Laman

Sabtu, 27 Oktober 2018

Apakah Prabowo Terlibat Dalam Penculikan Aktivis Tahun 1998 ?


Di tengah masyarakat, perdebatan ini juga tak kunjung selesai karena terlalu banyak informasi yang membuat masyarakat tidak dapat menilai dengan jelas. Tulisan ini mencoba menggabungkan berbagai temuan dariRingkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM, kesaksian keluarga korban, surat kabar, majalah, dan rekaman video. Temuan dibuat menjadi timeline agar runtutan kejadian lebih mudah dipahami dan dinilai untuk kemudian dapat menjawab 3 pertanyaan besar kita.
Hilangnya 23 Orang
Penghilangan paksa pada masa reformasi terjadi dalam 2 gelombang. Gelombang pertama terjadi antara Februari - Mei 1997, sementara gelombang kedua terjadi antara Februari - Mei 1998. Korban antara lain adalah aktivis, sopir salah satu aktivis, dan pemuda setempat yang sedang menonton kerusuhan. Para aktivis rata-rata tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dan Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD).
Penghilangan paksa gelombang pertama terjadi selama Februari - Mei 1997. Saat itu, 6 orang dinyatakan hilang dan seorang kakak dari aktivis turut dibawa paksa. Dari ke-6 orang hilang tersebut, 5 orang adalah aktivis dan 1 orang adalah sopir pribadi seorang aktivis.
Dari ke-5 aktivis, Deddy dan Noval diketahui bersama sebelum hilang secara misterius. 3 aktivis lainnya, Suyat, Sonny, dan Yani dibawa paksa oleh 10-20 orang berpakaian preman. Mereka ditutupi kepalanya, lalu dimasukkan mobil untuk dibawa ke suatu tempat. Kakak salah satu aktivis, Suyatno, juga didatangi rumahnya, dibawa paksa oleh aparat, untuk kemudian diinterogasi tentang keberadaan adiknya. Saat diinterogasi, Suyatno dipukul di bagian ulu hati dan disuntik sehingga pikirannya menjadi kacau walaupun akhirnya dilepaskan. Ke-6 orang yang dinyatakan hilang hingga sekarang masih belum kembali.
Pada 18 Januari 1998, terjadi sebuah ledakan bom di rusun Tanah Tinggi. Menurut Prabowo di Majalah Panji (No. 28 Th. III. 27 Oktober 1999), setelah ledakan bom tersebut ia menerima daftar nama aktivis yang harus diselidiki. Secara tidak langsung Prabowo juga menjawab pertanyaan wartawan bahwa ia mendapat daftar nama aktivis tersebut dari Soeharto. Aktivis dalam daftar tersebut dikabarkan akan melakukan aksi pemboman dan mengganggu Sidang Umum MPR sehingga perlu diamankan.
Pada gelombang ke-2 terjadi selama Februari - Mei 1998. 17 orang dinyatakan hilang. 14 orang adalah aktivis dan 3 orang adalah pemuda setempat yang sedang berada di tengah kerusuhan Jakarta. Dari ke-14 aktivis,, hanya 9 orang kembali, 5 orang masih belum kembali hingga sekarang, dan 1 ditemukan meninggal dunia dengan luka tembak. Dari 9 aktivis yang kembali, 3 dari mereka ternyata salah tangkap (tidak termasuk dalam daftar aktivis yang harus diselidiki) dan bertahun-tahun kemudian bergabung ke Partai Gerindra yang diketuai Prabowo.
Dari 9 aktivis yang sudah kembali, rata-rata mengaku dikejar, ditangkap, diborgol, ditodong senjata, dipukul, dan ditutupi kepalanya untuk kemudian dibawa paksa ke suatu tempat untuk diinterogasi. Mereka mengaku diinterogasi dengan cara dipukuli, dimasukkan bak mandi, dipaksa hanya memakai celana dalam, ditidurkan di atas balok es, disetrum, dan ada yang disekap di ruangan dengan musik kencang.
"Saya diculik bukan ditangkap secara legal. Dan mereka bisa berbuat apapun terhadap saya tanpa takut risiko," ungkap Pius Lutrilanang, salah satu korban penculikan. Sementara itu, 5 aktivis lainnya tidak diketahui bagaimana proses penjemputan atau penyiksaannya karena mereka belum kembali hingga sekarang. Saat berusaha mencari anaknya, orang tua Ucok Munandar Siahaan mengaku sempat diteror melalui telpon. Penelpon gelap itu berkata, "Kamu tidak usah mencari anakmu lagi! Awas kalau kamu cari lagi!” Bahkan, keluarga Ucok Munandar Siahaan mengaku diteror melalui telpon selama 1 tahun. Mereka akhirnya memilih mencabut sambungan telepon untuk menghindari teror lebih jauh.
Beberapa kesaksian korban yang sudah kembali juga menyebutkan bahwa ketika disekap, mereka juga sempat bertemu/mendengar suara korban yang masih hilang hingga sekarang. Seperti Faisol Reza dan Pius yang mengaku sempat bertemu/mendengar suara korban hilang bernama Herman Hendrawan. Juga Desmond Mahessa dan Pius yang dibawa paksa pada Februari 1998 mengaku sempat bertemu dengan Yani Afri yang hilang sejak Mei 1997. Kepada Pius, Yani mengatakan bahwa selama dalam penyekapan ia juga sempat bertemu dengan Dedy Hamdun. Dedy hilang sejak Mei 1997.
Pada 14 Mei 1998, terjadi kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta. Saat kerusuhan terjadi, saksi bernama Rudimelihat ada sekelompok orang berbaju hijau seperti tentara, datang dengan truk-truk besar, membawa pentungan, menyeret, dan mengangkut orang-orang naik ke truk. Orang-orang yang diangkut itu menutupi mukanya karena takut dipukul. Setelah kerusuhan terjadi, 3 pemuda dinyatakan hilang saat berada di beberapa kerusuhan di Jakarta.
Keempat orang tua korban sudah mencari anaknya di tempat kejadian maupun di kantor polisi, tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan anaknya, baik dalam keadaan hidup ataupun meninggal. Menurut saksi, Hendra Hambali sempat ditangkap tetapi langsung dilepaskan di tempat kerusuhan. Sementara Yadin Muhidin sempat ditangkap aparat karena namanya tertera pada daftar 400 orang yang ditangkap aparat pada 14 Mei 1998. Tetapi menurut petugas di kantor polisi, Yadin sudah dilepaskan. Walaupun begitu, keduanya tak pernah kembali.
Sama seperti keluarga Ucok Munandar Siahaan, setelah kehilangan anaknya, orang tua Hendra Hambali juga mengaku sempat diteror melalui telpon. Kali ini penelpon gelap berkata, "Jangan banyak melapor ke wartawan jika anakmu ingin selamat!"
Keterlibatan Prabowo
Setelah 9 aktivis dikembalikan, belakangan diketahui bahwa para pelaku penghilangan paksa tersebut terbentuk dalam sebuah tim bernama Tim Mawar dari ABRI. Tim ini di bawah komando Komandan Jendral (Danjen) Kopassus, Prabowo Subianto. Menurut Tim Ad Hoc Komnas HAM, hanya Panglima ABRI (Pangab) dan presiden yang dapat memberikan komando langsung kepada Danjen Kopassus. Pangab saat terjadinya penculikan gelombang pertama dan sebagian penculikan gelombang kedua adalah Faisal Tanjung dan Pangab saat terjadinya sebagian penculikan gelombang kedua adalah Wiranto. Sementara presiden saat itu adalah Soeharto.
Struktur Komando Tim Mawar Kopassus
Paska terjadinya kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan oleh 3 lembaga di bawah negara, yaitu Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dan Tim Ad Hoc Komnas HAM.
Hasil DKP merekomendasikan kepada Pangab agar Prabowo diberhentikan dari dinas aktif militer. “Beberapa tindakan-tindakan (Prabowo) yang tidak pantas dilakukan perwira tinggi. Itu semua direkomendasikan semua oleh DKP, salah satunya penculikan," kata salah satu anggota DKP, Agum Gumelar, di Metro TV.
Sementara itu, hasil rekomendasi TGPF menyebutkan Letjen Prabowo dan semua pihak harus dibawa ke pengadilan militer atas kasus penculikan.
Mirip dengan TGPF, Tim Ad Hoc Komnas HAM menyatakan bahwa terdapat 11 orang yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan; 10 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan prinsip komando; dan 6 orang yang patut dimintai pertanggung jawaban berdasarkan prinsip Joint Criminal Enterprise.
Walaupun Prabowo diberhentikan, ia tidak diadili di Mahkamah Militer. Hanya 11 orang anggota Tim Mawar yang diadili di Mahkamah Militer II dan mereka dijatuhi hukuman 12-22 bulan penjara. Aktivis HAM sekaligus pengacara para korban penghilangan paksa, Alm. Munir, berpendapat bahwa penculikan ini adalah upaya sistematis rezim untuk mempertahankan kekuasaan, namun yang dihukum masih individu-individu di lapangan saja:
"Tapi sebetulnya ini (11 anggota Kopassus Tim Mawar) hanya scapegoat, ini kambing hitam. Karena mereka hanya pelaku, operator di bawah. Bukan pengambil decision untuk melakukan penculikan. Dan lagi, mereka ini dilindungi untuk tidak bertanggung jawab terhadap mereka yang sampai saat ini masih hilang. Padahal bagian dari operasi penculikan yang sama. Jadi mereka hanya dihukum karena menahan orang, yang awalnya diculik kemudian udah dilepaskan. Ada 9 orang. Itu prosesnya. Disamping itu memang ada 2 orang jendral dan 1 orang kolonel yang dicopot jabatannya karena kasus-kasus penculikan ini. Letnan Jend. Prabowo itu Pangkostrad, Muchdi itu Danjen Kopassus, kemudian juga Kolonel Chairawan itu dari Komandan Grup 4 Kopassus. Tapi mereka hanya… Kalo Prabowo hanya dicopot jabatan dan pensiun dipercepat. Sementara 2 ini hanya dicopot jabatan tanpa prosesi hukum. Itu yang terjadi. Jadi boleh dikata dalam kasus penculikan ini, substansi pelaku itu belum terjangkau. Motif penculikan masih dilihat sebagai individu-individu. Bukan bagaimana rezim ini mempertahankan kekuasaan. Jadi kalopun dihukum ini bukan suatu proses hukuman yang benar. Cuma ini karena tekanan besar dari masyarakat sehingga harus diakomodasi sebatas yang mungkin oleh militer dianggap aman  bagi dirinya."
– Munir dalam film dokumenter “Batas Panggung”.
Status Hukum Prabowo
Menurut surat keputusan DKP yang telah beredar dan isinya dinyatakan valid, DKP menyarankan Prabowo dijatuhi hukuman administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan. Wakil Ketua DKP, Fachrul Razi, menyebutkan bahwa di dalam diskusi internal DKP sebenarnya keputusan untuk Prabowo adalah pemecatan. Akan tetapi karena dirasa tidak elok jika mantu presiden disebut “dipecat” maka disepakati untuk ditulis “diberhentikan” dari dinas keprajuritan.
Banyak yang menyebutkan bahwa Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan secara terhormat, namun banyak juga yang mengatakan pemberhentian itu secara tidak terhormat. Dalam konferensi pers pada 19 Juni 2014 oleh Wiranto terkait surat DKP, ia menjelaskan bahwa pemberhentian terhormat dilakukan jika seorang prajurit sakit sehingga tidak dapat kembali bekerja menjadi prajurit. Pemberhentian terhormat juga diberikan jika tentara memohon pengunduran diri dan disetujui Pangab. Sedangkan pemberhentian secara tidak terhormat dilakukan kepada prajurit yang terbukti melakukan sesuatu di luar kewenangan dan melanggar Sapta Marga maupun sumpah prajurit. Pada akhirnya Prabowo diberhentikan pada tahun 1998. Jika batas maksimal usia pensiun adalah 58 dan saat itu usia Prabowo adalah 47 tahun, maka ia diberhentikan 11 tahun sebelum usia pensiun.
Pada tahun 2005 - 2006, Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc untuk menyelidiki kasus ini. Dalam penyelidikannya, tim mengaku mengundang beberapa pihak untuk memberikan keterangan dan kesaksian. Tim juga sudah mencoba memanggil Prabowo namun ia mangkir. Dalam isi Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM bagian Kendala dan Hambatan, tim mengaku mengajukan surat pemanggilan paksa kepada Prabowo karena ia tidak juga hadir bersaksi. Namun Ketua Pengadilan Negri Jakarta Pusat saat itu menyatakan tidak bisa memenuhi surat pemanggilan paksa dengan alasan penyelidikan tersebut bersifat pro-justicia sehingga tidak relevan menggunakan pemanggilan secara paksa.
Hingga laporan penyelidikan itu selesai dibuat, Prabowo tak kunjung bersaksi. Pada tahun 2006, Tim Ad Hoc Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikannya dan melalui DPR menyerahkan berkas laporan penyelidikannya ke Kejaksaan Agung RI. Namun hingga kini Kejaksaan Agung belum juga menyetujui berkas tersebut masuk pengadilan.
***
Aparat Menangkap atau Menculik?
Keterangan saksi menunjukkan bahwa kejadian ini menyerupai penculikan. Korban didatangi di tempat dan waktu yang tidak wajar, ditarik, ditodong senjata, ditutup kepalanya, dan dibawa paksa ke suatu tempat. Mereka juga disiksa saat interogasi dan disekap selama lebih dari 1 hari. Bahkan kesaksian Faisol & Pius yang diculik pada tahun 1998 sempat bertemu dengan Yani Afri yang diculik pada tahun 1997, mengindikasikan bahwa Yani berada dalam penyekapan selama 1 tahun. Ini semua dilakukan tanpa memberi tahu keluarga atau orang terdekat korban.
Namun Prabowo berkata bahwa tindakannya tidak salah secara moral, karena ia berpendapat para aktivis akan melakukan teror di masyarakat. Jika memang para aktivis dituding akan melakukan teror, mengapa mereka pada akhirnya tidak dibawa ke pengadilan atas tuduhan teroris? Apakah tindakan aparat pantas disebut operasi intelijen sehingga dibutuhkan penculikan dan penyiksaan? Bukankah tindakan aparat adalah main hakim sendiri? Karena semua aktivis yang diculik dan disiksa sampai sekarang belum terbukti akan melakukan pemboman atau aksi radikal lainnya. Justru salah satu korban penculikan, Faisol Riza, mengatakan bahwa pihak militer lah yang menghembuskan isu tersebut.
Apakah Prabowo Terlibat?
Prabowo diindikasi terlibat penculikan 1998. Ini didukung temuan 3 lembaga di bawah negara yaitu DKP, TGPF, dan Tim Ad Hoc Komnas HAM. Anggota DKP, Agum Gumelar, mengatakan salah satu alasan rekomendasi DKP untuk memberhentikan Prabowo adalah karena kasus penculikan. Surat DKP juga menyatakan Prabowo terlibat dalam beberapa operasi khusus yang tidak sesuai kewenangannya serta tidak melaporkannya kepada Pangab. 
TGPF dan Komnas HAM juga memberi rekomendasi bahwa Prabowo dan semua pihak yang terlibat kasus penculikan agar diadili di pengadilan militer. Selain itu, walaupun Prabowo sudah mengakui keterlibatan timnya dalam penculikan 9 aktivis dan sudah dikembalikan, ia tidak begitu saja lepas dari perbuatan melanggar HAM. Karena unitnya telah melakukan operasi dengan penculikan dan penyiksaan.
Apakah Prabowo Mengundurkan Diri?
Pada tanggal 22 Mei 1998, Prabowo diberhentikan, bukan mengundurkan diri. Menurut Wiranto pemberhentian secara terhormat hanya diberikan jika seorang prajurit sakit atau mengundurkan diri. Maka dapat disimpulkan bahwa Prabowo diberhentikan secara tidak hormat. Bahkan awalnya DKP bermaksud untuk menyarankan agar Prabowo dipecat. Namun untuk menghormati posisinya sebagai menantu presiden Soeharto, maka dipakai istilah yang lebih halus yaitu “diberhentikan”. Ia diberhentikan 11 tahun sebelum masa pensiunnya.
Apakah Prabowo Sudah Diadili dan Dinyatakan Tidak Bersalah?
Walaupun Prabowo sudah diberhentikan sebelum masa pensiun, namun status hukum Prabowo terkait penculikan masih belum jelas hingga saat ini karena pengadilan belum dilaksanakan. Atas dasar laporan penyelidikan TGPF dan Tim Ad Hoc Komnas HAM, pada tahun 2006 DPR sudah mengajukan pengadilan HAM Ad Hoc terhadap Prabowo ke Jaksa Agung. Namun hingga saat ini, 8 tahun sejak 2006, pengadilan tersebut belum juga disetujui. Akibatnya belum ada keputusan status Prabowo bersalah atau tidak bersalah.
Dalam wawancara SCTV, Munir menegaskan pentingnya pengadilan terhadap semua yang diduga terlibat dalam kasus penculikan:
“...Prabowo sendiri itu juga butuh pengadilan, untuk membuktikan dia salah atau tidak.”
Munir, dalam wawancara di SCTV.
Selain itu, kesaksian Faisol Riza, Pius Lustrilanang, dan Desmond J. Mahesa yang mengaku pernah berinteraksi dengan beberapa korban yang masih hilang sejak 1997-1998, menunjukkan adanya hubungan antara korban hilang dengan operasi di bawah Tim Mawar Kopassus yang dikomandoi Prabowo. Jika kasus ini segera dibawa ke pengadilan, maka diharapkan penculikan sejak 1997 juga dapat terungkap.
Pendapat Saya
Apakah benar para aktivis mempunyai rencana melakukan pemboman atau akan mengganggu stabilitas nasional? Jika benar, mengapa mereka tidak dibawa ke pengadilan atas tuduhan terorisme? Bukti justru menunjukkan para aktivis aktif dalam upaya menggerakkan demokrasi di Indonesia. Mereka rata-rata tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan juga Partai Rakyat Demokratik (PRD). Bahkan 3 aktivis bersaksi bahwa mereka diculik setelah bersama-sama Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) menyatakan menolak Soeharto menjadi presiden kembali.
Menurut saya, para aktivis bukan dikhawatirkan meledakkan bom atau mengganggu stabilitas nasional, namun suaranya dikhawatirkan dapat menjatuhkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Para aktivis inilah yang berjuang untuk pesta demokrasi yang kita nikmati saat ini. Tetapi mereka justru diculik, disiksa, disekap, dibunuh, dan dihilangkan.
Dengan adanya indikasi keterlibatan dalam penculikan, maka sudah selayaknya Prabowo melalui proses pengadilan seperti yang diajukan DPR ke Jaksa Agung tahun 2006 lalu. Jika memang Prabowo memiliki itikad baik menyelesaikan kasus ini dan juga itikad untuk melepaskan tuduhan “penculik” terhadap dirinya, seharusnya Prabowo datang bersaksi saat Komnas HAM melakukan penyelidikan dan ikut mendesak Jaksa Agung agar pengadilan kasus ini segera disetujui. Namun ia tidak melakukan langkah berani dan tegas tersebut.
Padahal tujuan dilaksanakan pengadilan bukan hanya untuk mengadili Prabowo terkait penculikan aktivis, tetapi juga mengungkap dan mengadili semua pihak yang terlibat penculikan tersebut. Terungkapnya para pelaku penculikan melalui pengadilan akan memberikan kejelasan status hukum Prabowo dan juga menjatuhi hukuman kepada semua pihak yang terlibat. Pengadilan ini pun berpeluang membuka fakta keberadaan para korban yang hilang.
Selain menciptakan keadilan bagi para korban dan keluarga korban penculikan, proses peradilan ini juga menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena siapapun yang berlaku tidak adil di Indonesia, akan diadili dan jika bersalah akan dihukum tanpa pandang bulu.

Referensi:

Dian Paramita
http://www.dianparamita.com
21 Juni 2014