SURVEI
Peran lembaga survei dalam perkembangan demokrasi dan pemilu di Indonesia menjadi perhatian dalam negeri kita. Sejak era Reformasi, hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan atau bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu DPR, DPD dan DPRD (legeslatif), pemilu Presiden/wakil sampai pada pemilu kepala daerah propinsi, dan tingkat kabupaten/kota, lembaga survei senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat setelah pemilu dilangsungkan.
Awalnya lembaga survei digunakan oleh perusahaan-perusahan besar untuk memperoleh data tentang peluang pasar, konteks sosial konsumen terkait dengan barang produksi perusahaan tersebut. Hal ini sangat membantu perusahaan, guna menciptakan produk yang mudah diserap pasar dan konsumen. Dari sinilah lembaga survei secara perlahan merembes masuk dalan dunia sosial dan politik.
Dalam proses demokratisasi, lembaga survei merupakan sebuah keniscayaan di tengah euforia demokrasi, karena kehadiran lembaga survei jalan beriringan dengan kehidupan negara ‘berdemokrasi’. Kehadirannya mampu menjadi jembatan dan memberikan informasi tentang persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap kondisi dan perkembangan sosial-politik, bahkan juga bagian dari pendidikan politik. Asal sesuai dengan etika dan profesionalisme sebagai lembaga survei.
Lembaga survei harus berada pada jalur yang terkontrol agar hadirnya justru tidak merusak tatanan demokrasi. Posisi lembaga survei dalam transisi demokrasi menjadi komponen yang cukup penting, karena prinsip keterwakilan (representativeness) dan keilmiahannya (scientificness) adalah unsur penting yang dalam merancang sebuah keputusan dan kebijakan. Hal itulah maka sulit terpisahkan antara politik dan lembaga survei.
Lembaga survei sebaiknya tidak hanya berbicara mengenai pemenangan kandidat, tapi posisinya juga dapat berbicara mengenai kebijakan publik, Fungsinya untuk merespon tanggapan dan harapan masyarakat tentang kebijakan pemerintah. Posisi inilah yang membuat lembaga survei menjadi elemen penting dalam negara demokrasi. Di sinilah peran lembaga survei sebagai penghubung antara imajinasi masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Eksistensi lembaga survei secara yuridis sudah dikuatkan kembali berdasarkan putusan MK 24/PUU-XII/2014, menyatakan bahwa “Pasal 247 ayat (2), ayat (5), ayat (6), Pasal 291, dan Pasal 317 ayat (1), ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,”.
Terkait perhitungan cepat, MK menilai hingga saat ini tidak ada yang menunjukkan hasil quick count menimbulkan keresahan maupun mengganggu ketertiban umum. Meski perhitungan cepat bukanlah hasil resmi, tetapi perlu diketahui masyarakat. Lagipula, banyak masyarakat yang mengetahui kalau hasil resmi hanya dikeluarkan KPU sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Karenanya, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang maupun pengumuman perhitungan cepat adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan UUD pasal 28F.
Namun, MK mengingatkan obyektivitas lembaga survei dan penghitungan cepat harus independen atau tidak memihak salah satu peserta pemilu. Lembaga survei yang mengumumkan hasil survei dan penghitungan cepat harus tetap bertanggung jawab baik secara ilmiah dan hukum.
Ada lembaga survei yang hasil-hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi, tapi ada juga yang prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei yang benar-benar obyektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional yang disewa partai politik atau kandidat yang obyektivitasnya dipertaruhkan.
Hasil-hasil survei yang berbeda yang dilakukan lembaga survei cenderung menciptakan kebingungan publik. Maka pada titik ini, lembaga survei sebenarnya memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap pendidikan politik dan demokrasi bagi masyarakat.
Menjadikan lembaga survei sebagai tempat utama mencari nafkah merupakan salah kaprah dan berbanding terbalik dengan proses demokratisasi. Latar belakang utama berdirinya sebuah lembaga survei adalah memberikan pendidikan politik terhadap publik melalui penelitian yang obyektif.
Suatu survei harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum. Selain metodologinya harus benar, ukuran keilmiahan survei bergantung pada tingkat kejujuran lembaga survei. Jika proses pengumpulan data, pengolahan data, dan penyampaian hasil survei dilakukan secara benar dan jujur, maka survei tersebut baru bisa disebut sebagai survei yang ilmiah. Selain itu karena hasil disampaikan ke publik, bila tidak benar dan ada masyarakat merasa terganggu atau dirugikan oleh hasil tersebut diberikan ruang untuk menggugat baik pidana maupun perdata. Sehingga kontrol bagi masyarakat kepada lembaga survei juga beerjalan.
Pentingnya faktor transparansi. Hasil survei politik harus disampaikan secara terbuka dengan menyebutkan berbagai informasi yang perlu diketahui oleh publik. Satu yang paling terpenting untuk diinformasikan kepada publik adalah terkait pembiayaan survei.
Lembaga survei harus transparan menyebutkan sumber dana dari kegiatan surveinya, termasuk menyebutkan pihak yang menjadi pemesan jasa survei.
Soal independensi, lembaga survei harus menyatakan bahwa hasil survei yang dipublikasikannya bebas dari kepentingan politik. Hasil survei tidak dimaksudkan untuk mengarahkan masyarakat kepada kepentingan politik tertentu.Tidak pula men-generalisasi dan meng-klaim bahwa seolah-olah survei tersebut mewakili pendapat dari seluruh masyarakat.
Margin of Error
Dalam sebuah survei publik, data yang diambil berbentuk sampel yang dapat mewakili populasinya. Namun, dalam mengambil sampel yang secara tepat merepresentasikan populasi, dapat dikatakan sangat sulit. Sehingga diperlukan tingkat toleransi dari kesalahan sampel supaya populasi tetap terwakilkan.
Untuk mengetahui seberapa baik sampel dalam mewakili populasi dapat dengan melihat margin of error. Margin of error menggambarkan jumlah kesalahan yang biasa terjadi pada pengambilan sampel dalam survei yang dilakukan oleh peneliti.
Semakin besar persentase margin of error maka semakin jauh suatu sampel tersebut dapat mewakili populasinya. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil margin of error , maka semakin dekat suatu sampel dalam mewakili populasi sesungguhnya.
Margin of error yang lebih rendah tidak menjamin suatu survei lebih kredbiel daripada hasil survei lainnya. Karena, margin of error hanya membatasi besar kesalahan maksimal yang ada dalam survei.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai margin of error , antara lain ukuran populasi dan cara pengambilan sampel ( sampling method ). Namun, faktor terbesar yang mempengaruhi margin of error adalah jumlah sampel.
Secara sederhana, jika diasumsikan tingkat kepercayan 95%, nilai z adalah 1,96 dan nilai s adalah 0,5, maka sampel dengan jumlah 100 memiliki margin of error sebesar 9,8%. Sedangkan, dengan asumsi yang sama, jika jumlah sampel adalah 2000 maka nilai margin of error menjadi (hanya) 2,19%.
Margin of error inilah yang membuat hasil survei tidak tepat dibaca "si A menang atas si B" selama selisihnya masih berada dalam margin of error . Selain itu, selama masih dalam margin of error, hasil survei tetap bisa dikatakan valid walau pun hasil akhir berbeda.
Metode Pengambilan Sampel :
Selain jumlah sampel, faktor lain yang berpengaruh, khususnya pada penelitian sosial adalah metode pengambilan sampel ( sampling method ). Ada berbagai macam sampling method yang digunakan dalam penelitian. Namun metode yang paling sering digunakan dalam survei elektabilitas antara lain stratified systematic random sampling dan multistage random sampling .
Dalam pengambilan sampel menggunakan teknik stratified systematic random sampling , populasi terlebih dahulu dikelompokan menjadi sub-sub populasi dengan kriteria yang sama.
Setelah itu, dari sub populasi, akan diambil sampel secara acak dan proporsional mengikuti ukuran sampel. Pengambilan secara acak ini hanya dilakukan pada unsur pertama dari sampel yg dipilih, sedangkan unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu pola tertentu.
Sebagai ilustrasi teknik stratified systematic random sampling , pada survei elektabilitas Pilgub DKI, salah satu kriteria responden misalnya pemilih pemula (baru pertama kali mengikuti pemilu) dengan tingkat pengeluaran maksimal Rp 500 ribu per bulan.
Maka, dari populasi, akan dipilih sub populasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Dari sub populasi tersebut akan dibagi lagi menjadi sub grup berdasarkan kotamadya. Jumlah responden berdasarkan kotamadya ini dihitung berdasarkan ukuran sampel terhadap sub populasi sesuai kriteria.
Selanjutnya, dibentuk kembali sub grup tingkat kecamatan hingga yang terkecil. Jumlah responden mulai dari tingkat kecamatan ini dihitung berdasarkan pola tertentu, misalnya di Kecamatan A hanya kriteria pemilih pria pemula dengan pengeluaran maksimal Rp500 ribu per bulan dan Kecamatan B adalah pemilih wanita pemula dengan pengeluaran maksimal Rp500 ribu per bulan.
Sedangkan pada teknik multistage random sampling , pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat. Misalnya, pada survei elektabilitas DKI Jakarta, pada tahap pertama sampel diambil dari tingkat kotamadya, seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Lalu pada tahap selanjutnya, sampel diambil dari tingkat di bawahnya, yaitu kecamatan. Begitu seterusnya hingga tingkat terkecil dan jumlah sampel telah memenuhi ukurannya (sample size).
Dalam teknik ini, tidak diutamakan kesamaan karakteristik sampel.
Teknik pengambilan sampel ini sangat terkait dengan analisis hasil riset yang dilakukan oleh peneliti. Karena karakteristiknya berbeda, maka hasil penelitian dengan metode pengambilan sampel yang berbeda tidak dapat dibandingkan.
Karena, hasilnya akan bias jika dibandingkan satu sama lain.
Namun inilah yang banyak terjadi dalam beberapa hari terakhir setelah dirilisnya hasil survei dari berbagai lembaga. Hasil survei dari berbagai lembaga yang menggunakan metode pengambilan sampel berbeda-beda, dideretkan satu per satu untuk dibandingkan hasilnya.
Semakin banyak tahapan/(sub)kriteria pengambilan sampel yang digunakan cenderung akan menurunkan response rate . Response rate adalah persentase banyaknya responden yang menjawab instrumen penelitian secara valid terhadap jumlah sampel yang ditetapkan pada awal penelitian.
Contohnya, jika pada awal ditetapkan jumlah sampel sebanyak 500 orang dan responden yang menjawab kuesioner secara valid sebesar 250 orang, maka
response rate sebesar 50% (500/2500x100%).
Padahal, response rate merupakan dasar dari kredibilitas data yang disajikan. Rendahnya response rate merupakan indikasi dari kegagalan dalam pengambilan data. Karena akan menyebabkan hasil yang bias, dalam hal ini ada kemungkinan meningkatkan
margin of error , sehingga data yang disajikan pun menjadi lebih meragukan.
Catatan:
*. Kedua, nilai margin of error yang selalu dicantumkan dan bahkan menjadi penguat analisis untuk membandingkan berbagai hasil survei belum digunakan dengan tepat.
Karena nilai ini dipengaruhi oleh jumlah sampel dan
sampling method, berbeda jumlah dan tekniknya tentu bisa menghasilkan angka yang berbeda.
Di sisi lain, informasi penelitian elektabilitas pun banyak yang tidak lengkap, seperti tidak ditampilkannya response rate , waktu penelitian dan metode pengolahan data.
Padahal, penelitian yang baik, atau bisa juga disebut kredibel, adalah yang menampilkan secara transparan mulai dari karakteristik responden hingga metode pengolahan dan analisis data yang digunakan.
Keilmiahan sebuah penelitian tidak hanya diukur dari hasilnya yang akurat dengan realitas yang sebenarnya, melainkan juga kesediaan untuk bersikap transparan dalam metode dan prosedur penelitian, teknik pemilihan responden, dll. Semakin transparan maka semakin mungkin penelitian itu untuk diuji, diverifikasi maupun difalsifikasi oleh orang/pihak lain, termasuk oleh publik.
Inilah prinsip dasar ilmu pengetahuan modern.Sebuah penelitian yang tidak transparan, bahkan walau pun hasilnya ternyata sangat mendekati kenyataan, tetap memungkinkan untuk diragukan. Publik bisa saja bertanya: dari mana hasil yang "valid" itu? Betul-betul berdasarkan penelitian ilmiah atau hanya kebetulan belaka?
QUICK COUNT
Quick count adalah alat untuk mengetahui hasil pemilu secara cepat dengan mengambil sampel di tempat pemungutan suara (TPS). Quick count bukan sekadar untuk tahu pemilu saja, tapi juga sebagai perbandingan dengan hasil resmi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Jadi bisa dibilang ini adalah alat untuk mengawal demokrasi.
Tahapan-tahapan kerja lembaga survei saat melakukan quick count:
1. Menentukan sampel TPS
Langkah pertama membangun mesin quick count adalah menentukan sampel TPS. Hamdi mengatakan, sampel TPS yang diambil harus diambil secara acak dan representatif dengan mewakili karakteristik populasi di Indonesia.
Semakin besar jumlah sampel TPS yang diambil, semakin kecil tingkat kesalahan atau margin of error.
Besar jumlah sampel yang diambil, makin akurat hasil yang didapat. Dia juga mengatakan, metode acak (random sampling), terutama multistage random sampling juga ikut menjadi penentu akurasi selain jumlah sampel. Hampir semua quick count memakai metode pengacakan sehingga persebaran merata dan proporsional. Kalau di luar pengacakan, hasilnya bisa jadi berbeda meski jumlah sampelnya sama
Hal yang krusial dalam quick count ada disampling (penentuan sampel). Semakin ketat melakukan sampling , semakin bagus (hasilnya). Akurasi berbicara di level sampling. Jumlah sampel TPS juga terkait dengan alokasi dana yang dimiliki. Semakin banyak jumlah sampel, kata dia, semakin besar pula dana yang dikeluarkan karena berkaitan dengan honor para relawan.
2. Merekrut relawan
Merekrut relawan adalah langkah kedua membangun tahapan melakukan quick count,
setelah menentukan sampel TPS. Para relawan ini bertugas memantau TPS hingga rekapitulasi suara untuk kemudian mengirimkannya ke pusat data.
Dalam prosedur standar lembaganya, para relawan direkrut berdasarkan asal kelurahan di mana sampel TPS berada. Alasannya, para relawan bisa lebih mengetahui tantangan geografis dan sosial wilayah TPS. Selain memberikan logistik, relawan akan mendapat pengetahuan dan keahlian dari tutor di tingkat provinsi.
Lembaga wajib menerapkan quality control terkait relawan. Ada spotchecker yang bertugas secara acak untuk mengetes pengetahuan relawan mengenai quick count di TPS. Keberadaan relawan harus diketahui oleh pihak Kelompok Panitia Penyelenggara Suara (KPPS) setempat.
Prosedur setiap relawan, kuesionernya ditandatangani atau dicap oleh KPPS setempat sebagai bukti kalau dia ada di TPS. Kita juga menyimpan nomor telepon KPPS kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Komponen terbesar pengeluaran uang dalam proses quick count memang membayar honor para relawan.
3. Simulasi quick count
Setelah mesin quick count terbentuk, langkah selanjutnya adalah menguji coba apakah mesin tersebut telah bekerja dengan baik. Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui letak kelemahan mesin
quick count . Dengan demikian, kata dia, human error dan technical error tidak terjadi pada hari-H.
4. Mengirim rekapitulasi ke pusat data
Para relawan yang memantau di setiap TPS biasanya akan mengirim hasil rekapitulasi suara dalam formulir C-1 dengan menggunakan layanan pesan singkat atau SMS.
Referensi:
Memahami Margin of Error dan Metode Sampling Pada Survei - Tirto.id
Lembaga Survei, Antara Integritas, Kekuasaan dan Komersial - Detik.com
Bagaimana Cara Kerja "Quick Count"? - Kompas.com