Rabu, 12 Juni 2019
Selasa, 11 Juni 2019
Organisasi Papua Merdeka OPM
Provokasi Papua Merdeka menghadirkan Neraka di bumi Cenderawasih. Ribuan nyawa telah melayang sia -sia. Generasi muda Papua banyak yang terpapar isu Papua yang menyesatkan, hingga sedang terancam masa depannya.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah momok yang mengancam disintegrasi negara. Berbagai tindakannya sudah mengarah kepada upaya mewujudkan keinginannya untuk meraih kemerdekaan. Mengibarkan bendera OPM dan menyanyikan lagu, serta aksi-aksi yang menguatkan dirinya sebagai kekuatan yang mengancam warga sipil semakin meneguhkan dirinya sebagai kelompok separatis. Namun negara Indonesia hanya menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Mereka secara terbuka menyatakan bahwa motif penyerangan adalah untuk menolak kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan di Papua. Bahkan mereka secara eksplisit menginginkan kemerdekaannya. Mereka sudah sering mengekspresikan keinginan besar mereka tapi negara masih menganggapnya sebagai ancaman negara. Bahkan ekspresi sudah mereka tunjukkan di setiap acara mereka, seperti menampilkan lagu kebangsaan dan lambang bendera mereka. Mereka juga mengklaim memiliki wilayah dan kekuasaan, serta jumlah penduduk yang jelas.
Gerakan prokemerdekaan Papua merupakan imbas dari perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Papua dari pemerintah Indonesia yang dianggap represif. Kekerasan yang terjadi sudah pasti adalah ekses, tapi target sasarannya memang TNI dan POLRI. Di bayangan mereka selama ini, kehadiran negara dalam sosok aparat TNI dan Kepolisian itu penuh dengan repressiveness. Itu sebuah akumulasi ingatan, pengalaman. Akar persoalannya di situ.
Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 disebut akar masalah Papua meliputi: peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
Selain itu, siklus kekerasan politik belum tertangani, bahkan meluas dan pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai. Pembangunan konektivitas infrastruktur menjadi pintu masuk untuk penyelesaian masalah sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua, itu sebagai pemenuhan HAM untuk aspek sosial, budaya dan juga ekonomi.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan prok Papua yang berawal dari reaksi orang Papua atas sikap pemerintah Indonesia sejak 1963. Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Manokwari pada 26 Juli 1965.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul The Current Status of The Papuan Pro - Independence Movement yang diterbitkan 24 Agustus 2015 menyebut organisasi ini 'terdiri dari faksi yang saling bersaing '.
Faksi ini terdiri dari tiga elemen: kelompok bersenjata, masing- masing memiliki kontrol teritori yang berbeda: Timika, dataran tinggi dan pantai utara; kelompok yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri -seperti di Pasifik, Eropa dan Amerika Serikat yang mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua dan membangkitkan dukungan internasional untuk kemerdekaan.
Sebagian besar OPM bersenjata bermarkas di Papua, tetapi beberapa orang berlindung di pedalaman dan di perbatasan Papua Nugini. Namun, tidak ada komando tunggal dalam organisasi bersenjata ini.
Laporan IPAC menyebut, setidaknya terdapat tiga komando sayap militer OPM. Goliath Tabuni, yang berbasis di Tingginambut, kabupaten Puncak Jaya, dipandang yang paling kuat dengan cakupan teritorial yang paling luas, meliputi Puncak, Paniai dan Mimika.
Puron Wenda, yang berbasis di Lanny Jaya memisahkan diri dari Goliath sekitar tahun 2010. Pada Mei 2015, kelompoknya menyatakan " perang total revolusioner" dan mengklaim kelompok Goliat dan yang lainnya berada di bawah komandonya, tetapi tidak ada bukti yang mendukung ini.
Sementara itu, Richard Hans Yoweni berbasis di Papua New Guinea (Nugini), namun memiliki pengaruh kuat di sepanjang Pantai Utara. Adapun aparat menuding Egianus Kogoya sebagai otak di balik insiden Nduga.
Direktur eksekutif IPAC yang juga pengamat terorisme, Sydney Jones , menyebut kelompok Egianus Kogoya merupakan sempalan dari kelompok pimpinan Kelly Kwalik, komandan sayap militer OPM, yang tewas dalam penyergapan polisi pada 2009.
Militansi kelompok ini diamini oleh peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ), Adriana Elizabeth yang menyebut organisasi sayap militer OPM ini merupakan 'kelompok yang paling agresif'.
"Kalau dalam struktur (organisasi) tidak ada hierarki, menurut saya, jadi itu ada beberapa kelompok. Tapi kalau melihat pola yang dilakukan kelompok Egianus Kogoya ini memang ini kelompok yang paling agresif, yang mereka sasar itu memang TNI" jelas Adriana.
IPAC dalam laporannya menyebut Kelly Kwalik berada di balik penculikan dan pembunuhan delapan orang pendatang di Papua pada 1986. Sepuluh tahun kemudian, pada Januari 1996, Kelly Kwalik menculik tim peneliti satwa liar, termasuk enam orang asing di Mapenduma, Nduga.
Orang- orang Kelly juga dikaitkan dengan serangan 31 Agustus 2002 yang menewaskan tiga warga sipil di sekitar wilayah tambang Freeport, termasuk dua guru sekolah Amerika, dan melukai sembilan orang lainnya. Juga serangkaian penembakan yang dimulai Juli 2009 di sepanjang jalan yang menghubungkan tambang ke kota Timika, termasuk pembunuhan seorang warga Australia. Unit polisi kontra terorisme, Densus 88, kemudian memburu dan menembaknya di Timika pada Desember 2009.
Menyusul kematian Kelly Kwalik, pusat kegiatan bersenjata OPM bergeser ke utara di daerah Puncak Jaya, di mana salah satu pejuang Kelly, Goliath Tabuni kini berbasis.
Sejak tahun 2004, Goliath dan pengikutnya menjadikan Puncak Jaya sebagai distrik paling keras di Papua. Ini membuat daerah operasinya meluas ke distrik tetangga, seperti Puncak dan Tolikara, begitu juga Paniai. Goliath, disebut Sebby sebagai panglima tinggi TPNPB, sesuai hasil reformasi militer yang digelar 1 - 5 Mei 2012.
Peta kekuatan militer TPNPB - OPM sendiri dibagi menjadi 29 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) yang tersebar di seluruh Papua. Setiap kodap mempunyai 2 .500 personil. Dua ribu lima ratus personil TPNPB itu anggota tetap, anggota tidak tetap adalah ratusan ribu.
Mereka dapatkan senjata dengan merampas senjata anggota aparat TNI/ Polri yang lengah, dari pelaku konflik Ambon di Maluku, dan melalui jalur ilegal di perbatasan Papua Nugini.
Sementara faksi - faksi bersenjata merupakan inti simbolis yang penting bagi gerakan pro kemerdekaan, jaringan yang lebih moderat secara aktif melakukan tekanan kepada pemerintah pusat. Sama halnya dalam faksi bersenjata, hubungan antara kelompok ini sering ditandai oleh permusuhan dan kekacauan, namun pada 2014 dibentuklah Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau ULMWP yang terdiri dari Otoritas Nasional Papua Barat (WPNA), Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat (WPNCL) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Sementara dua kelompok yang pertama percaya mereka memiliki legitimasi lebih karena akar mereka dalam gerakan yang lebih tua, termasuk OPM bersenjata, KNPB sejak 2008 menunjukkan kemampuan yang jauh lebih besar untuk memobilisasi protes di Papua.
Tahun 2017, Benny Wenda, juru bicara ULMWP mengklaim telah menyerahkan petisi ke PBB, yang antara lain mengharapkan Papua masuk kembali dalam daftar di Komite Dekolonisasi PBB, setelah dikeluarkan dari daftar tahun 1963 menyusul hal yang disebut sebagai invasi Indonesia.
Petisi itu diklaim ULMWP sudah diserahkan kepada Komite Dekolonisasi PBB yang dikenal pula dengan Komite 24 di New York, Selasa (26/ 09). Disebut pula petisi yang didukung 1 ,8 juta tanda tangan itu -sebanyak 95,77% disebut merupakan warga asli Papua Barat dan sisanya adalah para pemukim Indonesia di Papua - yang mewakili sekitar 70% dari total warga asli Papua Barat.
Referensi:.
Organisasi Papua Merdeka, Apa dan Siapa Mereka ?
Okezone.com
Organisasi Papua Merdeka dan Bahaya Separatisme
suaramuslimnet
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah momok yang mengancam disintegrasi negara. Berbagai tindakannya sudah mengarah kepada upaya mewujudkan keinginannya untuk meraih kemerdekaan. Mengibarkan bendera OPM dan menyanyikan lagu, serta aksi-aksi yang menguatkan dirinya sebagai kekuatan yang mengancam warga sipil semakin meneguhkan dirinya sebagai kelompok separatis. Namun negara Indonesia hanya menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Mereka secara terbuka menyatakan bahwa motif penyerangan adalah untuk menolak kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan di Papua. Bahkan mereka secara eksplisit menginginkan kemerdekaannya. Mereka sudah sering mengekspresikan keinginan besar mereka tapi negara masih menganggapnya sebagai ancaman negara. Bahkan ekspresi sudah mereka tunjukkan di setiap acara mereka, seperti menampilkan lagu kebangsaan dan lambang bendera mereka. Mereka juga mengklaim memiliki wilayah dan kekuasaan, serta jumlah penduduk yang jelas.
Latar belakang
Gerakan prokemerdekaan Papua merupakan imbas dari perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Papua dari pemerintah Indonesia yang dianggap represif. Kekerasan yang terjadi sudah pasti adalah ekses, tapi target sasarannya memang TNI dan POLRI. Di bayangan mereka selama ini, kehadiran negara dalam sosok aparat TNI dan Kepolisian itu penuh dengan repressiveness. Itu sebuah akumulasi ingatan, pengalaman. Akar persoalannya di situ.
Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 disebut akar masalah Papua meliputi: peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
Selain itu, siklus kekerasan politik belum tertangani, bahkan meluas dan pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai. Pembangunan konektivitas infrastruktur menjadi pintu masuk untuk penyelesaian masalah sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua, itu sebagai pemenuhan HAM untuk aspek sosial, budaya dan juga ekonomi.
Sejarah Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan prok Papua yang berawal dari reaksi orang Papua atas sikap pemerintah Indonesia sejak 1963. Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Manokwari pada 26 Juli 1965.
![]() |
Logo (simbol) OPM |
Faksi ini terdiri dari tiga elemen: kelompok bersenjata, masing- masing memiliki kontrol teritori yang berbeda: Timika, dataran tinggi dan pantai utara; kelompok yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri -seperti di Pasifik, Eropa dan Amerika Serikat yang mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua dan membangkitkan dukungan internasional untuk kemerdekaan.
![]() |
Peta Provinsi Papua, Indonesia (foto: zonadamai.files.wordpress.com) |
Laporan IPAC menyebut, setidaknya terdapat tiga komando sayap militer OPM. Goliath Tabuni, yang berbasis di Tingginambut, kabupaten Puncak Jaya, dipandang yang paling kuat dengan cakupan teritorial yang paling luas, meliputi Puncak, Paniai dan Mimika.
Puron Wenda, yang berbasis di Lanny Jaya memisahkan diri dari Goliath sekitar tahun 2010. Pada Mei 2015, kelompoknya menyatakan " perang total revolusioner" dan mengklaim kelompok Goliat dan yang lainnya berada di bawah komandonya, tetapi tidak ada bukti yang mendukung ini.
![]() |
Puron Wenda (foto: MiliterMeter.com) |
Direktur eksekutif IPAC yang juga pengamat terorisme, Sydney Jones , menyebut kelompok Egianus Kogoya merupakan sempalan dari kelompok pimpinan Kelly Kwalik, komandan sayap militer OPM, yang tewas dalam penyergapan polisi pada 2009.
Militansi kelompok ini diamini oleh peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ), Adriana Elizabeth yang menyebut organisasi sayap militer OPM ini merupakan 'kelompok yang paling agresif'.
"Kalau dalam struktur (organisasi) tidak ada hierarki, menurut saya, jadi itu ada beberapa kelompok. Tapi kalau melihat pola yang dilakukan kelompok Egianus Kogoya ini memang ini kelompok yang paling agresif, yang mereka sasar itu memang TNI" jelas Adriana.
IPAC dalam laporannya menyebut Kelly Kwalik berada di balik penculikan dan pembunuhan delapan orang pendatang di Papua pada 1986. Sepuluh tahun kemudian, pada Januari 1996, Kelly Kwalik menculik tim peneliti satwa liar, termasuk enam orang asing di Mapenduma, Nduga.
![]() |
Kelly Kwalik (foto: Wikipedia) |
Menyusul kematian Kelly Kwalik, pusat kegiatan bersenjata OPM bergeser ke utara di daerah Puncak Jaya, di mana salah satu pejuang Kelly, Goliath Tabuni kini berbasis.
Sejak tahun 2004, Goliath dan pengikutnya menjadikan Puncak Jaya sebagai distrik paling keras di Papua. Ini membuat daerah operasinya meluas ke distrik tetangga, seperti Puncak dan Tolikara, begitu juga Paniai. Goliath, disebut Sebby sebagai panglima tinggi TPNPB, sesuai hasil reformasi militer yang digelar 1 - 5 Mei 2012.
Goliath Tabuni (foto: Wikipedia) |
Mereka dapatkan senjata dengan merampas senjata anggota aparat TNI/ Polri yang lengah, dari pelaku konflik Ambon di Maluku, dan melalui jalur ilegal di perbatasan Papua Nugini.
Sementara faksi - faksi bersenjata merupakan inti simbolis yang penting bagi gerakan pro kemerdekaan, jaringan yang lebih moderat secara aktif melakukan tekanan kepada pemerintah pusat. Sama halnya dalam faksi bersenjata, hubungan antara kelompok ini sering ditandai oleh permusuhan dan kekacauan, namun pada 2014 dibentuklah Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau ULMWP yang terdiri dari Otoritas Nasional Papua Barat (WPNA), Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat (WPNCL) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Sementara dua kelompok yang pertama percaya mereka memiliki legitimasi lebih karena akar mereka dalam gerakan yang lebih tua, termasuk OPM bersenjata, KNPB sejak 2008 menunjukkan kemampuan yang jauh lebih besar untuk memobilisasi protes di Papua.
Tahun 2017, Benny Wenda, juru bicara ULMWP mengklaim telah menyerahkan petisi ke PBB, yang antara lain mengharapkan Papua masuk kembali dalam daftar di Komite Dekolonisasi PBB, setelah dikeluarkan dari daftar tahun 1963 menyusul hal yang disebut sebagai invasi Indonesia.
![]() |
Benny Wenda (foto: CNN Indonesia) |
Referensi:.
Organisasi Papua Merdeka, Apa dan Siapa Mereka ?
Okezone.com
Organisasi Papua Merdeka dan Bahaya Separatisme
suaramuslimnet
Senin, 10 Juni 2019
Kisah Para Nabi dan Rasul PDF
Karya: Ibnu Katsir
Pentahqih: Abu Fida' Ahmad bin Bahrudin
Taqhih Hadist Berdasarkan Takrij Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Abani
Penerbit: Pustaka As-Sunah
Biografi singkat Ibnu Katsir
Makkah merupakan tempat pertama turunnya Al-Qur’an. Dari sinilah Nabi pertama kali menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril kemudian mengajarkannya kepada para sahabat. Dari Nabi para sahabat menerima bacaan Al-Qur’an dan mereka berlomba-lomba penuh antusias menghafal setiap ayat yang disampaikan oleh Nabi. Dari para sahabat, para tabi’in menerima bacaan Al-Qur’an dan kemudian mereka mengajarkannya kepada generasi berikutnya.
Hingga lahirlah generasi qur’ani yang menetap di Makkah dan menjadi salah satu imam qira’at sab’ah. Salah satu generasi tabi’in yang dikenal piawai dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya adalah Imam Ibnu Katsir.Ia merupakan imam yang fasih, pandai berorasi, dan cerdik. Pembawaannya tenang dan berwibawa. Selain sebagai imam dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan qira’at, beliau juga dikenal sebagai qadli (hakim) di Makkah. Tidak ada seorang pun yang meragukan kepaiawaiannya dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdullah bin Zadan bin Fairuz bin Hurmuz. Sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau dikenal dengan sebutan Ibnu Katsir al-Dari, dinisbatkan kepada bani Abdi al-Dar. Sebagian riwayat yanglain mengatakan bahwa kata “al-Dari” dinisbatkan pada sebuah tempat di Bahrain. (Bedakan dengan ahli tafsir kenamaan, Ibnu Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi, red).
Beliau lahir pada tahun 45 H dan menetap di sana hingga remaja di Makkah. Secara fisik, Imam Ibnu Katsir ini memiliki fisik yang tinggi, berisi, gelap kulitnya, biru bola matanya, putih rambut dan jenggotnya.
Sebagai tabi’in generasi awal yang tinggal di Makkah, Imam Ibnu Katsir pernah berjumpa dengan beberapa parasahabat, di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub al-Ansari, Anas bin Malik, Mujahid bin Jabar, dan Darbas pembantu (asisten) Abbas.
Ibnu Katsir kemudian diberi kepercayaan untuk menjadi khatib pada masjid di kota Mizza yang didirikan oleh amir Bahauddinal-Marjadi. Ia juga dipercaya untuk mengajar mata kuliah hadits dan ilmu hadits menggantikan posisi adz-Dzahabi yang meninggal dunia. Selanjutnya ia diangkat menjadi rektor Darul Hadits al-Asyrafiyah menggantikan Taqiuddin as-Subki yang wafat pada tahun 756 H.
Sebagai ulama ia banyak menghasilkan karya-karya ilmiah dari berbagai disiplin ilmu Islam, seperti tafsir, hadits, juga sejarah. Diantaranya kitab Tafsir al-Quran al-Adzim yang dikenal dengan nama tafsir Ibnu Katsir; Jamiul masanid was Sunan, sebanyak 8 jilid yang berisi tokoh-tokoh perawi hadits; at Ma’rifatus Tsiqat wad Dhu’afa, sebanyak 5 jilid yang berisi nama-nama perawi yang kuat dan yang lemah; Mukhtashar kitab Muqaddimah Ibnu shallah; al-Ba’is al-Hadits, berisi masalah ilmu hadits. Sedangkan dalam bidang sejarah ia menghasilkan kitab: al-Bidayah Nihayahs 14 jilid; al-Fashal fi sirah ar-Rasul; Thabaqat asy-Syafi’iyah. Dalam bidang fiqh beliau menulis al-fi Thalabil Ijtihad.
Ibnu Katsir wafat pada bulan Sya’ban tahun 774 H, bertepatan dengan bulan Februari 1373 M. Beliau dimakamkan di Damaskus, bersebelahan dengan makam gurunya Ibnu Taimiyah.
Nama File: Kisah Para Nabi dan Rasul oleh Ibnu Katsir
Jenis File: PDF (465 halaman)
Ukuran: 38 Mb
Download via MediaFire
Selasa, 04 Juni 2019
Download Buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto oleh John Roosa PDF
Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris; "Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia" (dalam bahasa Indonesia; "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto").
Sang penulis, John Roosa adalah seorang sejarawan dan profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Sebagai sejarahwan yang memiliki integritas, John Roosa melakukan investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, hati nuraninya terketuk, atas tirani yang dilakukan rezim Suharto. Rezim itu tak lebih dari sekedar attack dog (antek) para taipan pemodal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah, seperti yang terjadi pada tambang emas Freeport di Papua.
Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme dan lain sebagainya.
Menurut John Roosa, pembantaian tersebut terdiri dari dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan?
Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.
Hubungan antara "oknum pimpinan Angkatan Darat" dan Amerika Serikat erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak oknum perwira Angkatan Darat diterbangkan ke Negeri Paman Sam untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant (mata-mata)!untuk militer Amerika. Mereka menyediakan senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. Paman Sam juga membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto" ujar John Roosa.
John Roosa kembali menyatakan, "Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya.
Mereka adalah para pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya. Extra-judicial killings (hukuman mati tampa peradilan sebelumnya), penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir".
Referensi:
Interview IndoPROGRESS dengan Prof.John Roosa: "Identitas Bangsa Indonesia Berubah Total Sesudah 1965" (Senin, 25 April 2011)
Sang penulis, John Roosa adalah seorang sejarawan dan profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Sebagai sejarahwan yang memiliki integritas, John Roosa melakukan investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, hati nuraninya terketuk, atas tirani yang dilakukan rezim Suharto. Rezim itu tak lebih dari sekedar attack dog (antek) para taipan pemodal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah, seperti yang terjadi pada tambang emas Freeport di Papua.
![]() |
John Roosa |
Menurut John Roosa, pembantaian tersebut terdiri dari dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan?
Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.
Hubungan antara "oknum pimpinan Angkatan Darat" dan Amerika Serikat erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak oknum perwira Angkatan Darat diterbangkan ke Negeri Paman Sam untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant (mata-mata)!untuk militer Amerika. Mereka menyediakan senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. Paman Sam juga membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto" ujar John Roosa.
John Roosa kembali menyatakan, "Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya.
Mereka adalah para pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya. Extra-judicial killings (hukuman mati tampa peradilan sebelumnya), penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir".
Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Format: Pdf (E-book)
Ukuran: 1.8 Mb
Referensi:
Interview IndoPROGRESS dengan Prof.John Roosa: "Identitas Bangsa Indonesia Berubah Total Sesudah 1965" (Senin, 25 April 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)