Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa Ramadhan:
1. Makan dan minum dengan sengaja
Yang disebut makan dan minum sebagai pembatal puasa adalah yang sudah
makruf disebut makan dan minum yang dimasukkan adalah zat makanan ke dalam perut (lambung) dan dapat menguatkan tubuh (mengenyangkan)
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang
makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud
meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang
mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat
mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau
bercelak.”
Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah
dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan
dan minum.”
2. Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja)
sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun
apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri
artinya dalam keadaan dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama
tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri.
Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.
3. Mendapati haidh dan nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’
(sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas.
Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.”
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati
haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas
di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa
pada hari tersebut.”
4. Jima’ (bersetubuh) dengan sengaja
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya
secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan
haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di
kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui
haramnya, maka tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal
puasa berupa makan.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
5. Keluar mani (Ejakulasi) karena bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal
jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan
mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram
seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.”
Lalu beliau katakan
bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan
intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan
dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani
seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau
menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam
(mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak
berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’
(konsensus ulama).”
Al Baijuri menyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium
pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini
dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya
tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium
pasangannya".