Pada masa pendudukan Jepang, ada satu kasus yang menggemparkan dunia
kedokteran. Pada Juli 1944, ratusan romusha (pekerja paksa) di Klender
Jakarta dicurigai terkena wabah penyakit. Dokter- dokter Jepang setempat
menyuntikkan vaksin tipes, kolera, dan disentri kepada mereka.
Alih-alih sembuh, sekira 900 romusha malah tewas. Pemerintah pendudukan
Jepang langsung mencurigai dokter-dokter di Lembaga Eijkman, lembaga
penelitian medis dan biologi di Jakarta. Polisi militer (Kenpetai)
memeriksa mereka dengan tuduhan telah meracuni vaksin yang diberikan
kepada para romusha. Lembaga Eijkman dirintis tahun 1888. Namanya
diambil dari nama penelitinya yang terkenal dan penerima Nobel:
Christian Eijkman. Sejak itu, Lembaga Eijkman menjadi pusat riset medis
dan biologi tersohor di Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang,
Lembaga Eijkman diberitakan sedang meneliti vaksin lain di bawah
pimpinan dr Achmad Mochtar, bumiputera pertama yang menjadi direktur
lembaga itu pada 1937. Pemeriksaan Kenpetai berubah menjadi tragedi,
ketika dokter-dokter ini kemudian ditangkap dan disiksa pada Oktober
1944. Ada yang dipukuli, disetrum, sampai dibakar hidup-hidup. Karena
tak mendapatkan bukti, pada Januari 1945 Jepang membebaskan staf- staf
Eijkman dalam keadaan yang menyedihkan.
Dua dokter, Marah Achmad Arif dan Soeleiman Siregar, meninggal dunia
dalam tahanan akibat siksaan. Sedangkan Achmad Mochtar dijatuhi hukuman
mati. Menurut Moh. Ali Hanafiah, asisten dr Mochtar, dalam Drama
Kedokteran Terbesar, dr Mochtar dipaksa mengaku mengotori vaksin yang
menyebabkan kematian banyak orang itu. Dia dituduh memasukkan bakteri
tetanus ke dalam vaksin tifus, kolera, dan disentri. Pada Juli 1945, dr
Mochtar dieksekusi tanpa pengadilan dengan cara dipancung. Jenazahnya
dikebumikan di pemakaman massal Ancol. Peristiwa ini menimbulkan tanda
tanya besar dan merupakan tragedi yang memilukan dalam dunia kedokteran
Indonesia dan bagi Lembaga Eijkman. “Peristiwa ini, dan perang berdarah
untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mengikutinya, secara
efektif menghancurkan institut ini sampai akhirnya ditutup pada tahun
1965,” tulis JK Baird, “Tropical Health and Sustainability,” termuat
dalam Infectious Disease karya Phyllis Kanki dan Darrell Jay Grimes. JK
Baird, direktur Clinical Research Unit Oxford University, menghabiskan
waktu berbulan-bulan untuk menyelidiki pembunuhan dr Mochtar. Dia
mengungkapkan, kematian romusha disebabkan eksperimen dokter Jepang yang
membuat vaksin tetanus untuk kebutuhan tentara dan penerbang Jepang.
Dan para romusha menjadi kelinci percobaannya. Untuk menutupi hal ini,
Lembaga Eijkman difitnah. Dan Mochtar menjadi kambing hitam untuk
menyelamatkan staf Eijkman dan koleganya. “Achmad Mochtar bukan hanya
pahlawan bagi Indonesia, tapi juga seorang pahlawan bagi sains dan
kemanusiaan,” kata Baird, dikutip theguardian.com, 25 Juli 2010. “Kita
biasanya menemukan heroisme seperti ini dalam diri seorang militer,
bukan seorang intelektual. Tapi itu semua tidak benar, jika kita melihat
kisah dari seorang Achmad Mochtar.” Achmad Mochtar lahir dan besar di
Sumatra Barat pada 1892. Dia kemudian merantau ke Jawa untuk melanjutkan
studinya di sekolah dokter bumiputera (Stovia) sampai lulus pada 1916.
Dia kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam. Kini
namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bukittinggi, Sumatra
Barat. Lembaga Eijkman yang pernah dipimpinnya aktif kembali sejak 1992.