Seorang pengacara mengajukan gugatan hukum adalah hal biasa. Namun, jika kasus yang digugat terjadi 2.000 tahun lalu, mungkin jadi hal luar biasa. Bukan oleh umat Islam, Hindu atau Budha, gugatan justru diajukan oleh seorang penganut Kristen Katolik; Dola Indidis, pengacara asal Kenya, mengajukan sebuah gugatan hukum ke Pengadilan Kriminal Internasional (IJC) di Den Haag, Belanda.
Dalam berkas gugatan yang diajukanya, Indidis menggugat Gubernur Yudea Ponsius Pilatus, Raja Yudea Herodes, Kaisar Romawi Tiberius, sejumlah tetua Yahudi, bahkan ia juga menggugat Republik Italia serta Negara Israel atas pengadilan dan penyaliban yang tidak sah terhadap Yesus Kristus. Dola Indidis mengatakan ; "Saya memasukkan gugatan karena pengadilannya yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecurigaan. Menyiksa Yesus saat persidangan masih berlangsung, bertentangan dengan semua bentuk keadilan. Beberapa dari mereka yang hadir meludah di wajahnya, memukulnya dengan tinjunya, menamparnya, mengejeknya, dan mengatakan bahwa dia layak dihukum mati. Bukti saat ini tercatat dalam Alkitab, dan Anda tidak dapat mendiskreditkan Alkitab."
Bagaimana sidang pengadilan Yesus apabila ditinjau menurut kriteria dalam Alkitab dan di luar Alkitab? Di zaman Yesus, para rabi telah menambahkan segudang peraturan di luar hukum Musa (Taurat), dan banyak di antaranya belakangan dicatat dalam Kitab Talmud. Apakah penangkapan Yesus adalah hasil kesaksian yang bersesuaian dari dua saksi di hadapan pengadilan ? Karena Yang bisa menuntut hanyalah para saksi tindak kejahatan yang dituduhkan. Keterangan satu saksi saja dianggap tidak sah. (Ulangan 19:15 ). Tetapi dalam kasus Yesus, kalangan berwenang Yahudi hanya mencari ”cara yang efektif” untuk menyingkirkan dia. Ia ditangkap dan ditahan sewaktu ada ”kesempatan yang baik”—pada malam hari dan ”tanpa setahu orang banyak”.— Lukas 22:2, 5, 6, 53 .
Pada waktu Yesus ditangkap, tidak ada tuntutan terhadapnya. Para imam dan Sanhedrin, yakni mahkamah agung Yahudi, baru mulai mencari saksi setelah ia ditahan. (Matius 26:59 ) Mereka tidak dapat menemukan dua orang yang kesaksiannya bersesuaian. Mengadili seseorang, terutama yang terancam hukuman mati, tanpa sebelumnya memerinci tindak kejahatan yang membuat dia patut diadili, jelas-jelas merupakan tindakan sewenang-wenang. Pasukan yang menangkap Yesus membawanya ke rumah mantan Imam Besar Hanas, yang mulai menginterogasi dia. ( Lukas 22:54; Yohanes 18:12, 13 ). Tindakan itu sebenarnya melanggar peraturan bahwa kasus dengan ancaman hukuman mati harus disidangkan pada siang hari, bukan malam hari. Selain itu, upaya pencarian bukti apa pun harus dilakukan dalam pengadilan terbuka, bukan tertutup. Sadar bahwa interogasi terhadap Yesus saat itu tidak sah, Yesus mengatakan, ”Mengapa engkau menanyai aku? Tanyailah mereka yang telah mendengar apa yang aku katakan kepada mereka. Lihat! Mereka tahu apa yang aku katakan.” (Yohanes 18:21 )
Mereka seharusnya memeriksa para saksi, bukan si tertuduh. Kata-kata Yesus semestinya menggerakkan hakim yang jujur untuk merespek prosedur yang benar, tetapi mereka tidak berminat akan keadilan. (Bilangan pasal 35), menyatakan bahwa si tertuduh harus dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang sampai terbukti bersalah. Yesus seharusnya mendapatkan perlindungan. Namun karena kata-katanya, Yesus ditampar seorang petugas—salah satu tindak kekerasan yang ia derita pada malam itu. (Lukas 22:63; Yohanes 18:22 ) Para penangkap Yesus kini menggiringnya ke rumah Imam Besar Kayafas, dan persidangan tidak sah di malam hari itu pun berlanjut. (Lukas 22:54; Yohanes 18:24 ). Para imam mencari ”kesaksian palsu menentang Yesus agar dapat menghukum mati dia”, namun tidak ada dua kesaksian yang bersesuaian tentang apa yang Yesus katakan. ( Matius 26:59; Markus 14:56-59 ) Jadi, imam besar berupaya menjebak Yesus dalam kata-katanya sendiri. ”Apakah engkau tidak mengatakan apa-apa sebagai jawaban?” tanyanya. ”Kesaksian apa ini yang mereka berikan menentang engkau?” ( Markus 14:60 ) Taktik ini benar-benar keterlaluan. ”
Menanyai si tertuduh dan mencari kesalahan dalam jawabannya, merupakan pelanggaran terhadap keadilan. Menurut Hukum Musa, pengadilan harus dilakukan secara terbuka. ( Ulangan 16:18; Rut 4:1 ) Tetapi, pengadilan ini dilakukan secara rahasia. Tidak seorang pun berupaya atau diizinkan berbicara membela Yesus. Tidak ada pemeriksaan atas pernyataan Yesus tentang kemesiasannya. Yesus tidak diberi kesempatan menghadirkan saksi-saksi yang membelanya. Tidak ada pemungutan suara yang tertib di antara para hakim untuk menyatakan Yesus bersalah atau tidak bersalah. Kumpulan orang itu akhirnya memanfaatkan pernyataan yang Yesus buat. Sewaktu ditanya: ”Apakah engkau Kristus, Putra dari Pribadi Yang Diagungkan?” Yesus menjawab, ”Akulah dia; dan kamu sekalian akan melihat Putra manusia duduk di sebelah kanan pribadi yang berkuasa dan datang dengan awan-awan langit.” Para imam menganggap kata-kata ini sebagai dalih, dan ”mereka semua menyatakan dia bersalah dan patut dihukum mati”.—Markus 14:61-64 Pengadilan Di Hadapan Pilatus Karena orang Yahudi tidak punya wewenang untuk mengeksekusi Yesus, mereka membawanya kepada Gubernur Romawi Pontius Pilatus. Namun demikian, Pilatus tidak serta merta memercayai tuduhan orang-orang Yahudi tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada Yesus. Apalagi Pilatus tahu bahwa mereka menyerahkan Yesus karena dengki (Markus 15:10).
Jadi Pilatus terlebih dahulu mencari second opinion , baik dari Yesus sendiri sebagai pihak tertuduh, maupun dari pihak ketiga, di luar Yesus, serta dari orang-orang Yahudi yang menuduhNya. Dengan demikian Pilatus memiliki informasi yang lengkap dan berimbang sebelum mengambil keputusan. Pertanyaan Pilatus yang pertama, ”Tuduhan apa yang kamu ajukan terhadap pria ini?” Sadar bahwa tuduhan mereka soal hujah tidak ada artinya bagi Pilatus, orang Yahudi berupaya membuat dia menghukum Yesus tanpa pemeriksaan. ”Jika pria ini bukan pelaku kesalahan, kami tidak akan menyerahkan dia kepadamu,” kata mereka. (Yohanes 18:29, 30)
Pilatus mula-mula berupaya membebaskan Yesus dengan menggunakan tradisi membebaskan seorang tahanan pada hari Paskah. Namun, akhirnya Pilatus malah membebaskan Barabas, yang bersalah karena menghasut dan membunuh.— Lukas 23:18, 19; Yohanes 18:39, 40 . Selanjutnya, dalam upaya membebaskan Yesus, gubernur Romawi itu mengambil jalan tengah. Ia memerintahkan agar Yesus disesah, dipakaikan jubah ungu dan mahkota duri, dipukuli, dan dicemooh. Lalu, ia kembali menyatakan Yesus tidak bersalah. Pilatus seakan-akan mengatakan, ’Sudah puaskah kalian, hai, imam-imam?’ Ia mungkin berharap bahwa keadaan Yesus yang babak belur akibat disesah dengan cara Romawi akan memuaskan rasa dendam atau menggugah keibaan hati mereka. (Lukas 23:22 )
Namun, kenyataannya tidak demikian. ”Pilatus terus mencari cara untuk melepaskan [Yesus]. Tetapi orang-orang Yahudi berteriak, katanya, ’Jika engkau melepaskan pria ini, engkau bukan sahabat Kaisar. Setiap orang yang menjadikan dirinya raja berbicara menentang Kaisar.’” (Yohanes 19:12 ) Kaisar kala itu adalah Tiberius, penguasa yang dikenal suka mengeksekusi siapa pun yang ia anggap tidak loyal—bahkan para pejabat tinggi. Pilatus sudah mengesalkan orang Yahudi, jadi dia tidak dapat mengambil risiko keributan lebih lanjut, apalagi sampai mendapat tuduhan tidak loyal. Teriakan orang banyak itu terasa seperti ancaman terselubung—gertakan—dan Pilatus pun menjadi takut. Ia menyerah di bawah tekanan dan memerintahkan agar Yesus, pria yang tidak bersalah, digantung.—Yohanes 19:16 . Banyak pengamat hukum telah menganalisis catatan Injil tentang sidang pengadilan Yesus. Mereka menyimpulkan bahwa persidangan itu adalah sebuah sandiwara hukum. Fakta bahwa pengadilan itu dimulai, diakhiri, dan vonisnya diumumkan, antara tengah malam dan dini hari, merupakan pemerkosaan terhadap struktur dan ketetapan hukum Ibrani dan juga terhadap prinsip-prinsip keadilan. Seluruh persidangan itu begitu sarat dengan pelanggaran hukum yang terang-terangan dan ketimpangan hukum yang mencolok sehingga hasilnya dapat dianggap sebagai pembunuhan keadilan. Dalam Kaidah Hukum & Hak Asasi Manusia, Hal-Hal yang Tidak Sah dalam Sidang Pengadilan Yesus: � Tidak ada argumen atau saksi yang menyatakan si tertuduh tidak bersalah � Tidak ada hakim yang berupaya membela Yesus; mereka semua adalah musuhnya � Para imam mencari saksi-saksi palsu agar dapat menghukum mati Yesus � Kasusnya diperiksa pada malam hari secara tertutup � Persidangan dimulai dan diselesaikan dalam satu hari, pada petang sebelum perayaan � Tidak ada dakwaan, atau tuduhan, sebelum penangkapan Yesus � Tidak ada pemeriksaan atas pernyataan Yesus tentang kemesiasannya, yang dianggap sebagai ”hujah” � Tuduhan diubah sewaktu kasusnya dibawa ke hadapan Pilatus � Semua tuduhan yang dilontarkan tidak benar � Pilatus mendapati Yesus tidak bersalah tetapi tetap memerintahkan agar ia dieksekusi
Jelas Yesus tidak bersalah. Para penuduh Yesus tidak bisa membuktikan bahwa Yesus telah melakukan hal itu. Namun bagi umat Kristiani "Yesus harus mati untuk menyelamatkan manusia yang taat." (Matius 20:28 )
Referensi :
Book “World Vedic Heritage-History of Histories” written by founder of ‘Institute for Rewriting Indian & World History’ late P. N. Oak
Book "Killing Jesus" writen by Bill O'Reilly & Martin Dugard
Book "Jesus: A Story of Enlightenment" writen by Deepak Chopra
Book "Crucifixion or Cruci-Fiction?" writen by Sheikh Ahmed Deedat
Book "Jerusalem in the Quran" writen by Seikh Imran Hosein
Book "Was Jesus Crucified?" writen by Sheikh Ahmed Deedat
Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania : Sidang Pengadilan Paling Tercela Sepanjang Masa https://wol.jw.org/id
News.rakyatku.com Selasa, 04 Juli 2017 Pengacara Kenya Gugat Israel dan Italia Karena Bunuh Yesus Kompas.com Jumat, 30 Agustus 2013 Pengacara Kenya Gugat Penyaliban Yesus Kristus