Laman

Minggu, 05 Mei 2019

Hisab dan Rukyat Menentukan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha

Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah tak terlepas dari perbedaan metode penetuan awal bulan yang digunakan oleh pihak yang ber-ijtihad. Selama ini dikenal dua metode yang utama dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode rukyah dan metode hisab. Kedua metode ini sama-sama didasari interpretasi terhadap Alquran maupun hadis yang menjelaskan tentang tata cara memulai mengakhiri puasa.

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam
menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi).

Melalui observasi dan pengamatan langsung, maka ditetapkan tanggal 1 bulan baru keesokan harinya dan apabila bulan tidak tampak maka di-istikmal-kan (disempurnakan) 30 hari bulan yang sedang berjalan. ketika matahari terbenam, altitude (ketinggian) bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat; Kedua, jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan; Ketiga, ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

Hal ini didasarkan pada pengalaman astromonis seluruh dunia yang belum pernah dapat mengobservasi hilal jika belum memenuhi kriteria di atas dan tentunya dengan bukti yang otentik. Beberapa daerah lainnya di Indonesia, ketinggian hilal juga rendah, seperti Jakarta 0 derjat 28' 20", Surabaya 0 derajat 21' 50", Medan 0 derajat 06' 30"  bahkan untuk sebagian Indonesia bagian tengah dan timur piosisi hilal masih negatif atau di bawah ufuk, seperti Samarinda -0 derajat 0' 47", Gorontalo -0 derajat 01' 30", Ambon -0 derajat 01' 04" dan Jayapura -0 derajat 04' 31". Sampai saat ini, hilal yang dapat dilihat dan dibuktikan secara astronomis adalah pada ketinggian 2 derajat.

kedua metode tersebut tetap memakai Ilmu Hisab atau Ilmu Falak dalam prosesnya masing-masing. Hanya saja metode rukyah masih memakai pengamatan fisik sebagai final keputusan sedangkan metode hisab cukup dengan perhitungan ilmiah semata tanpa perlu lagi membuktikan dengan pengamatan fisik.


Pada masa Nabi Muhammad SAW dan beberapa tahun setelahnya, menentukan bulan baru sangat sederhana. Karena dalam kalender Hijriah perhitungan hari dimulai saat matahari tenggelam (waktu magrib), maka cukup menanti matahari terbenam di hari ke-29. Setelah itu, tinggal mencari kemunculan bulan sabit.

Jika ada—minimal—dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan bahwa malam itu sudah masuk tanggal 1. Sebaliknya, jika saat itu hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam bulan tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari.

Penanggalan Hijriah berdasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan terhadap bumi). Setiap bulan diawali dengan kemunculan hilal yaitu bulan sabit muda pertama (the first visible crescent) di kaki langit saat ghurub (terbenamnya matahari) dan juga diakhiri dengan dengan kemunculan hilal.

Disebabkan karena bulan membutuhkan waktu mengitari bumi selama 29,531 hari atau hampir 29,5 hari, maka itulah kenapa pilihan yang tersisa hanya tinggal dua untuk durasi hari dalam satu bulan. Kalau tidak 29 hari berarti 30 hari. Tinggal kecenderungan mana yang lebih berat pada jelang matahari terbenam di hari ke-29.

Hal ini terjadi karena dari hari ke hari penampakan bulan akan berubah jika dilihat dari bumi. Letak perubahan yang mengakibatkan “wajah bulan” juga akan mengalami perubahan. Semakin menjauh dari matahari, maka cahaya bulan akan semakin luas. Perubahan inilah yang kemudian jadi tanda, bahwa bulan sabit adalah awal/akhir bulan (antara tanggal 29, 30, atau 1) dan purnama adalah tepat di hari tengah-tengah bulan (sekitar tanggal 15).

Dari pembacaan fase wajah bulan itu kemudian lahirlah metode yang kemudian kita kenal sebagai metode “rukyatulhilal”. Berasal dari kata rukyat yang secara etimologis berarti “melihat”. Sedangkan hilal merupakan bulan yang berbentuk sabit/celurit yang tipis. Rukyatulhilal berarti upaya untuk melihat secara langsung bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik maupun dengan mata telanjang (Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, hal. 193)

Persoalannya, melihat hilal sangat sulit. Hal ini disebabkan karena hanya sekitar 1,25% bagian dari permukaan bulan saja yang terkena paparan sinar matahari. Hal ini membuat penampakan bulan dari bumi hanya seperti garis lengkung tipis saja.

Terlebih, kondisi saat hilal akan terlihat adalah ketika langit masih dalam keadaan terang di waktu magrib. Kadang-kadang cahaya bulan akan kalah dengan berkas cahaya matahari, sehingga membuat hilal terlihat samar. Atau, jika tidak, malah langit dalam keadaan mendung.

Disisi lain, hilal juga muncul sebentar saja. Sekitar 15 menit sampai 1 jam sebelum akhirnya ikut tenggelam juga bersama matahari karena gerak rotasi bumi lebih cepat daripada gerak revolusi bulan.

Jika dilihat dari bumi di ufuk barat, posisi matahari, hilal, dan cakrawala akan membentuk sudut segitiga. Horison (garis pertemuan langit dan bumi) sebagai garis di bawah, hilal sebagai titik di sudut atas, dan matahari sebagai titik sudut bawah. Jarak antara bulan dan horison disebut sebagai sudut azimut.  Sedangkan garis antara bulan ke matahari ini disebut sudut elongasi.

Untuk terlihat, hilal paling tidak harus berada di sudut azimut lebih 2 derajat dari matahari. Kasarnya, bulan harus ada di atas matahari. Jika kurang dari itu maka (dari bumi) bulan akan terlihat sejajar dengan matahari, dan itu akan membuat hilal keburu ikut tenggelam saat langit mulai sedikit gelap.


Posisi ini dinamakan ijtimak. Posisi yang jika dilihat dari luar angkasa, bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus. Karena berada dalam garis lurus, bulan tidak akan bisa terlihat dari bumi karena terlalu dekat dengan matahari. Untuk mencapai sudut azimut 2 derajat, paling tidak diperlukan waktu 8 jam bulan beredar selepas ijtimak terjadi.

Selain sudut azimut, sudut elongasi juga punya batas minimal agar bisa dilihat. Sudut yang menggambarkan jarak antara matahari dan bulan dari bumi. Kasarnya, jika sudut azimut adalah posisi bulan di atas matahari, maka sudut elongasi adalah posisi bulan di arah kiri/kanan matahari. Artinya, semakin lebar sudutnya, maka hilal akan semakin mudah dilihat. Sebaliknya, semakin kecil sudutnya, maka akan semakin sulit juga hilal bisa dilihat.

Jarak ideal mata telanjang bisa melihat hilal adalah 7 derajat. Kurang dari itu maka diperlukan alat bantu teleskop. Batas penggunaan alat ini pun ada batasnya pada sudut 3 derajat. Kurang dari itu hilal tidak akan terlihat karena terlalu dekat dengan matahari.

Karena rukyatulhilal memiliki banyak keterbatasan maka berkembanglah metode hisab. Metode yang bermakna menghitung (‘ adda), kalkukasi (akhsha ), dan mengukur ( qaddara ). Hisab berarti menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan untuk menentukan awal bulan—khusus—seperti Ramadan.

Perhitungan hisab yang dilakukan para ahli falak (astronomi) dipandang cukup dan punya akurasi yang presisi. Karena alasan ini, tidak sedikit ulama kontemporer yang menggunakan metode ini. Meskipun di sisi lain ada juga beberapa ulama yang menganggap bahwa penggunaan hisab secara murni (dalam kasus penentuan bulan Ramadan) juga dinilai sebagai bidah. Kecuali juga dibarengi dengan metode rukyah.

Secara sederhana perbedaan ini terletak pada konsep wujudulhilal (keberadaan hilal) bagi golongan yang menggunakan metode hisab murni. Artinya, tafsir soal “melihat hilal” dipahami sebagai melihat tidak harus dengan mata kepala tetapi juga bisa menggunakan ilmu. Dengan hisab, posisi hilal akan bisa diprediksi ada "di sana” sekalipun wujudnya tidak terlihat. Barangnya ada, tapi tidak terlihat.

Sedangkan konsep rukyatulhilal (melihat hilal) mendorong keterlihatan hilal dengan mata kepala langsung. Itulah yang kemudian perhitungan sudut azimut dan elongasi punya peran penting dalam penentuan awal/akhir puasa Ramadan. Artinya, sekalipun wujud hilal ada, jika ia tidak bisa dilihat oleh manusia, maka itu tidak akan berarti sama sekali. Meskipun harus diakui juga, metode kuno ini punya serangkaian kelemahan.

Dua metode ini adalah gambaran, bahwa dengan metode hisab, para ulama mencoba menggunakan pendekatan rasional. Melihat pola, membacanya, lalu menyusun prediksi-prediksinya. Semua dilakukan dalam rumus-rumus. Sedangkan metode rukyat merupakan pendekatan empirik. Bagaimana pengalaman menyaksikan tanda-tanda alam adalah penentu sebuah hukum syariat berlaku.

Pada akhirnya, seperti yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia menggabungkan dua metode ini secara bersamaan. Pendekatan rasional dengan hisab dan pendekatan empirik dengan rukyat. Metode hisab digunakan untuk menghitung kemungkinan wujud hilal dan posisinya, lalu dengan metode rukyat dikonfirmasi keberadaan hilal. Jika dalam konfirmasi ini hilal tidak terlihat, maka sesuai hadis yang digunakan dasar para perukyat, “jika tertutup (tidak terlihat), maka genapkanlah”—bahkan sekalipun hilal memang benar-benar ada di sana.

Sidang Isbat

Di Indonesia, sidang isbat sering dikaitkan dengan penetapan datangnya bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha , selain juga isbat nikah.

Sidang isbat (secara harfiah isbat berarti penyungguhan, penetapan, dan penentuan)  adalah sidang penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi.  Sidang isbat juga bisa dilakukan dengan kedatangan sang penuntut yang meminta haknya atau mencegah terjadinya penolakan terhadap hak tersebut. Jika tuntutannya dipenuhi oleh hakim sesuai dengan ketetapan syar'i, maka hakim mencegah penolakan terhadap haknya dan mengabulkan tuntutannya. Dalam kondisi ini, seorang penuntut diwajibkan memberikan bukti tuntutannya, sementara tergugat harus mengucapkan sumpah jika ingin menolak tuntutan.

Sidang isbat Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha diselenggarakan oleh pemerintah sejak tahun 1950 dengan tujuan menetapkan hari pertama Bulan Ramadhan, Syawal, dan tanggal 10 Dzulhijjah. Pada awal penyelenggaraannya, sidang ini hanya sederhana dengan didasarkan fatwa para ulama bahwa negara punya hak untuk menentukan datangnya hari-hari tersebut. Kemudian mulai tahun 1972, Badan Hisab Rukyat (BHR) mulai dibentuk di bawah Kementerian Agama. Di dalamnya terdapat para ahli, ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberikan informasi, memberikan data kepada Menteri Agama tentang awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Sidang ini diadakan satu hari sebelum hari yang diperkirakan sebagai awal bulan yang dimaksud. Dalam sidang ini, dihadirkan berbagai ulama, tokoh, dan organisasi masyarakat di Indonesia. Dan pada tahun 2013, juga direncanakan hadirnya perwakilan negara lain yang akan menjadi saksi dan memberi pandangan mengenai penentuan tanggal penting ini.

Sidang akan diawali dengan pemaparan mengenai posisi hilal atau bulan pada petang hari di sejumlah daerah oleh anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI dari Planetarium. Kemudian berbagai perwakilan Ormas dan Ulama yang menggunakan berbagai metode dalam menentukan datangnya hari suci akan bermusyawarah untuk menentukan dengan kesepakatan bersama.

Pemerintah mengumumkannya sebagai sebuah keputusan yang disahkan negara. Namun Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama sendiri mengakui bahwa keputusan ini tidaklah mengikat, sehingga setelahnya bisa saja pihak tertentu tetap meyakini tanggal yang berbeda.


Referensi:

Penentuan Awal Ramadhan, Mengapa Beda?
Serambi News.com

Memahami Rukyat dan Hisab untuk Menentukan 1 Ramadan
Tirto.id

Sidang Isbat
Wikipedia Org