Kerajaan Sassaniyah terus berperang dengan Kekaisaran Romawi selama berabad-abad, namun Sassaniyah tidak ditaklukan oleh Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) melainkan oleh kekhalifahan Islam, saat Umar bin Khattab menjadi khalifah ke-2 setelah wafatnya Nabi Muhammad, SAW, sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kejayaan Persia mulai sirna setelah akhir pemerintahan Khosrau II yang selanjutnya lebih kerap akrab dengan perang saudara. Sejak 628 hingga 632 M atau hanya dalam kurun waktu 4 tahun, Kekaisaran Sassaniyah telah berganti raja sampai 14 kali.
Dinasti Sassaniyah sendiri berdiri sejak 224 M dan pernah menjadi kekuatan terbesar di Asia Barat, Selatan, dan Tengah. Shapur Shahbazi (2005) dalam buku Sasanian Dynasty menyebutkan, selama lebih dari 400 tahun, Kekaisaran Sassaniyah merupakan lawan sepadan bagi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menjadi simbol kekuatan Eropa.
Bangsa Sassania menamakan kerajaan mereka Eranshahr (Wilayah kekuasaan bangsa Iran ( Arya)) atau Ērān dalam bahasa Persia Pertengahan, yang menghasilkan istilah Iranshahr and Iran dalam bahasa Persia Baru. Masa kekuasaan Sassania terbentang sepanjang periode Abad Kuno Akhir (bahasa Inggris: Late Antiquity ), dan dianggap sebagai salah satu periode yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Iran.
Kekaisaran Sassania didirikan oleh Ardashir I, setelah keruntuhan Kekaisaran Parthia dan kekalahan raja Parthia terakhir, Artabanos IV ( bahasa Persia: ﺍﺭﺩﻭﺍﻥ , Ardavan). Dan, yang menjadi raja terakhir Dinasti Sassaniyah sebelum Persia beralih-rupa adalah Yazdegerd III.
Naik tahtanya Yazdegerd III yang masih bocah rupanya dimanfaatkan betul oleh kekhalifahan Islam yang berpusat di Madinah. Tahun 633 M, pasukan muslim menyerbu salah satu negara taklukan Kekaisaran Sassaniyah yang berlokasi di Irak, yakni Kerajaan Bani Lakhm, dan berhasil merebutnya (John Middleton, World Monarchies and Dynasties , 2015).
Sassaniyah tak tinggal diam. Yazdegerd III mengutus jenderal kepercayaannya, Rostam Farrokhzad, untuk memimpin pasukan menuju ke Irak. Terjadilah pertempuran pertama antara Dinasti Sassaniyah melawan pasukan muslim pada 634 M yang dikenal dengan nama Perang Jisr (Khalid Yahya, ed., The History of al-Tabari, 1993:188).
Persia meraih kemenangan dalam perang ini. Namun, situasi berbalik setelah Umar bin Khattab menjadi pemimpin Madinah, khalifah ke-2—setelah wafatnya Nabi Muhammad—sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sejak awal kepemimpinannya, Umar memang berupaya untuk memperluas wilayah Islam (Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Kabah , 2013:208).
Khalifah Umar yang mulai memimpin di Madinah sejak 23 Agustus 634 M langsung menyusun strategi demi membalas kekalahan dari Sassaniyah di Irak. Pada 636 M, dikirimlah pasukan muslim dalam jumlah yang lebih besar di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqqash. Bentrokan pun terjadi di sebelah barat Sungai Eufrat.
Pertempuran yang dikenang dengan nama Perang Al-Qadisiyyah ini dimenangkan oleh pihak muslim. Yazdegerd III bahkan harus kehilangan tiga panglima terpentingnya, yaitu Rostam Farrokhzad, Bahman Jadhuyih, dan Armenia Jalinus, yang tewas (Peter Crawford, The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam , 2013:140).
Saat Dinasti Sassaniyah sedang menanti keruntuhannya, sejumlah referensi menyebut bahwa Yazdegerd III menerima surat dari Umar bin Khattab. Melalui surat tersebut, Khalifah Umar meminta kepada penguasa Sassaniyah itu untuk menyerah. Yazdegerd III akan diampuni jika bersedia meninggalkan agamanya, Zoroaster, dan masuk Islam.
Namun, kebenaran dari keberadaan surat itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah beredar luas. Salinan surat tersebut, beserta balasan dari Yazdegerd III yang menolak mentah-mentah tawaran Umar, disebut-sebut berada di Museum London, Inggris.
Yazdegerd III memang tidak pernah memenuhi permintaan Umar bin Khattab untuk menyerah dan memeluk Islam. Ia masih berusaha mencari bantuan kepada vasal-vasal taklukan kerajaannya, hingga berupaya mencapai Cina untuk meminta perlindungan dari Dinasti Tang yang memang bersahabat dengan Kekaisaran Sassaniyah.
Namun harapan Yazdegerd III itu tidak pernah terwujud karena ia akhirnya mati di tangan anak buahnya sendiri dalam perjalanan menuju Cina. Kematian Yazdegerd III sekaligus menutup riwayat Kekaisaran Sassaniyah.
Referensi:
Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam - Tirto.id
Kekaisaran Sasaniyah - Wikipedia
Kejayaan Persia mulai sirna setelah akhir pemerintahan Khosrau II yang selanjutnya lebih kerap akrab dengan perang saudara. Sejak 628 hingga 632 M atau hanya dalam kurun waktu 4 tahun, Kekaisaran Sassaniyah telah berganti raja sampai 14 kali.
Dinasti Sassaniyah sendiri berdiri sejak 224 M dan pernah menjadi kekuatan terbesar di Asia Barat, Selatan, dan Tengah. Shapur Shahbazi (2005) dalam buku Sasanian Dynasty menyebutkan, selama lebih dari 400 tahun, Kekaisaran Sassaniyah merupakan lawan sepadan bagi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menjadi simbol kekuatan Eropa.
Bangsa Sassania menamakan kerajaan mereka Eranshahr (Wilayah kekuasaan bangsa Iran ( Arya)) atau Ērān dalam bahasa Persia Pertengahan, yang menghasilkan istilah Iranshahr and Iran dalam bahasa Persia Baru. Masa kekuasaan Sassania terbentang sepanjang periode Abad Kuno Akhir (bahasa Inggris: Late Antiquity ), dan dianggap sebagai salah satu periode yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Iran.
istana Apadana, di Persepolis, ibu kota Kekaisaran Persia (sekarang bernama Iran) |
Yazdegerd III |
Sassaniyah tak tinggal diam. Yazdegerd III mengutus jenderal kepercayaannya, Rostam Farrokhzad, untuk memimpin pasukan menuju ke Irak. Terjadilah pertempuran pertama antara Dinasti Sassaniyah melawan pasukan muslim pada 634 M yang dikenal dengan nama Perang Jisr (Khalid Yahya, ed., The History of al-Tabari, 1993:188).
Persia meraih kemenangan dalam perang ini. Namun, situasi berbalik setelah Umar bin Khattab menjadi pemimpin Madinah, khalifah ke-2—setelah wafatnya Nabi Muhammad—sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sejak awal kepemimpinannya, Umar memang berupaya untuk memperluas wilayah Islam (Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Kabah , 2013:208).
Khalifah Umar yang mulai memimpin di Madinah sejak 23 Agustus 634 M langsung menyusun strategi demi membalas kekalahan dari Sassaniyah di Irak. Pada 636 M, dikirimlah pasukan muslim dalam jumlah yang lebih besar di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqqash. Bentrokan pun terjadi di sebelah barat Sungai Eufrat.
Pertempuran yang dikenang dengan nama Perang Al-Qadisiyyah ini dimenangkan oleh pihak muslim. Yazdegerd III bahkan harus kehilangan tiga panglima terpentingnya, yaitu Rostam Farrokhzad, Bahman Jadhuyih, dan Armenia Jalinus, yang tewas (Peter Crawford, The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam , 2013:140).
Saat Dinasti Sassaniyah sedang menanti keruntuhannya, sejumlah referensi menyebut bahwa Yazdegerd III menerima surat dari Umar bin Khattab. Melalui surat tersebut, Khalifah Umar meminta kepada penguasa Sassaniyah itu untuk menyerah. Yazdegerd III akan diampuni jika bersedia meninggalkan agamanya, Zoroaster, dan masuk Islam.
Namun, kebenaran dari keberadaan surat itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah beredar luas. Salinan surat tersebut, beserta balasan dari Yazdegerd III yang menolak mentah-mentah tawaran Umar, disebut-sebut berada di Museum London, Inggris.
Yazdegerd III memang tidak pernah memenuhi permintaan Umar bin Khattab untuk menyerah dan memeluk Islam. Ia masih berusaha mencari bantuan kepada vasal-vasal taklukan kerajaannya, hingga berupaya mencapai Cina untuk meminta perlindungan dari Dinasti Tang yang memang bersahabat dengan Kekaisaran Sassaniyah.
Namun harapan Yazdegerd III itu tidak pernah terwujud karena ia akhirnya mati di tangan anak buahnya sendiri dalam perjalanan menuju Cina. Kematian Yazdegerd III sekaligus menutup riwayat Kekaisaran Sassaniyah.
Referensi:
Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam - Tirto.id
Kekaisaran Sasaniyah - Wikipedia