Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris; "Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia" (dalam bahasa Indonesia; "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto").
Sang penulis, John Roosa adalah seorang sejarawan dan profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Sebagai sejarahwan yang memiliki integritas, John Roosa melakukan investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, hati nuraninya terketuk, atas tirani yang dilakukan rezim Suharto. Rezim itu tak lebih dari sekedar attack dog (antek) para taipan pemodal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah, seperti yang terjadi pada tambang emas Freeport di Papua.
Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme dan lain sebagainya.
Menurut John Roosa, pembantaian tersebut terdiri dari dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan?
Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.
Hubungan antara "oknum pimpinan Angkatan Darat" dan Amerika Serikat erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak oknum perwira Angkatan Darat diterbangkan ke Negeri Paman Sam untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant (mata-mata)!untuk militer Amerika. Mereka menyediakan senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. Paman Sam juga membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto" ujar John Roosa.
John Roosa kembali menyatakan, "Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya.
Mereka adalah para pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya. Extra-judicial killings (hukuman mati tampa peradilan sebelumnya), penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir".
Referensi:
Interview IndoPROGRESS dengan Prof.John Roosa: "Identitas Bangsa Indonesia Berubah Total Sesudah 1965" (Senin, 25 April 2011)
Sang penulis, John Roosa adalah seorang sejarawan dan profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Sebagai sejarahwan yang memiliki integritas, John Roosa melakukan investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, hati nuraninya terketuk, atas tirani yang dilakukan rezim Suharto. Rezim itu tak lebih dari sekedar attack dog (antek) para taipan pemodal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah, seperti yang terjadi pada tambang emas Freeport di Papua.
John Roosa |
Menurut John Roosa, pembantaian tersebut terdiri dari dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan?
Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.
Hubungan antara "oknum pimpinan Angkatan Darat" dan Amerika Serikat erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak oknum perwira Angkatan Darat diterbangkan ke Negeri Paman Sam untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant (mata-mata)!untuk militer Amerika. Mereka menyediakan senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. Paman Sam juga membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto" ujar John Roosa.
John Roosa kembali menyatakan, "Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya.
Mereka adalah para pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya. Extra-judicial killings (hukuman mati tampa peradilan sebelumnya), penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir".
Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Format: Pdf (E-book)
Ukuran: 1.8 Mb
Referensi:
Interview IndoPROGRESS dengan Prof.John Roosa: "Identitas Bangsa Indonesia Berubah Total Sesudah 1965" (Senin, 25 April 2011)