Dunia sejak lama telah dipenuhi dengan ucapan kebohongan bahwa Iran berencana memproduksi senjata nuklir. Kebohongan ini sengaja disebarkan ketika terungapnya rahasia Israel, yang memiliki sedikitnya 200 hulu ledak nuklir.
Ketika George W. Bush, presiden Amerika saat itu sukses mempengaruhi opini publik dunia dan semua pihak menerima bahwa senjata pemusnah massal di Irak menjadi ancaman bagi umat manusia, sangat sedikit yang membayangkan bahwa kebohongan akan menjadi instrumen untuk meraih ambisi busuk. Dan dampak dari kebohongan ini adalah agresi ke Irak, serupa dengan yang dia lakukan saat menyerang Afganistan pasca peristiwa 9/11 dengan dalih memberantas terorisme.
Namun meraka gagal melakukannya di Suriah. Upaya untuk mengadu domba sunni-syiah dengan memasok & mempersenjatai ISIS. Kegagalan mereka akibat pemerintah suriah yang mendapat bantuan Russia menghabisi ISIS.
Kebohongan ini merupakan penghinaan terhadap perasaan dan kesadaran masyarakat internasional serta tiba saatnya diakhiri.
Israel sudah lama memiliki senjata pemusnah massal, yang dilaporkan telah dikembangkan mulai tahun 1948-1949. Israel disebut memiliki 400 hulu ledak nuklir di gudang senjatanya.
Negara yang dipimpin Perdana Menteri Israel, Netanyahu ini tidak pernah bersedia mengonfirmasi laporan tentang program senjata nuklirnya.
Namun, fakta bahwa Mordechai Vanunu, mantan pekerja di reaktor nuklir Dimona Israel, pernah membocorkan program nuklir Tel Aviv pada tahun 1986. Sejak itu, Tel Aviv mempertahankan kebijakan "ambiguitas nuklir"—tidak pernah menyangkal atau pun mengakui memiliki senjata nuklir.
Israel Bohong soal Senjata Nuklir
Pada 1950-an dan 1960-an, pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri David Ben-Gurion dilaporkan berbohong pada Amerika Serikat dan menghalangi permintaan Washington untuk memberikan informasi tentang pengembangan senjata.
Tel Aviv menolak untuk menerima kunjungan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Pemerintah Ben-Gurion saat itu menyembunyikan sebuah kebenaran dari inspektur nuklir Amerika tentang reaktor Dimona dengan klaim hanya situs "pabrik tekstil" dan "instalasi penelitian metalurgi".
"Saya tidak tahu ada bangsa lain, yang tetangganya menyatakan bahwa mereka ingin menghentikannya, dan tidak hanya menyatakan, tetapi mempersiapkannya dengan segala cara yang tersedia bagi mereka. Kita tidak harus memiliki ilusi bahwa apa yang dinyatakan setiap hari di Kairo, Damaskus, Irak hanyalah kata-kata. Ini adalah pemikiran yang membimbing para pemimpin Arab," kata Ben-Gurion setelah pengunduran dirinya sebagai perdana menteri kala itu.
Jumlah Senjata Nuklir
Ada banyak spekulasi tentang kepemilikan senjata nuklir Israel, tapi tak ada yang benar-benar tahu secara pasti seberapa besar stok persenjataan tersebut. Pada tahun 2008, mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter memperkirakan bahwa Israel memiliki setidaknya 150 senjata atom di gudang senjatanya.
“AS memiliki lebih dari 12.000 senjata nuklir; Uni Soviet (Rusia) hampir sama; Inggris dan Prancis memiliki beberapa ratus, dan Israel memiliki 150 atau lebih," kata Carter.
Pada tahun 2014, Carter mempertimbangkan kembali perkiraannya. "Israel memiliki 300 atau lebih, tidak ada yang tahu persis berapa banyak," katanya mengacu pada jumlah stok senjata nuklir Israel.
Dalam pesan email pribadi, yang ditulis beberapa bulan sebelum kesepakatan nuklir Iran 2015 ditandatangani, dan bocor pada September 2016, mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell mengungkap jumlah sebenarnya hulu ledak nuklir Israel pada saat itu.
"Anak-anak di Teheran tahu Israel memiliki 200, semua ditargetkan di Teheran, dan kami memiliki ribuan," bunyi bocoran email Powell.
Selama pembicaraan program nuklir antara Iran dengan enam negara kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China), Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan kepada wartawan di PBB bahwa Israel memiliki sekitar 400 hulu ledak nuklir.
Bahkan Amerika Serikat telah menentang program senjata nuklir Israel dari masa pemerintahan John F. Kennedy dan, pada tingkat yang lebih rendah, pemerintahan Lyndon B. Johnson. Salah satu bagian dari sejarah yang kurang dikenal adalah bahwa sebagian besar dana untuk program senjata nuklir Israel berasal dari perusahaan swasta Amerika yang dipelopori oleh, Abraham Feinberg, seorang warga negara Amerika terkemuka yang menjabat sebagai penasehat tidak resmi untuk Presiden Kennedy dan Presiden Johnson.
Ketertarikan Israel pada senjata nuklir pada dasarnya berasal dari penciptaan negara Yahudi di tahun 1948. Pendiri negara itu, David Ben-Gurion, dihantui oleh Holocaust dan permusuhan tak henti-hentinya yang dihadapi Israel dari tetangga-tetangga Arabnya yang jauh lebih besar. Ben-Gurion memandang senjata nuklir sebagai pilihan terakhir untuk menjamin kelangsungan hidup negara Yahudi jika musuh-musuhnya menggunakan populasi mereka yang jauh lebih besar dan ekonominya untuk membangun militer yang superior secara konvensional
.
Masalahnya bagi Ben-Gurion dan penasihat terdekatnya adalah, mereka negara muda, miskin, dan relatif tidak canggih karena tidak memiliki sumber daya teknologi dan material yang diperlukan untuk mendukung program senjata nuklir mereka sendiri. Harapan terbaik Israel untuk memperoleh senjata nuklir adalah dengan mencari pelindung asing. Untungnya bagi Israel, keadaan kontemporer telah menciptakan kondisi untuk memperoleh dukungan ini.
Secara khusus, selama pertengahan tahun 1950-an kendali Prancis atas Aljazair—yang dianggap sebagai bagian dari Prancis dan bukan hanya sebagai salah satu wilayah koloni—semakin diperebutkan oleh pemberontak domestik yang menerima dukungan substansial dari pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser. Prancis menanggapi dengan meminta bantuan Israel, menyediakan intelijen untuk melaporkan situasi Aljazair dengan imbalan senjata konvensional Prancis.
Kesempatan ini berubah menjadi kerjasama nuklir pada tahun 1956 ketika Prancis meminta Israel untuk menyediakan intelijen untuk Prancis dan Inggris dengan dalih untuk campur tangan secara militer dalam krisis Terusan Suez.
Ben-Gurion sangat ragu untuk melibatkan Israel dalam skema ini. Ini teratasi ketika Prancis setuju untuk memberikan Israel reaktor riset kecil yang mirip dengan reaktor EL-3 yang dibangun Prancis di Saclay. Tentu saja, invasi Suez dengan cepat menjadi kacau setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet mengancam Israel, Prancis dan Inggris dengan cara yang berbeda membuat mereka mundur.
Prancis tidak dapat melindungi Israel dari ancaman negara-negara adikuasa. Sebelum setuju untuk mundur, Israel menuntut agar Prancis meningkatkan kerjasama nuklir. Prancis setuju untuk memberikan Israel reaktor penghasil plutonium yang lebih besar di Dimana, uranium alam untuk bahan bakar reaktor, dan pabrik pemrosesan ulang—kurang lebih semua yang Israel perlukan untuk menggunakan pabrik itu untuk memproduksi plutonium untuk membuat bom, hanya kurang air berat.
Ini adalah sebuah kudeta besar—belum pernah ada negara yang memberikan negara lain begitu banyak teknologi yang dibutuhkan untuk membangun bom nuklir. Namun, itu belum semuanya.
Ben-Gurion masih harus mendapat dana yang diperlukan untuk membayar kesepakatan nuklir untuk Prancis. Berapa biaya untuk membangun fasilitas nuklir di Dimona tidak diketahui, tetapi Israel kemungkinan membayar Prancis setidaknya $80 juta hingga $100 juta dolar pada tahun 1960. Itu adalah jumlah yang besar untuk Israel pada saat itu. Lebih lanjut lagi, Ben-Gurion khawatir jika dia mengalihkan dana pertahanan untuk proyek nuklirnya, itu akan memicu oposisi dari militer, yang sedang bersusah payah mengerahkan pasukan konvensionalnya untuk mengalahkan musuh Arab Israel.
Perdana menteri Israel tersebut memutuskan untuk membuat dana pribadi untuk membiayai kesepakatannya dengan Prancis. Seperti yang didokumentasikan oleh Michael Karpin dalam sejarah program nuklir Israel, The Bomb in the Basement , Ben-Gurion mengarahkan stafnya hanya untuk “memanggil Abe,” mengacu pada Abe Feinberg.
Feinberg adalah seorang pengusaha terkemuka di New York, filantropis dan pemimpin Yahudi Amerika yang berhubungan dekat dengan Partai Demokrat. Sebelum Amerika memasuki Perang Dunia II, Feinberg telah mengumpulkan uang untuk membantu orang Yahudi Eropa beremigrasi ke Palestina.
Setelah perang berakhir, dia—seperti Ben-Gurion—pergi ke Eropa untuk melihat kamp konsentrasi Holocaust. Dia juga membantu menyelundupkan orang-orang yang selamat dari Holocaust ke Palestina saat Inggris membuat blokade untuk mencegah imigrasi Yahudi ilegal.
Dalam waktu itu, ia menjalin ikatan abadi dengan beberapa orang yang kemudian menjadi pemimpin senior negara Israel. Setelah kembali ke Amerika Serikat, dia membantu melobi Presiden Harry Truman untuk mengakui negara Yahudi itu, setelah mereka mendeklarasikan kemerdekaannya. Sebagai gantinya, Feinberg membantu mengumpulkan uang untuk kampanye pemilihan kembali Truman.
Dengan demikian, wajar bahwa pada bulan Oktober 1958 Ben-Gurion meminta bantuan Feinberg untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk kesepakatan Dimona. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Ben-Gurion meminta bantuan ke para pemimpin Yahudi Amerika untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi tujuan Israel.
Merasa akan segera muncul perang kemerdekaan, Ben-Gurion pergi ke New York pada tahun 1945, mengumpulkan dana untuk membeli senjata bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Misi ini sukses. Menurut Karpin: “Dalam makalah rahasia proses penciptaan negara, ada tujuh belas jutawan Amerika yang diberi kode nama ‘Institut Sonneborn,” berdasarkan tuan rumah mereka.
Di tahun-tahun selanjutnya, anggotanya menyumbang jutaan dolar untuk membeli amunisi, mesin, peralatan rumah sakit dan obat-obatan, dan kapal untuk membawa para pengungsi” ke Palestina.
Feinberg adalah salah satu dari tujuh belas jutawan dari Institut Sonneborn. Pada tahun 1958, Feinberg bersama dengan anggota dari Sonneborn Institute, serta para pemimpin Yahudi lainnya di Amerika Utara dan Eropa, mengumpulkan uang untuk proyek nuklir Dimona setelah banding Ben-Gurion pada tahun 1958.
Dia berhasil: sekali lagi, menurut Karpin, “Kampanye penggalangan dana rahasia dimulai pada akhir tahun 1958, dan berlanjut selama dua tahun. Sekitar dua puluh lima jutawan berkontribusi total sekitar $40 juta dolar.”
Seberapa penting misi Feinberg untuk keberhasilan proyek nuklir Israel? Menurut Karpin:
Jika Ben-Gurion tidak yakin bahwa Feinberg bisa mendapatkan dana dari kaum Yahudi di seluruh dunia yang diperlukan untuk proyek itu, dia tidak akan mungkin melakukan kesepakatan dengan Prancis. Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an tidak akan pernah bisa mampu untuk membeli teknologi canggih, mendirikan reaktor Dimona, dan membangun penangkal nuklir dari sumber dayanya sendiri.
Ini bukan akhir keterlibatan Feinberg dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Israel. Bahkan, setelah Partai Demokrat merebut kembali Gedung Putih pada pemilu tahun 1960, Feinberg menjadi penasihat tidak resmi untuk John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson.
Contohnya, pada tahun 1961 Feinberg memimpin upaya untuk membujuk Ben-Gurion agar mengizinkan inspeksi Amerika terhadap reaktor Dimona.
Uji Coba Senjata Nuklir Rahasia Israel
Para ilmuwan meyakini ledakan misterius disertai kilatan cahaya di Samudra Hindia selatan pada 23 September 1979 adalah uji coba senjata nuklir Israel secara rahasia. Para ilmuwan meyakini insiden misterius di Samudra Hindia selatan pada 23 September 1979 adalah tes senjata nuklir secara rahasia oleh Israel. Klaim ini dikuatkan bukti adanya isotop radioaktif pada domba-domba di Australia.
Temuan itu diterbitkan dalam studi baru untuk Science and Global Security. Sekitar 39 tahun silam, ledakan misterius disertai pancaran cahaya terjadi di Samudra Hindia selatan. Insiden misterius yang terdeteksi satelit Vela 6911 Amerika Serikat (AS) terjadi pada pukul 12.53 GMT. Lokasinya berada di dekat Kepulauan Prince Edward sekitar separuh jalan antara Afrika dan Antartika. Kejadian misterius itu dikenal dengan sebutan "Insiden Vela".
Penasihat untuk Presiden Jimmy Carter saat itu bergegas untuk memberikan briefing kepadanya tentang insiden itu.Carter dalam momoarnya menulis, para pejabat keamanan AS berspekulasi bahwa peristiwa itu adalah uji coba senjata nuklir Israel yang dilakukan bekerjasama dengan rezim apartheid Afrika Selatan. Namun, panel pemerintah AS yang bersidang untuk mempelajari masalah ini menghasilkan temuan samar-samar yang meremehkan kemungkinan bahwa insiden itu sebagai ledakan nuklir.
Israel, yang terkenal menutup rapat kepemilikannya atas senjata nuklir, dengan gigih menolak untuk mengonfirmasi atau menyangkal apakah negara itu mengembangkan program senjata nuklir atau tidak.
Sekarang, studi baru oleh Christopher Wright dari Australian Defence Force Academy dan pensiunan ahli fisika nuklir dari Lembaga Pertahanan Swedia Lars-Erik De Geer, menawarkan petunjuk baru.
Para peneliti mengungkap temuan yodium-131 dalam tiroid domba Australia pada bulan Oktober dan November 1979. Tiroid itu dikirim ke AS untuk analisis pada saat itu, tetapi hasilnya tidak pernah dipublikasikan.
"Tingkat isotop akan konsisten dengan mereka yang merumput di jalur potensial kejatuhan radioaktif dari uji coba nuklir rendah 22 September di Samudra Hindia selatan," tulis para ilmuwan dalam laporannya. Temuan lain berupa analisis pola cuaca yang menunjukkan gejolak kejatuhan dari ledakan nuklir yang berulang di beberapa bagian wilayah Australia.
Selain itu, studi ini menganalisis deskripsi yang tidak diklasifikasikan dari gelombang suara bawah laut yang terdeteksi oleh pos pendengar AS yang berkorelasi dengan flash ganda di dekat Kepulauan Prince Edward, yang tidak berpenghuni kecuali untuk stasiun penelitian pemerintah Afrika Selatan.
Leonard Weiss dalam tulisannya di Bulletin of the Atomic Scientists , menyatakan studi baru menghilangkan hampir semua keraguan bahwa flash itu adalah ledakan nuklir.
"Ini memperkuat analisis sebelumnya yang menyimpulkan bahwa Israel kemungkinan melakukan uji coba nuklir yang melanggar hukum AS dan Perjanjian Larangan Uji Coba Terbatas (Limited Test Ban Treaty)," lanjut Weiss yang merupakan ahli nonproliferasi nuklir.
"Israel adalah satu-satunya negara yang memiliki kemampuan teknis dan motivasi kebijakan untuk melakukan uji klandestin, yang menurut beberapa sumber, adalah yang terakhir dari beberapa (uji coba) dan terdeteksi oleh satelit Vela karena perubahan tiba-tiba dalam tutupan awan," imbuh tulisan Weiss.
Referensi:
3 Hal yang Perlu Diketahui soal Program Senjata Nuklir Israel - Sindo News
Sejarah Senjata Nuklir Israel yang Tak Pernah Diakui- Matamatapolitik.com
Kolaborasi Kebohongan Israel dan AS Anti Iran - parstoday.com/id
Insiden Vela Diyakini Tes Senjata Nuklir Israel di Samudra Hindia - Sindo News
Ketika George W. Bush, presiden Amerika saat itu sukses mempengaruhi opini publik dunia dan semua pihak menerima bahwa senjata pemusnah massal di Irak menjadi ancaman bagi umat manusia, sangat sedikit yang membayangkan bahwa kebohongan akan menjadi instrumen untuk meraih ambisi busuk. Dan dampak dari kebohongan ini adalah agresi ke Irak, serupa dengan yang dia lakukan saat menyerang Afganistan pasca peristiwa 9/11 dengan dalih memberantas terorisme.
Namun meraka gagal melakukannya di Suriah. Upaya untuk mengadu domba sunni-syiah dengan memasok & mempersenjatai ISIS. Kegagalan mereka akibat pemerintah suriah yang mendapat bantuan Russia menghabisi ISIS.
Kebohongan ini merupakan penghinaan terhadap perasaan dan kesadaran masyarakat internasional serta tiba saatnya diakhiri.
Israel sudah lama memiliki senjata pemusnah massal, yang dilaporkan telah dikembangkan mulai tahun 1948-1949. Israel disebut memiliki 400 hulu ledak nuklir di gudang senjatanya.
Negara yang dipimpin Perdana Menteri Israel, Netanyahu ini tidak pernah bersedia mengonfirmasi laporan tentang program senjata nuklirnya.
Namun, fakta bahwa Mordechai Vanunu, mantan pekerja di reaktor nuklir Dimona Israel, pernah membocorkan program nuklir Tel Aviv pada tahun 1986. Sejak itu, Tel Aviv mempertahankan kebijakan "ambiguitas nuklir"—tidak pernah menyangkal atau pun mengakui memiliki senjata nuklir.
Israel Bohong soal Senjata Nuklir
Pada 1950-an dan 1960-an, pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri David Ben-Gurion dilaporkan berbohong pada Amerika Serikat dan menghalangi permintaan Washington untuk memberikan informasi tentang pengembangan senjata.
Tel Aviv menolak untuk menerima kunjungan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Pemerintah Ben-Gurion saat itu menyembunyikan sebuah kebenaran dari inspektur nuklir Amerika tentang reaktor Dimona dengan klaim hanya situs "pabrik tekstil" dan "instalasi penelitian metalurgi".
"Saya tidak tahu ada bangsa lain, yang tetangganya menyatakan bahwa mereka ingin menghentikannya, dan tidak hanya menyatakan, tetapi mempersiapkannya dengan segala cara yang tersedia bagi mereka. Kita tidak harus memiliki ilusi bahwa apa yang dinyatakan setiap hari di Kairo, Damaskus, Irak hanyalah kata-kata. Ini adalah pemikiran yang membimbing para pemimpin Arab," kata Ben-Gurion setelah pengunduran dirinya sebagai perdana menteri kala itu.
Jumlah Senjata Nuklir
Ada banyak spekulasi tentang kepemilikan senjata nuklir Israel, tapi tak ada yang benar-benar tahu secara pasti seberapa besar stok persenjataan tersebut. Pada tahun 2008, mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter memperkirakan bahwa Israel memiliki setidaknya 150 senjata atom di gudang senjatanya.
“AS memiliki lebih dari 12.000 senjata nuklir; Uni Soviet (Rusia) hampir sama; Inggris dan Prancis memiliki beberapa ratus, dan Israel memiliki 150 atau lebih," kata Carter.
Pada tahun 2014, Carter mempertimbangkan kembali perkiraannya. "Israel memiliki 300 atau lebih, tidak ada yang tahu persis berapa banyak," katanya mengacu pada jumlah stok senjata nuklir Israel.
Dalam pesan email pribadi, yang ditulis beberapa bulan sebelum kesepakatan nuklir Iran 2015 ditandatangani, dan bocor pada September 2016, mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell mengungkap jumlah sebenarnya hulu ledak nuklir Israel pada saat itu.
"Anak-anak di Teheran tahu Israel memiliki 200, semua ditargetkan di Teheran, dan kami memiliki ribuan," bunyi bocoran email Powell.
Selama pembicaraan program nuklir antara Iran dengan enam negara kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China), Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan kepada wartawan di PBB bahwa Israel memiliki sekitar 400 hulu ledak nuklir.
Bahkan Amerika Serikat telah menentang program senjata nuklir Israel dari masa pemerintahan John F. Kennedy dan, pada tingkat yang lebih rendah, pemerintahan Lyndon B. Johnson. Salah satu bagian dari sejarah yang kurang dikenal adalah bahwa sebagian besar dana untuk program senjata nuklir Israel berasal dari perusahaan swasta Amerika yang dipelopori oleh, Abraham Feinberg, seorang warga negara Amerika terkemuka yang menjabat sebagai penasehat tidak resmi untuk Presiden Kennedy dan Presiden Johnson.
Ketertarikan Israel pada senjata nuklir pada dasarnya berasal dari penciptaan negara Yahudi di tahun 1948. Pendiri negara itu, David Ben-Gurion, dihantui oleh Holocaust dan permusuhan tak henti-hentinya yang dihadapi Israel dari tetangga-tetangga Arabnya yang jauh lebih besar. Ben-Gurion memandang senjata nuklir sebagai pilihan terakhir untuk menjamin kelangsungan hidup negara Yahudi jika musuh-musuhnya menggunakan populasi mereka yang jauh lebih besar dan ekonominya untuk membangun militer yang superior secara konvensional
.
Masalahnya bagi Ben-Gurion dan penasihat terdekatnya adalah, mereka negara muda, miskin, dan relatif tidak canggih karena tidak memiliki sumber daya teknologi dan material yang diperlukan untuk mendukung program senjata nuklir mereka sendiri. Harapan terbaik Israel untuk memperoleh senjata nuklir adalah dengan mencari pelindung asing. Untungnya bagi Israel, keadaan kontemporer telah menciptakan kondisi untuk memperoleh dukungan ini.
Secara khusus, selama pertengahan tahun 1950-an kendali Prancis atas Aljazair—yang dianggap sebagai bagian dari Prancis dan bukan hanya sebagai salah satu wilayah koloni—semakin diperebutkan oleh pemberontak domestik yang menerima dukungan substansial dari pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser. Prancis menanggapi dengan meminta bantuan Israel, menyediakan intelijen untuk melaporkan situasi Aljazair dengan imbalan senjata konvensional Prancis.
Kesempatan ini berubah menjadi kerjasama nuklir pada tahun 1956 ketika Prancis meminta Israel untuk menyediakan intelijen untuk Prancis dan Inggris dengan dalih untuk campur tangan secara militer dalam krisis Terusan Suez.
Ben-Gurion sangat ragu untuk melibatkan Israel dalam skema ini. Ini teratasi ketika Prancis setuju untuk memberikan Israel reaktor riset kecil yang mirip dengan reaktor EL-3 yang dibangun Prancis di Saclay. Tentu saja, invasi Suez dengan cepat menjadi kacau setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet mengancam Israel, Prancis dan Inggris dengan cara yang berbeda membuat mereka mundur.
Prancis tidak dapat melindungi Israel dari ancaman negara-negara adikuasa. Sebelum setuju untuk mundur, Israel menuntut agar Prancis meningkatkan kerjasama nuklir. Prancis setuju untuk memberikan Israel reaktor penghasil plutonium yang lebih besar di Dimana, uranium alam untuk bahan bakar reaktor, dan pabrik pemrosesan ulang—kurang lebih semua yang Israel perlukan untuk menggunakan pabrik itu untuk memproduksi plutonium untuk membuat bom, hanya kurang air berat.
Ini adalah sebuah kudeta besar—belum pernah ada negara yang memberikan negara lain begitu banyak teknologi yang dibutuhkan untuk membangun bom nuklir. Namun, itu belum semuanya.
Ben-Gurion masih harus mendapat dana yang diperlukan untuk membayar kesepakatan nuklir untuk Prancis. Berapa biaya untuk membangun fasilitas nuklir di Dimona tidak diketahui, tetapi Israel kemungkinan membayar Prancis setidaknya $80 juta hingga $100 juta dolar pada tahun 1960. Itu adalah jumlah yang besar untuk Israel pada saat itu. Lebih lanjut lagi, Ben-Gurion khawatir jika dia mengalihkan dana pertahanan untuk proyek nuklirnya, itu akan memicu oposisi dari militer, yang sedang bersusah payah mengerahkan pasukan konvensionalnya untuk mengalahkan musuh Arab Israel.
Perdana menteri Israel tersebut memutuskan untuk membuat dana pribadi untuk membiayai kesepakatannya dengan Prancis. Seperti yang didokumentasikan oleh Michael Karpin dalam sejarah program nuklir Israel, The Bomb in the Basement , Ben-Gurion mengarahkan stafnya hanya untuk “memanggil Abe,” mengacu pada Abe Feinberg.
Feinberg adalah seorang pengusaha terkemuka di New York, filantropis dan pemimpin Yahudi Amerika yang berhubungan dekat dengan Partai Demokrat. Sebelum Amerika memasuki Perang Dunia II, Feinberg telah mengumpulkan uang untuk membantu orang Yahudi Eropa beremigrasi ke Palestina.
Setelah perang berakhir, dia—seperti Ben-Gurion—pergi ke Eropa untuk melihat kamp konsentrasi Holocaust. Dia juga membantu menyelundupkan orang-orang yang selamat dari Holocaust ke Palestina saat Inggris membuat blokade untuk mencegah imigrasi Yahudi ilegal.
Dalam waktu itu, ia menjalin ikatan abadi dengan beberapa orang yang kemudian menjadi pemimpin senior negara Israel. Setelah kembali ke Amerika Serikat, dia membantu melobi Presiden Harry Truman untuk mengakui negara Yahudi itu, setelah mereka mendeklarasikan kemerdekaannya. Sebagai gantinya, Feinberg membantu mengumpulkan uang untuk kampanye pemilihan kembali Truman.
Dengan demikian, wajar bahwa pada bulan Oktober 1958 Ben-Gurion meminta bantuan Feinberg untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk kesepakatan Dimona. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Ben-Gurion meminta bantuan ke para pemimpin Yahudi Amerika untuk mengumpulkan uang untuk memenuhi tujuan Israel.
Merasa akan segera muncul perang kemerdekaan, Ben-Gurion pergi ke New York pada tahun 1945, mengumpulkan dana untuk membeli senjata bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Misi ini sukses. Menurut Karpin: “Dalam makalah rahasia proses penciptaan negara, ada tujuh belas jutawan Amerika yang diberi kode nama ‘Institut Sonneborn,” berdasarkan tuan rumah mereka.
Di tahun-tahun selanjutnya, anggotanya menyumbang jutaan dolar untuk membeli amunisi, mesin, peralatan rumah sakit dan obat-obatan, dan kapal untuk membawa para pengungsi” ke Palestina.
Feinberg adalah salah satu dari tujuh belas jutawan dari Institut Sonneborn. Pada tahun 1958, Feinberg bersama dengan anggota dari Sonneborn Institute, serta para pemimpin Yahudi lainnya di Amerika Utara dan Eropa, mengumpulkan uang untuk proyek nuklir Dimona setelah banding Ben-Gurion pada tahun 1958.
Dia berhasil: sekali lagi, menurut Karpin, “Kampanye penggalangan dana rahasia dimulai pada akhir tahun 1958, dan berlanjut selama dua tahun. Sekitar dua puluh lima jutawan berkontribusi total sekitar $40 juta dolar.”
Seberapa penting misi Feinberg untuk keberhasilan proyek nuklir Israel? Menurut Karpin:
Jika Ben-Gurion tidak yakin bahwa Feinberg bisa mendapatkan dana dari kaum Yahudi di seluruh dunia yang diperlukan untuk proyek itu, dia tidak akan mungkin melakukan kesepakatan dengan Prancis. Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an tidak akan pernah bisa mampu untuk membeli teknologi canggih, mendirikan reaktor Dimona, dan membangun penangkal nuklir dari sumber dayanya sendiri.
Ini bukan akhir keterlibatan Feinberg dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Israel. Bahkan, setelah Partai Demokrat merebut kembali Gedung Putih pada pemilu tahun 1960, Feinberg menjadi penasihat tidak resmi untuk John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson.
Contohnya, pada tahun 1961 Feinberg memimpin upaya untuk membujuk Ben-Gurion agar mengizinkan inspeksi Amerika terhadap reaktor Dimona.
Uji Coba Senjata Nuklir Rahasia Israel
Para ilmuwan meyakini ledakan misterius disertai kilatan cahaya di Samudra Hindia selatan pada 23 September 1979 adalah uji coba senjata nuklir Israel secara rahasia. Para ilmuwan meyakini insiden misterius di Samudra Hindia selatan pada 23 September 1979 adalah tes senjata nuklir secara rahasia oleh Israel. Klaim ini dikuatkan bukti adanya isotop radioaktif pada domba-domba di Australia.
Temuan itu diterbitkan dalam studi baru untuk Science and Global Security. Sekitar 39 tahun silam, ledakan misterius disertai pancaran cahaya terjadi di Samudra Hindia selatan. Insiden misterius yang terdeteksi satelit Vela 6911 Amerika Serikat (AS) terjadi pada pukul 12.53 GMT. Lokasinya berada di dekat Kepulauan Prince Edward sekitar separuh jalan antara Afrika dan Antartika. Kejadian misterius itu dikenal dengan sebutan "Insiden Vela".
Penasihat untuk Presiden Jimmy Carter saat itu bergegas untuk memberikan briefing kepadanya tentang insiden itu.Carter dalam momoarnya menulis, para pejabat keamanan AS berspekulasi bahwa peristiwa itu adalah uji coba senjata nuklir Israel yang dilakukan bekerjasama dengan rezim apartheid Afrika Selatan. Namun, panel pemerintah AS yang bersidang untuk mempelajari masalah ini menghasilkan temuan samar-samar yang meremehkan kemungkinan bahwa insiden itu sebagai ledakan nuklir.
Israel, yang terkenal menutup rapat kepemilikannya atas senjata nuklir, dengan gigih menolak untuk mengonfirmasi atau menyangkal apakah negara itu mengembangkan program senjata nuklir atau tidak.
Sekarang, studi baru oleh Christopher Wright dari Australian Defence Force Academy dan pensiunan ahli fisika nuklir dari Lembaga Pertahanan Swedia Lars-Erik De Geer, menawarkan petunjuk baru.
Para peneliti mengungkap temuan yodium-131 dalam tiroid domba Australia pada bulan Oktober dan November 1979. Tiroid itu dikirim ke AS untuk analisis pada saat itu, tetapi hasilnya tidak pernah dipublikasikan.
"Tingkat isotop akan konsisten dengan mereka yang merumput di jalur potensial kejatuhan radioaktif dari uji coba nuklir rendah 22 September di Samudra Hindia selatan," tulis para ilmuwan dalam laporannya. Temuan lain berupa analisis pola cuaca yang menunjukkan gejolak kejatuhan dari ledakan nuklir yang berulang di beberapa bagian wilayah Australia.
Selain itu, studi ini menganalisis deskripsi yang tidak diklasifikasikan dari gelombang suara bawah laut yang terdeteksi oleh pos pendengar AS yang berkorelasi dengan flash ganda di dekat Kepulauan Prince Edward, yang tidak berpenghuni kecuali untuk stasiun penelitian pemerintah Afrika Selatan.
Leonard Weiss dalam tulisannya di Bulletin of the Atomic Scientists , menyatakan studi baru menghilangkan hampir semua keraguan bahwa flash itu adalah ledakan nuklir.
"Ini memperkuat analisis sebelumnya yang menyimpulkan bahwa Israel kemungkinan melakukan uji coba nuklir yang melanggar hukum AS dan Perjanjian Larangan Uji Coba Terbatas (Limited Test Ban Treaty)," lanjut Weiss yang merupakan ahli nonproliferasi nuklir.
"Israel adalah satu-satunya negara yang memiliki kemampuan teknis dan motivasi kebijakan untuk melakukan uji klandestin, yang menurut beberapa sumber, adalah yang terakhir dari beberapa (uji coba) dan terdeteksi oleh satelit Vela karena perubahan tiba-tiba dalam tutupan awan," imbuh tulisan Weiss.
Referensi:
3 Hal yang Perlu Diketahui soal Program Senjata Nuklir Israel - Sindo News
Sejarah Senjata Nuklir Israel yang Tak Pernah Diakui- Matamatapolitik.com
Kolaborasi Kebohongan Israel dan AS Anti Iran - parstoday.com/id
Insiden Vela Diyakini Tes Senjata Nuklir Israel di Samudra Hindia - Sindo News