Tragedi Sabra dan Shatila - Tragedi Pembantaian yang dilakukan militan Kristen "Manorit" terhadap pengungsi Palestina tahun 1982
Pembantaian Sabra dan Shatila adalah pembantaian para pengungsi
Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada September tahun
1982, yang berlokasi di Beirut, Lebanon, yang saat itu dikuasai Israel.
Pembantaian ini dilakukan oleh para militan Kristen yang menamakan diri
mereka "Maronit" yang berasal Lebanon. Pasukan-pasukan Maronit tersebut
berada di bawah komando Elie Hobeika yang merupakan anggota parlemen
Lebanon, dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet
Lebanon.
Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp Sabra dan Shatila ini
dikepung oleh tentara-tentara Israel yang dikirim oleh Israel untuk
mencari anggota-anggota PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).
Sejauh mana Peran Israel dalam pembantaian ini banyak diperdebatkan. Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun hasil investigasi & temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab.
Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara
kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara
tetangga. Kelompok Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Falangis
dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan
Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi
fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Sementara itu,
fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah ,Iran dan
negara-negara lain di wilayah itu. Sejak tahun 1978 Israel telah
melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara
Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.
Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan
korban hingga ribuan orang. Pembantaian sebelumnya telah terjadi
beberapa kali dalam kurun waktu itu, termasuk Pembantaian Karantina
(Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina,
pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit
dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap
pengungsi-pengungsi Palestina. Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh
Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan
kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon
selama masa perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang.
Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan
Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang
dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama
bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin
bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra dan Shatila" menjadi biasa.
Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan
Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang.
PLO
(Organisasi Pembebasan Palestina) menggunakan Lebanon selatan sebagai
pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel.
Israel membalas mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya
pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni
menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini
dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah
saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran. Pada 6 Juni 1982,
Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan
Serangan ini mendapat kecaman dari Seluruh Dunia, terutama Dewan Keamanan PBB.
Dua bulan kemudian, di bawah suatu
kesepakatan gencatan senjata yang disponsori Oleh Negara Paman Sam yang
ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon
kepada Badan pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak
menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil
Palestina yang saat itu masih tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel (Tokoh yang sangat populer di
antara kaum Maronit) terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan
Nasional. Israel telah mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya
sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO.
Pada 1 September,
evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari kemudian, Israel
mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal
ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata,
tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara
pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin
keamanan para pengungsi Palestina yang tertinggal pada 11 September,
setelah penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS.
Hari
berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu,
mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini
dibantah oleh pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin
membawa Gemayel ke Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk
menandatangani perjanjian damai dengan Israel, ia pun menuntut
diterimanya kehadiran militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan
Mayor Saad Haddad (seorang pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel
untuk memindahkan para pejuang Palestina yang menurut Israel masih
bersembunyi di kamp-kamp pengungsi, termasuk Sabra dan Shatila.
Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang
dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan
Suriah, yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi
kepentingan-kepentingan dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon.
Selain itu, menurut sejumlah laporan saksi mata, ia secara pribadi
merasa tersinggung atas apa yang dilihatnya sebagai sikap yang sok dari
Begin atas dirinya. Ia menolak tuntutan-tuntutan Israel untuk
menandatangani perjanjian itu ataupun memberikan kuasa untuk
dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi.
Pada 14
September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang
menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim
menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon
mempersalahkan orang-orang Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan
kaum Falangis terhadap mereka.
Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut Barat, melukai 254 orang dan 88 orang korban tewas.
Israel melanggar perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut
Barat. AS pun telah memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin
perlindungan warga Muslim di Beirut Barat. Pendudukan Israel juga
melanggar perjanjian perdamaiannya dengan tentara-tentara Muslim di
Beirut dan dengan Suriah.
Menachem Begin membenarkan pendudukan
Israel sebagai "hal yang perlu untuk mencegah langkah-langkah balasan
oleh orang-orang Kristen terhadap orang Palestina" dan untuk "menjaga
keamanan dan kestabilan setelah pembunuhan Gemayel." Namun, beberapa
hari kemudian, Sharon mengatakan kepada Knesset, parlemen Israel:
"Masuknya kita ke Beirut Barat dimaksudkan untuk memerangi infrastruktur
yang ditinggalkan oleh para teroris."
Tentara Israel kemudian
melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel maupun warga sipil di
Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para milisi Falangis
Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap.
Ariel Sharon
kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon untuk memasuki
kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila dengan dalih untuk
membersihkannya dari para teroris. Di bawah rencana Israel,
tentara-tentara Israel akan mengontrol daerah sekeliling kamp-kamp
pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik sementara milisi
Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan
menyerahkannya kepada pasukan-pasukan Israel.
Namun,
Israel telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan melindungi kaum
sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan
di bawah hukum internasional), namun Israel tidak melakukan apa-apa
untuk melindungi warga sipil ketika
ia sadar bahwa pembantaian sedang berlangsung. Pada 4 Februari 1983,
Der Spiegel (sebuah majalah Jerman terkemuka) memuat sebuah wawancara
dengan salah seorang Falangis yang ikut serta dalam pembantaian itu.
Menurut orang ini, para pasukan Israel berperang bersama-sama kaum
falangis serta mengebomi kamp itu untuk menolong mereka mengatasi
perlawanan Palestina. Pada 1987, "Time" menerbitkan sebuah laporan yang
menyiratkan bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas
pembantaian-pembantaian itu. Sharon menuntutTime dengan tuduhan
pencemaran di pengadilan Amerika dan Israel. Timememenangi tuntutan itu
di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat membuktikan bahwa Time telah
"bertindak dengan maksud jahat," sebagaimana yang diharuskan di bawah
undang-undang pencemaran AS, meskipun para juri merasa bahwa artikel itu
keliru dan mencemarinya. Setelah terpilihnya Sharon pada tahun 2001
sebagai Perdana Menteri Israel, kaum keluarga para korban pembantaian
ini mengajukan tuntutan di Belgia dan menuduh bahwa ia secara pribadi
bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian itu, dengan menggunakan
undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat
dalam Genosida Rwanda.
Mahkamah Agung Belgia memutuskan pada 12 Februari
2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti Jenderal
Yaron dari israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan ini. Israel
mengklaim bahwa tuntutan ini dilakukan dengan alasan-alasan politis.
Sebuah kasus lain diajukan di Belgia yang menyatakan bahwa
Presiden George H. W. Bush dan Menteri Luar Negeri Colin Powell
bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan perang dalam Perang Irak
pertama. AS mempertanyakan yurisdiksi pengadilan Belgia untuk mengadili
kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan di tempat lain, dan meminta
sekutu-sekutu Eropanya untuk menekan Belgia serta mengancam untuk
memindahkan markas besar NATO dari Belgia. Selain itu sejumlah kasus
lainnya terhadap para pemimpin dunia, seperti Fidel Castro, Augusto
Pinochet, dan Yasser Arafat, juga diajukan di pengadilan Belgia, hingga
menimbulkan sejumlah masalah diplomatik.
Akhirnya Belgia mengamandemen
hukumnya dan menyatakan bahwa pengaduan-pengaduan hak asasi manusia
hanya bisa diajukan apabila korban atau tertuduhnya adalah warga Belgia
atau sudah lama menjadi penduduk negara itu pada waktu kejahatan yang
dituduhkan itu terjadi. Parlemen Belgia juga menjamin kekebalan
diplomatik bagi para pemimpin dunia dan pejabat pemerintahan lainnya
yang berkunjung ke negara itu.
Elie Hobeika, komandan Falangis pada
waktu pembantaian itu tidak pernah diadili dan ia memegang jawaban
menteri di pemerintahan Lebanon pada tahun 1990-an. Ia dibunuh dengan
sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002. Padahal saat itu ia
bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Ariel Sharon
Pada 24 September 2003, pengadilan tertinggi Belgia menolak pengaduan
kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan menyatakan bahwa pengaduan
itu tidak mempunyai basis hukum untuk dijadikan tuntutan.