Thomas Edward Lawrence, (lahir tanggal 16 Agustus 1888 , wafat tanggal 19 Mei 1935), adalah seorang arkeolog Inggris, perwira militer, dan diplomat. Pada 1910, Thomas Edward Lawrence lulus dengan nilai memuaskan dari Jesus College. Ia belajar sejarah dan agama di perguruan tinggi yang dinaungi Universitas Oxford di Inggris itu.
Dengan Tesisnya berjudul "The Influence of the Crusades on European Military Architecture to the End of the 12th Century". Tesis tersebut menunjukkan betapa ia menyukai topik perang salib yang mempertarungkan dua kubu utama: Kristen dan Islam. Thomas Edward Lawrence memang dibekali ilmu agama yang cukup kuat. Sejak kecil, Tom sangat aktif dalam berbagai kegiatan religi dan kerap menjadi pengiring mazmur kudus di Gereja bernama Gwynedd Wales yang berada dekat rumahnya.
Baca Juga: Deklarasi Balfour 1917 - Peran Inggris Dibalik Berdirinya Negara Zionis Israel
Thomas Edward Lawrence menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Arab dari penguasaan Kesultanan Turki Ottoman. Terlepas dari bagaimana cara dan upaya yang dilakukan Tom alias Lawrence, ia adalah salah satu penyebab utama pecahnya Revolusi Arab yang pada akhirnya berujung pada kemunculan kerajaan Arab Saudi.
Pada tahun terakhir dekade pertama abad ke-20, Thomas Edward Lawrence berlayar ke Beirut yang sekarang menjadi ibukota Libanon. Lawrence menguasai berbagai bahasa asing, termasuk Prancis, Jerman, Latin, Yunani, Arab, Turki, Suriah, dan masih banyak lagi, yang membuatnya cukup mudah diterima di berbagai negara yang dikunjunginya. Awalnya, Thomas Edward Lawrence bekerja sebagai arkeolog di beberapa negara di kawasan Timur-Tengah hingga Afrika Utara. Dilibatkan oleh para ahli dari British Museum, ia beberapa kali terlibat proyek penggalian benda-benda bersejarah di Suriah, juga di Mesir, sampai mendekati 1914.
Perang Dunia I yang dimulai sejak 28 Juli 1914 menyeret Lawrence ke persoalan yang lebih serius. Sebelum perang meletus, Thomas Edward Lawrence diminta militer Inggris dari Imperium Britania untuk melakukan observasi di Gurun Negev (Najib), sebuah Padang pasir di wilayah Israel dan Palestina yang merupakan jalur strategis, dan segala informasi tentangnya akan sangat berguna bagi Inggris. Gurun Negev menjadi akses utama tentara Turki Ottoman jika hendak melakukan serangan. Kekhalifahan Turki Ottoman adalah penakluk jazirah Arab saat itu. Hampir semua wilayah di Timur Tengah berada di bawah penguasaannya, dan Inggris atau Britania Raya tentunya punya kepentingan di situ, selain keterlibatannya di Perang Dunia I.
Klan-klan di jazirah Arab justru saling berperang satu sama lain. Klan terbesar Bani Hasyim, yang juga klan sang Nabi Muhammad. Klan Hasyim ini menjadi penguasa di Mekkah dan Madinah (atau Hejaz). Sedangkan Klan Saud atau Bani Saud berkuasa di Najd, yang masih berada di kawasan Arab Saudi sekarang. Bagi Inggris, Bani Hasyim yang memimpin Kota Hijaz (sekarang Mekkah), sangat penting. Dalam situasi krusial Perang Dunia I, penguasa Hejaz adalah Sharif Hussein yang diangkat sebagai Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909. Tanpa campur tangan Inggris sekali pun, kerajaan-kerjaan di jaziarah Arab sebenarnya sudah mulai tidak nyaman dengan status mereka sebagai bawahan Kekhalifahan Ottoman di Turki.
Baca Juga : Negara Israel Hampir Didirikan di Uganda Lemahnya penguasa, perilaku korup & dzolim, perekonomian yanh semakin terpuruk akibat perang & banyaknya kekalahan menyebabkan Kemunduran Kekhalifahan Ottoman. Keadaan ini diperparah dengan memunculan sentimen nasionalisme Arab yang semakin marak, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung. Benih-benih Perang terhadap Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman.
Peluang ini pun tidak disia-siakan oleh Inggris. Diutuslah Lawrence untuk menemui Sharif Hussein. Lewat Lawrence, Inggris menjanjikan sebagian besar wilayah Arab akan menjadi milik Sharif Hussein jika ia segera mengumumkan perlawanan terhadap Turki Ottoman. Inggris juga siap membantu dana perang dan persenjataan lengkap. Tapi, Inggris rupanya sudah menyiapkan strategi lain. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk melawan Turki Ottoman. Tanpa sepengetahuan Sharif Hussein, Inggris pada 1916 itu juga meneken Perjanjian Sikes Piccot dengan Prancis. Isinya, wilayah Arab nanti akan dibagi dua. Inggris mendapatkan Irak, Yordania, Haifa (Israel), dan sekitarnya, sementara Prancis diberi Suriah dan Libanon. Adapun sebagian besar wilayah Palestina akan berada dalam kontrol bersama.
Selain itu, Inggris juga menandatangani Perjanjian Balfour yang isinya memberikan hak kepada Yahudi internasional untuk mendirikan negara zionis di Palestina jika Turki Ottoman sudah dikalahkan. Hal ini diberikan Inggris karena kaum zionis berhasil membujuk Amerika Serikat membantu Sekutu melawan kubu Jerman di Perang Dunia I.
Pecah-Belah Timur Tengah : Pada 16 Oktober 1916, Lawrence atas perintah Inggris menemui tiga putra Sharif Hussein yaitu Ali, Abdullah, dan Faisal. Lawrence berusaha mendekati secara personal anak-anak sang emir, terutama Faisal, yang dinilai sebagai calon terbaik untuk memimpin Revolusi Arab. Di sinilah peran krusial Lawrence bermain. Ia benar-benar membaur dengan kehidupan orang Arab agar bisa menarik hati Faisal dan saudara-saudaranya. Lawrence mempelajari Islam, sering menghadiri majelis kajian agama, dan menerapkan tradisi muslim seperti berpakaian Arab atau mengucapkan salam. Lawrence pun akhirnya terlibat dalam banyak insiden melawan Turki Ottoman yang terjadi berbagai tempat. Ia menjadi penasihat militer kepercayaan Faisal. Pengaruh Lawrence amat strategis sehingga orang-orang Arab segan dan mendengar saran-sarannya dengan penuh kepercayaan. Dibantu persenjataan oleh Inggris, dan dikawani oleh Lawrence, militer Hejaz memperoleh rentetan kemenangan atas Turki Ottoman dalam peperangan sepanjang tahun 1916-1918.
Peran Lawrence tidak hanya di Mekkah atau Madinah saja, ia juga menjadi aktor kemenangan di berbagai tempat lain, termasuk Suriah dan Mesir. Salah satunya adalah Pertempuran Damsyiq yang berhasil merebut Damaskus dari penguasaan Turki Ottoman. Lawrence pula yang dengan cerdiknya mengusulkan agar orang Turki dibiarkan melakukan pengepungan Medinah agar militer Arab bisa merusak jalur kereta api yang menghubungkan Turki dengan Hejaz. Jalur yang dibangun untuk memudahkan, terutama, perjalanan haji dari Turki ini sangat strategis karena menjadi alat transportasi logistik tentara Turki. Begitu jalur kereta bisa dirusak dan diganggu, kekuatan Turki pun pelan-pelan merosot. Seluruh pasukan Turki Ottoman akhirnya berhasil dipukul mundur pada 27 September 1918. Itu berarti, misi Inggris (bersama Prancis) untuk menguasai Jazirah Arab hampir pasti tercapai, berkat andil besar Lawrence, yang segera pulang ke Inggris setelah tugasnya selesai. Sharif Hussein akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya, Pangeran Ali. Sedangkan Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal I of Iraqi) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah, menjadi penguasa di Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan). Namun kekuasaan klan tersebut mulai diganggu oleh Bani Saud yang berkuasa di Nejd. Bani Saud yang sempat berkuasa di Hejaz sejak abad-17. Bani Saud mengincar kekuasaan Hussein Ali di Hejaz dan, lagi-lagi, mereka mendapatkan bantuan Inggris. Ia memulai kampanyenya dengan menaklukkan Riyadh. Pada 1926, di bawah kepemimpinan Abdul Azis, Bani Saud kembali menguasai Hejaz. Keturunan Sharif Hussein pun tersingkir dari Mekkah dan Madinah. Abdul Azis inilah yang kemudian mendeklarasikan nama Arab Saudi sebagai nama kerajaan yang merupakan gabungan Hejaz dan Najd. Abdul Azis menjadi raja Arab Saudi yang pertama. Raja Salman yang akan berkunjung ke Indonesia adalah raja ketujuh Arab Saudi.
Lalu, apa kabar Lawrence? Setelah pulang ke Eropa pada akhir 1918, ia membantu Inggris dan Prancis dalam hal diplomasi dengan bangsa Arab. Ia juga sempat kembali bertugas di ketentaraan, termasuk sebagai intelijen, selama beberapa tahun sebelum tewas dalam kecelakaan motor di dekat kediamannya di Inggris pada 19 Mei 1935.
Referensi: Buku: Library of Middle East History , Volume 10, 2006:15. By Weldon Matthews. Buku: The Saudi Enigma: A History, 2005:81. By Pascal Menoret Buku: A Companion to International History, 2008:134. By Gordon Martel Buku: Britain Through Muslim Eyes, 2015. By Claire Chambers
Buku : Dinasti Bush Dinasti Saud (2004). By Craig Unger, mantan deputi director New York Observer. Artikel “Lawrence of Arabia was a Zionist” dimuat Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007. Penulis: Martin Gilbert Buku: Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia.(1992) By George Lenczowski (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Buku: History oh the Arabs (2006). By Philip K. Hitti
Peran (Orang) Inggris di Balik Lahirnya Arab Saudi - Tirto.id (28 Februari 2017)