Hukuman mati tidak selalu melanggar HAM, bahkan hukuman mati itu juga merupakan bagian dari penegakan HAM. Tren banyak Negara yang akhir-akhir ini menghapuskan hukuman mati tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia, karena kondisi tiap negara berbeda.
Yang paling kasat mata, Indonesia kini berada dalam status Darurat Narkoba. Eksekusi mati yang dilakukan di Indonesia merupakan bentuk kedaulatan negara Indonesia. Bahkan, kata dia, sejumlah negara termasuk Amerika Serikat pun masih melaksanakan hukuman mati.
Para aktifis/pegiat & organisasi yang mengatasnamakan HAM seringkali melihat hak hidup itu pada pelaku kejahatan, padahal korban kejahatan juga memiliki hak hidup. Ketika kita mencabut hak hidup orang lain, ketika orang itu tidak berdosa, tak bersalah, tiba-tiba kita bunuh, itu yang melanggar HAM. Tapi seorang Penjahat, melalui proses peradilan, bukan pelanggaran HAM
Para pegiat HAM hanya menafsirkan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi hanya terhadap manusia "jahat" (terpidana) atau yang diduga jahat (tersangka atau terdakwa). Hampir tidak pernah didiskusikan bahwa’korban kejahatan’ juga memiliki hak untuk hidup, namun oleh para ’penjahat’, hak hidup para korban kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia tidak pernah diperbincangkan & dibahas.
Hampir tidak pernah diperdebatkan mengenai korban yang ditimbulkan oleh penjahat bersangkutan, sehingga penjahat tersebut layak dihilangkan nyawanya. Oleh karena itu, UDHR 1948 dengan sistemhukuman mati yang masih diadopsi Indonesia itu tidak perlu dipertentangkan, karena Indonesia juga mengakui adanya kewajiban asasi, selain hak asasi.
Kewajiban asasi manusia memiliki kedudukan yang sama dengan hak asasi manusia. Dimana ada hak, maka di situ pula ada kewajiban, begitu juga sebaliknya. Secara Internasional hukuman mati juga tidak dilarang & masih diperbolehkan, tergantung kondisi negara yang bersangkutan.
Pengakuan kewajiban asasi secara universal juga telah dituangkan dalam Universal Declaration of Human Responsibilities (UDHR) pada 1 September 1997. Indonesia sendiri mencantumkan kewajiban asasi itu dalam Pasal 28-J UUD 1945. Salah satu makna dari UDHR 1997 adalah adanya pengakuan terhadap kewajiban setiap orang untuk menghormati hak oranglain, termasuk pengembalian hak para korban kejahatan.
Kalau kita lihat perspektif HAM, pada pasal28 ayat 1 dikatakan bahwa hak hidup manusia adalah hak mutlak. Tidak bisa dikurangi. Artinya, hukuman mati tidak dibenarkan. Dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2005, tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, salah satu pasalnya menyatakan, kalau negara belum bisa menghapuskannya (hukuman mati), hukuman mati hanya diperbolehkan untuk kejahatan serius.
Tujuan penghormatan atau kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain tersebut ialah untuk menciptakan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dapat dibayangkan bagaimana keadaan ketertiban suatu negara atau bangsa jika dalam pelaksanaan hak asasi tidak dibatasi dengan adanya kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Penghormatan terhadap hak asasi orang lain merupakan bagian dari penegakan HAM itu sendiri.
Mari kita perbaiki peradilannya, bukan menghapus pidana matinya. Tapi kalau pidana matinya diragukan, benahi sistem peradilannya, dari polisi, jaksa dan lain-lain, supaya tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam proses,
Para aktifis/pegiat & organisasi yang mengatasnamakan HAM seringkali beralasan bahwa yang berhak mencabut nyawa seseorang hanyalah Tuhan. Pendapat seperti itu hanyalah bentuk keputusasaan mereka yang kehabisan argumen cerdas yang kemudian menbajak nama tuhan.
Dalam bernegara, kita sebagai warga negara yang beragama juga tidak dapat terlepas dari norma-norma agama yang dianut. Tuhan memberi kewenangan kepada manusia untuk memberlakuan hukuman mati. Ketika orang mati karena hukuman mati tentu karena Tuhan mencabut nyawanya. Dihukum mati pun takkan bisa mati kalau tidak dikehendaki Tuhan. Bagi yang mati karena hukuman mati berarti kehendak Tuhan juga.