Ichiki Tatsuo alias Abdul Rachman
9 Januari 1949, di Arjosari, desa di arah tenggara kota Malang, Jawa Timur, Ichiki Tatsuo menjemput ajal dengan menyambut hujan peluru dari tentara Belanda dalam sebuah pertempuran sengit selepas subuh itu.
Meski saat itu kalah jumlah prajurit maupun senjata, Ichiki, Umar Tatsuji Maekawa, Sukardi Nagamoto Sugiyama, Abdul Majid Goro Yamano, melawan tentara Belanda dengan gigih tanpa kenal takut.
Tapi lantaran amunusi makin menipis, mereka terpaksa memutuskan mundur.
Dia mati bukan untuk membela Kaisar Jepang atau bendera Hinomaru, tapi dia mati untuk merah putih. Saat menemui ajal, Ichiki merupakan Wakil Komandan Pasukan Gerilya Istimewa setelah Perang Dunia II usai.
Anggota pasukan ini merupakan prajurit-prajurit Jepang yang membelot ke pihak Indonesia. Komandan Pasukan Gerilya Istimewa adalah ‘Arif’ Tomegoro Yoshizumi, mantan intel di kesatuan tentara Jepang.
Ichiki lahir di Jepang dan seorang nasionalis. Dia melepas kewarganegaraannya sebagai protes atas sikap pemerintah Jepang yang mengingkari janjinya membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ichiki lahir di Taraki, kota kecil di prefektur Kumamoto, bagian selatan Pulau Kyushu, pada 1906.
Putra ketiga dari enam bersaudara ini berasal dari keluarga samurai miskin. Dulu, keluarganya bekerja untuk klan Sagari yang punya pengaruh besar di daerah itu hingga abad ke-19.
Ichiki memang lahir dan tumbuh besar di Jepang, tapi dia sudah lama kenal dan jatuh cinta dengan Indonesia. Jauh sebelum Perang Dunia II meletus dan dia dikirim ke Indonesia sebagai prajurit pasukan Kekaisaran Jepang, dia sudah pernah lama tinggal di Indonesia. Bahkan dia pernah menikah dengan seorang gadis dari Sumedang, Jawa Barat. Tak heran jika Ichiki fasih bercakap dalam bahasa Indonesia.
Lahir di keluarga samurai miskin, Ichiki punya mimpi besar mengangkat kembali nama keluarganya. Pada 1928, saat usianya baru 22 tahun, Ichiki memutuskan merantau jauh ke selatan untuk mengejar mimpinya. Ada seorang teman sekampungnya yang sudah lebih dulu merantau ke Palembang di Pulau Sumatera, saat itu bagian dari Hindia Belanda. Di Palembang, temannya, Miyahata Seiichi, punya studio foto lumayan besar. Di studio Miyahata, Ichiki menjadi fotografernya.
Ichiki bermimpi, suatu kali bisa punya studio sendiri di Palembang dan bisa memboyong keluarganya dari Jepang. “Pertama, aku ingin semua keluargaku bisa ikut pindah ke sini dan bisa membangun rumah tangga yang bahagia untuk orang tua dan saudara-saudaraku yang sudah sekian lama hidup menderita,” Ichiki menulis dalam satu suratnya, dikutip Kenichi Goto dalam artikelnya, Life and Death of "Abdul Rachman" (1906-49).
Tapi sayang, mimpi Abdul Rachman alias Ichiki tak pernah kesampaian. Setelah enam tahun di Palembang dan gagal punya studio sendiri, Ichiki memutuskan pindah ke Bandung di Pulau Jawa. Di Bandung saat itu, sudah ada komunitas warga Jepang lumayan besar. Bahkan mereka sempat mendirikan sekolah Jepang di Bandung. Tapi di Bandung pun hidupnya tetap sulit. Saking miskinnya, Ichiki sempat menumpang tinggal di satu rumah di Sumedang.
"Aku ingin semua keluargaku bisa ikut pindah ke sini dan bisa membangun rumah tangga bahagia, untuk orang tua dan saudara-saudaraku yang sudah sekian lama hidup menderita"
Pernikahannya dengan Itje, gadis pemilik rumah itu, dan menyaksikan kemiskinan di Hindia Belanda, membuat Ichiki makin terikat dengan negeri jauh di selatan itu. Ichiki merasa senasib sependeritaan dengan para tetangganya. Kebenciannya kepada pemerintah penjajah Hindia Belanda makin kuat. Sikap Ichiki ini tercermin dari tulisan-tulisannya di koran Toindo Nippo dan beberapa koran lain.
Saat itu, pertengahan 1930-an, pemerintah Jepang mulai melirik ‘negara-negara di selatan’. Kala itu, Jepang merupakan mitra dagang utama Hindia Belanda. Makin banyak orang-orang Jepang merantau ke Hindia Belanda. Ada pula intel-intel pemerintah Jepang yang dikirim ke Hindia Belanda, salah satunya Yoshizumi Tomegoro.
Ichiki sempat pulang ke Jepang pada akhir 1930-an, tapi dia tak bisa kembali lagi ke Bandung lantaran ditolak pemerintah Hindia Belanda yang mulai curiga dengan gerak-geriknya. Di Jepang, Ichiki yang bekerja untuk Bidang Urusan Selatan Markas Besar Angkatan Darat, berkenalan dengan aktivis pergerakan Jusuf Hassan. Mereka sering berdiskusi soal masa depan Indonesia yang masih dijajah Belanda.
Baru beberapa tahun kemudian, setelah tentara Kekaisaran Jepang mengusir Belanda, Ichiki kembali ke Indonesia. Ichiki sempat bekerja di Departemen Pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Di Peta ini lah dia berkenalan dengan tokoh pergerakan Haji Agus Salim. Agus Salim pula yang memberinya nama Abdul Rachman. Ichiki juga sempat menjadi redaktur majalah Pradjoerit dan Pemimpin Redaksi koran Asia Raya.
Ichiki percaya, Jepang lah yang bakal membantu Indonesia melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Namun makin lama, harapannya makin tipis, hingga akhirnya benar-benar sirna. Dia kecewa berat dengan pemerintah Jepang yang dianggapnya ingkar janji untuk membantu kemerdekaan Indonesia. Makanya, Ichiki tak ikut pulang ke Jepang setelah mereka kalah perang. Bersama Ichiki, ada ratusan prajurit Jepang yang berpikiran sama. Mereka memilih tetap tinggal di Indonesia, tanah air mereka yang baru.
Di antara prajurit Jepang yang membelot ke Indonesia adalah teman lama Ichiki, Arif Yoshizumi Tomegoro dan Rahmat Shigeru Ono. Nama Arif diberikan oleh pemimpin pergerakan Tan Malaka kepada Yoshizumi. Arif Yoshizumi, mantan intel Angkatan Laut, itu wafat diusia 42 tahun pada 10 Agustus 1948 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Blitar, Jawa Timur.
Sakari Ono alias Rahmat Shigeru
Rahmat Shigeru lahir di keluarga petani asal Furano, kota kecil di sisi utara Pulau Hokkaido, pada 1919. Orang tua memberinya nama Sakari Ono. “Setiap hari saya mengurus kuda-kuda dan membantu mengelola lahan pertanian keluarga,” kata Rahmat Shigeru alias Sakari Ono dikutip Eiichi Hayashi dalam bukunya, Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik.
Meski badannya kecil, Sakari berhasil diterima sebagai prajurit pasukan Kekaisaran Jepang. Pada Juni 1939, dia resmi bergabung dengan Kompi 2, Resimen 8, Divisi 7 Asahikawa. “Waktu pembagian seragam, nggak ada seragam yang pas dengan badan saya yang kecil,” Rahmat Shigeru menuturkan diiringi tawanya berderai.
Saat Sakari diterjunkan ke medan perang datang setelah Jepang menerjunkan diri dalam Perang Dunia II. Sakari menjadi bagian dari tentara Jepang yang dikirim ke ‘negara-negara selatan’ untuk mencari sumber daya penyokong perang. Pada 1942, bersama gelombang besar tentara Jepang, Sakari mendarat di Pulau Jawa.
Sakari memimpin kelompok kecil prajurit Jepang yang ditugaskan di luar kota Cilacap, Jawa Tengah. Saat tentara Jepang datang, Sakari menuturkan, mereka disambut seperti saudara oleh penduduk Indonesia. Mereka disangka datang untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Kita tahu, harapan itu keliru besar. Jepang hanya bertahan kurang dari tiga setengah tahun di Indonesia. Bom atom yang dijatuhkan pesawat-pesawat Amerika Serikat di kota Hiroshima dan Nagasaki menamatkan ‘petualangan’ tentara Jepang.
Sakari dan teman-temannya mendengar kabar kekalahan Jepang itu pada 14 Agustus 1945. Mereka, kata Sakari, diminta berkumpul dengan seragam lengkap keesokan harinya untuk mendengarkan langsung rekaman pidato Tenno Heika Kaisar Hirohito. “Kami semua sudah berkumpul sebelum jam 8 dengan seragam lengkap tanpa cacat,” Sakari mengenang. Dalam pidatonya, Kaisar Hirohito menyampaikan pengakuan kekalahan Jepang dari pasukan Sekutu.
Sakari, seperti juga prajurit Jepang lain, sangat terpukul mendengar pidato Kaisar. Dengan membawa katana, dia melampiaskan kemurungan menghajar pohon-pohon pepaya. “Saya benar-benar berpikir hendak harakiri, bunuh diri, saat itu,” ujar Sakari. Tapi setelah kalut di pikirannya mereda, dia mengurungkan niatnya bunuh diri.
Empat bulan setelah kekalahan Jepang, pada Desember 1945, Sakari dan dua temannya, Tetsuo Katano dan Shunichi Takigami, memilih mundur sebagai prajurit Jepang dan menggabungkan diri dengan tentara Indonesia. “Saya melihat kota Bandung dibakar, penduduk dipukuli dan dibunuh tanpa perasaan. Kemarahan saya makin besar teringat janji Jepang memerdekakan Indonesia,” Sakari menulis dalam catatan hariannya. Sebelum keluar dari markas tentara Jepang, dia menitipkan surat untuk keluarganya kepada prajurit Jepang yang sekampung dengannya. “Dalam surat itu saya mengatakan bahwa saya sudah mati di Indonesia.”
Sakari dan dua temannya menemui Kapten Sugono, komandan Polisi Militer di Bandung. Tak disangka, mereka diterima dengan tangan terbuka. Kapten Sugono menyarankan mereka berganti seragam. Yang jadi soal, Sakari tak punya seragam lain. “Kami diberi sarung dan kopiah,” Sakari mengingat dengan geli kejadian saat itu. Agar tak jadi persoalan, Sakari diberi nama baru yakni Rahmat.
Sejak hari itu, dia dan teman-temannya ikut bertempur untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tugas pertama bagi Sakari dan prajurit-prajurit Jepang yang membelot ke Indonesia itu adalah melatih pemuda-pemuda Indonesia cara menggunakan senjata dan berperang.
Di Yogyakarta, Sakari bertemu dengan seniornya, Tatsuo Ichiki alias Abdul Rachman. “Bertemu dan berdiskusi dengan Tatsuo Ichiki membuat saya makin membulatkan tekad untuk membantu Indonesia lepas dari penjajahan bangsa kulit putih,” kata Sakari alias Rahmat Shigeru. Bersama Ichiki, Rahmat dan beberapa mantan prajurit Jepang diminta merangkum buku taktik perang Jepang dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kebetulan, Ichiki sangat fasih berbahasa Indonesia.
Usai dengan buku taktik perang, mereka diminta mengajar di sekolah intelijen. Ichiki sendiri sangat sibuk. Dia menjadi penasehat untuk Markas Tentara di Yogyakarta merangkap penasehat untuk Divisi Sungkono yang bermarkas di Kediri, Jawa Timur. Atas usul Kolonel Sungkono, para mantan prajurit Jepang dikumpulkan menjadi satu kesatuan sendiri yakni Pasukan Gerilya Istimewa dengan komandan Arif Yoshizumi Tomegoro dengan wakilnya, Tatsuo Ichiki.
Tugas mereka menghadang tentara Belanda di sepanjang jalur Malang-Lumajang. Berkali-kali mereka terlibat pertempuran sengit melawan tentara Belanda. Salah satunya pertempuran di Arjosari yang merenggut nyawa Ichiki. Di kemudian hari, Pasukan Gerilya Istimewa berubah menjadi Pasukan Untung Surapati 18. Pada tahun 1950, Sakari memutuskan pensiun dari tentara dan berkeluarga.
Meski kehilangan tangan dalam perang kemerdekaan, Rahmat Shigeru tak pernah menyesal membelot ke Indonesia. Dia juga tak pernah patah semangat. Rahmat meninggal pada Agustus 2014 lalu dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Batu, Jawa Timur. Dia menjadi 'samurai' terakhir yang meninggal di Indonesia.
Referensi:
detikX intermeso - Tinggalkan Matahari Terbit, Rengkuh Merah Putih (Sabtu, 10 November 2018)
9 Januari 1949, di Arjosari, desa di arah tenggara kota Malang, Jawa Timur, Ichiki Tatsuo menjemput ajal dengan menyambut hujan peluru dari tentara Belanda dalam sebuah pertempuran sengit selepas subuh itu.
Meski saat itu kalah jumlah prajurit maupun senjata, Ichiki, Umar Tatsuji Maekawa, Sukardi Nagamoto Sugiyama, Abdul Majid Goro Yamano, melawan tentara Belanda dengan gigih tanpa kenal takut.
Tapi lantaran amunusi makin menipis, mereka terpaksa memutuskan mundur.
Dia mati bukan untuk membela Kaisar Jepang atau bendera Hinomaru, tapi dia mati untuk merah putih. Saat menemui ajal, Ichiki merupakan Wakil Komandan Pasukan Gerilya Istimewa setelah Perang Dunia II usai.
Anggota pasukan ini merupakan prajurit-prajurit Jepang yang membelot ke pihak Indonesia. Komandan Pasukan Gerilya Istimewa adalah ‘Arif’ Tomegoro Yoshizumi, mantan intel di kesatuan tentara Jepang.
Ichiki lahir di Jepang dan seorang nasionalis. Dia melepas kewarganegaraannya sebagai protes atas sikap pemerintah Jepang yang mengingkari janjinya membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ichiki lahir di Taraki, kota kecil di prefektur Kumamoto, bagian selatan Pulau Kyushu, pada 1906.
Putra ketiga dari enam bersaudara ini berasal dari keluarga samurai miskin. Dulu, keluarganya bekerja untuk klan Sagari yang punya pengaruh besar di daerah itu hingga abad ke-19.
Ichiki memang lahir dan tumbuh besar di Jepang, tapi dia sudah lama kenal dan jatuh cinta dengan Indonesia. Jauh sebelum Perang Dunia II meletus dan dia dikirim ke Indonesia sebagai prajurit pasukan Kekaisaran Jepang, dia sudah pernah lama tinggal di Indonesia. Bahkan dia pernah menikah dengan seorang gadis dari Sumedang, Jawa Barat. Tak heran jika Ichiki fasih bercakap dalam bahasa Indonesia.
Lahir di keluarga samurai miskin, Ichiki punya mimpi besar mengangkat kembali nama keluarganya. Pada 1928, saat usianya baru 22 tahun, Ichiki memutuskan merantau jauh ke selatan untuk mengejar mimpinya. Ada seorang teman sekampungnya yang sudah lebih dulu merantau ke Palembang di Pulau Sumatera, saat itu bagian dari Hindia Belanda. Di Palembang, temannya, Miyahata Seiichi, punya studio foto lumayan besar. Di studio Miyahata, Ichiki menjadi fotografernya.
Ichiki bermimpi, suatu kali bisa punya studio sendiri di Palembang dan bisa memboyong keluarganya dari Jepang. “Pertama, aku ingin semua keluargaku bisa ikut pindah ke sini dan bisa membangun rumah tangga yang bahagia untuk orang tua dan saudara-saudaraku yang sudah sekian lama hidup menderita,” Ichiki menulis dalam satu suratnya, dikutip Kenichi Goto dalam artikelnya, Life and Death of "Abdul Rachman" (1906-49).
Tapi sayang, mimpi Abdul Rachman alias Ichiki tak pernah kesampaian. Setelah enam tahun di Palembang dan gagal punya studio sendiri, Ichiki memutuskan pindah ke Bandung di Pulau Jawa. Di Bandung saat itu, sudah ada komunitas warga Jepang lumayan besar. Bahkan mereka sempat mendirikan sekolah Jepang di Bandung. Tapi di Bandung pun hidupnya tetap sulit. Saking miskinnya, Ichiki sempat menumpang tinggal di satu rumah di Sumedang.
"Aku ingin semua keluargaku bisa ikut pindah ke sini dan bisa membangun rumah tangga bahagia, untuk orang tua dan saudara-saudaraku yang sudah sekian lama hidup menderita"
Pernikahannya dengan Itje, gadis pemilik rumah itu, dan menyaksikan kemiskinan di Hindia Belanda, membuat Ichiki makin terikat dengan negeri jauh di selatan itu. Ichiki merasa senasib sependeritaan dengan para tetangganya. Kebenciannya kepada pemerintah penjajah Hindia Belanda makin kuat. Sikap Ichiki ini tercermin dari tulisan-tulisannya di koran Toindo Nippo dan beberapa koran lain.
Saat itu, pertengahan 1930-an, pemerintah Jepang mulai melirik ‘negara-negara di selatan’. Kala itu, Jepang merupakan mitra dagang utama Hindia Belanda. Makin banyak orang-orang Jepang merantau ke Hindia Belanda. Ada pula intel-intel pemerintah Jepang yang dikirim ke Hindia Belanda, salah satunya Yoshizumi Tomegoro.
Ichiki sempat pulang ke Jepang pada akhir 1930-an, tapi dia tak bisa kembali lagi ke Bandung lantaran ditolak pemerintah Hindia Belanda yang mulai curiga dengan gerak-geriknya. Di Jepang, Ichiki yang bekerja untuk Bidang Urusan Selatan Markas Besar Angkatan Darat, berkenalan dengan aktivis pergerakan Jusuf Hassan. Mereka sering berdiskusi soal masa depan Indonesia yang masih dijajah Belanda.
Baru beberapa tahun kemudian, setelah tentara Kekaisaran Jepang mengusir Belanda, Ichiki kembali ke Indonesia. Ichiki sempat bekerja di Departemen Pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Di Peta ini lah dia berkenalan dengan tokoh pergerakan Haji Agus Salim. Agus Salim pula yang memberinya nama Abdul Rachman. Ichiki juga sempat menjadi redaktur majalah Pradjoerit dan Pemimpin Redaksi koran Asia Raya.
Ichiki percaya, Jepang lah yang bakal membantu Indonesia melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Namun makin lama, harapannya makin tipis, hingga akhirnya benar-benar sirna. Dia kecewa berat dengan pemerintah Jepang yang dianggapnya ingkar janji untuk membantu kemerdekaan Indonesia. Makanya, Ichiki tak ikut pulang ke Jepang setelah mereka kalah perang. Bersama Ichiki, ada ratusan prajurit Jepang yang berpikiran sama. Mereka memilih tetap tinggal di Indonesia, tanah air mereka yang baru.
Di antara prajurit Jepang yang membelot ke Indonesia adalah teman lama Ichiki, Arif Yoshizumi Tomegoro dan Rahmat Shigeru Ono. Nama Arif diberikan oleh pemimpin pergerakan Tan Malaka kepada Yoshizumi. Arif Yoshizumi, mantan intel Angkatan Laut, itu wafat diusia 42 tahun pada 10 Agustus 1948 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Blitar, Jawa Timur.
Sakari Ono alias Rahmat Shigeru
Rahmat Shigeru lahir di keluarga petani asal Furano, kota kecil di sisi utara Pulau Hokkaido, pada 1919. Orang tua memberinya nama Sakari Ono. “Setiap hari saya mengurus kuda-kuda dan membantu mengelola lahan pertanian keluarga,” kata Rahmat Shigeru alias Sakari Ono dikutip Eiichi Hayashi dalam bukunya, Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik.
Meski badannya kecil, Sakari berhasil diterima sebagai prajurit pasukan Kekaisaran Jepang. Pada Juni 1939, dia resmi bergabung dengan Kompi 2, Resimen 8, Divisi 7 Asahikawa. “Waktu pembagian seragam, nggak ada seragam yang pas dengan badan saya yang kecil,” Rahmat Shigeru menuturkan diiringi tawanya berderai.
Saat Sakari diterjunkan ke medan perang datang setelah Jepang menerjunkan diri dalam Perang Dunia II. Sakari menjadi bagian dari tentara Jepang yang dikirim ke ‘negara-negara selatan’ untuk mencari sumber daya penyokong perang. Pada 1942, bersama gelombang besar tentara Jepang, Sakari mendarat di Pulau Jawa.
Sakari memimpin kelompok kecil prajurit Jepang yang ditugaskan di luar kota Cilacap, Jawa Tengah. Saat tentara Jepang datang, Sakari menuturkan, mereka disambut seperti saudara oleh penduduk Indonesia. Mereka disangka datang untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Kita tahu, harapan itu keliru besar. Jepang hanya bertahan kurang dari tiga setengah tahun di Indonesia. Bom atom yang dijatuhkan pesawat-pesawat Amerika Serikat di kota Hiroshima dan Nagasaki menamatkan ‘petualangan’ tentara Jepang.
Sakari dan teman-temannya mendengar kabar kekalahan Jepang itu pada 14 Agustus 1945. Mereka, kata Sakari, diminta berkumpul dengan seragam lengkap keesokan harinya untuk mendengarkan langsung rekaman pidato Tenno Heika Kaisar Hirohito. “Kami semua sudah berkumpul sebelum jam 8 dengan seragam lengkap tanpa cacat,” Sakari mengenang. Dalam pidatonya, Kaisar Hirohito menyampaikan pengakuan kekalahan Jepang dari pasukan Sekutu.
Sakari, seperti juga prajurit Jepang lain, sangat terpukul mendengar pidato Kaisar. Dengan membawa katana, dia melampiaskan kemurungan menghajar pohon-pohon pepaya. “Saya benar-benar berpikir hendak harakiri, bunuh diri, saat itu,” ujar Sakari. Tapi setelah kalut di pikirannya mereda, dia mengurungkan niatnya bunuh diri.
Empat bulan setelah kekalahan Jepang, pada Desember 1945, Sakari dan dua temannya, Tetsuo Katano dan Shunichi Takigami, memilih mundur sebagai prajurit Jepang dan menggabungkan diri dengan tentara Indonesia. “Saya melihat kota Bandung dibakar, penduduk dipukuli dan dibunuh tanpa perasaan. Kemarahan saya makin besar teringat janji Jepang memerdekakan Indonesia,” Sakari menulis dalam catatan hariannya. Sebelum keluar dari markas tentara Jepang, dia menitipkan surat untuk keluarganya kepada prajurit Jepang yang sekampung dengannya. “Dalam surat itu saya mengatakan bahwa saya sudah mati di Indonesia.”
Sakari dan dua temannya menemui Kapten Sugono, komandan Polisi Militer di Bandung. Tak disangka, mereka diterima dengan tangan terbuka. Kapten Sugono menyarankan mereka berganti seragam. Yang jadi soal, Sakari tak punya seragam lain. “Kami diberi sarung dan kopiah,” Sakari mengingat dengan geli kejadian saat itu. Agar tak jadi persoalan, Sakari diberi nama baru yakni Rahmat.
Sejak hari itu, dia dan teman-temannya ikut bertempur untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tugas pertama bagi Sakari dan prajurit-prajurit Jepang yang membelot ke Indonesia itu adalah melatih pemuda-pemuda Indonesia cara menggunakan senjata dan berperang.
Di Yogyakarta, Sakari bertemu dengan seniornya, Tatsuo Ichiki alias Abdul Rachman. “Bertemu dan berdiskusi dengan Tatsuo Ichiki membuat saya makin membulatkan tekad untuk membantu Indonesia lepas dari penjajahan bangsa kulit putih,” kata Sakari alias Rahmat Shigeru. Bersama Ichiki, Rahmat dan beberapa mantan prajurit Jepang diminta merangkum buku taktik perang Jepang dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kebetulan, Ichiki sangat fasih berbahasa Indonesia.
Usai dengan buku taktik perang, mereka diminta mengajar di sekolah intelijen. Ichiki sendiri sangat sibuk. Dia menjadi penasehat untuk Markas Tentara di Yogyakarta merangkap penasehat untuk Divisi Sungkono yang bermarkas di Kediri, Jawa Timur. Atas usul Kolonel Sungkono, para mantan prajurit Jepang dikumpulkan menjadi satu kesatuan sendiri yakni Pasukan Gerilya Istimewa dengan komandan Arif Yoshizumi Tomegoro dengan wakilnya, Tatsuo Ichiki.
Tugas mereka menghadang tentara Belanda di sepanjang jalur Malang-Lumajang. Berkali-kali mereka terlibat pertempuran sengit melawan tentara Belanda. Salah satunya pertempuran di Arjosari yang merenggut nyawa Ichiki. Di kemudian hari, Pasukan Gerilya Istimewa berubah menjadi Pasukan Untung Surapati 18. Pada tahun 1950, Sakari memutuskan pensiun dari tentara dan berkeluarga.
Meski kehilangan tangan dalam perang kemerdekaan, Rahmat Shigeru tak pernah menyesal membelot ke Indonesia. Dia juga tak pernah patah semangat. Rahmat meninggal pada Agustus 2014 lalu dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Batu, Jawa Timur. Dia menjadi 'samurai' terakhir yang meninggal di Indonesia.
Referensi:
detikX intermeso - Tinggalkan Matahari Terbit, Rengkuh Merah Putih (Sabtu, 10 November 2018)