jovan Cavoski, dan Richard Tanter National Intelligence Estimate 55-63, The Malaysia-Indonesia Conflict, 30 Oktober 1963, NSF, NIE Box 55, Indonesia, Lyndon B Johnson Library. “The Succession Problem in Indonesia”, DOS/INR Research Memo RFE-16, March 19, 1964, NSF CO Files Indonesia Vol.1 LBJL; Memo dari Templeton untuk Peck 19 Desember 1964, FO General Correspondence Files FO 371/15251, DH 1015/112, UKNA. Telegram 1642, dari Kedutaan Besar AS di Jakarta ke Kementerian Luar Negeri AS, 22 Februari 1965, NSF CO File Indonesia, Box 246, Vol III, LBJL; Memo dari James C Thomson ke McGeorge Bundy, 1 Maret 1965, James C Thomson Paper, Box 12, John F Kennedy Library. Telegram 1718, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kementerian Luar Negeri AS, 3 Maret 1965, PET INDON-US, NA. Kabel informasi CIA, OCI 13114, 17 Oktober 1965, NSF CO File, Indonesia, Vol. V, LBJL. Telegram 264 dari Penasehat Politik ke CinCFE Singapura, 5 Oktober 1965, FO 371-180313, UKNA. Telegram 868, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 5 Oktober 1965, POL 23-9 INDON, NA; Drew Cottle and Narim Najjarine, “The Department of External Affairs, the ABC and Reporting of Indonesia Crisis, 1965-1969, Australian Journal of Politics and History 49:1 (2003) hlm.48-60. Federspiel sebagaimana dikutip dalam Kathy Kadane, “Ex Agent say CIA compiled death list for indonesia”, States News Service, 19 May 1990. Telegram 1304, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 2 November 1965, NSF CO Files Indonesia, Vol. V, LBJL. Artikel "Peristiwa G30S 1965 Dan Keterlibatan Amerika Serikat" www.berdikarionline.com (8 MEI 2016) Penulis: Rudi Hartono , pengurus Komite Pimpinan Pusat – Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD); Pimred Berdikari Online. "There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings" Oleh Irma Garnesia dimuat di Indonesia at Melbourne pada 24 Juni 2018. Buku "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder" By Jess Melvin Artikel "G30S/Militer: Bagaimana Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965?" https://tirto.id (15 Agustus 2018)