"Inggris menyuplai senjata, Amerika Serikat mendanai USD 50 juta, Australia turut campur dalam membuat propaganda pada Peristiwa G30S 1965"
Sri Lestari Wahyuningrum
Peneliti International People's Tribunal (IPT) 1965
Sri Lestari Wahyuningrum |
Sejumlah dokumen yang dibuka ke publik menunjukkan bahwa ada jejak terang Inggris dalam peristiwa yang berujung pada jatuhnya Seokarno dan dihancurkannya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dilansir dari laman detikNews, Sri Lestari Wahyuningrum mengatakan "Oktober 1965 mereka (AS) memenuhi permintaan TNI AD untuk mentransfer uang USD 50 juta"
Hasil sidang panel International People's Tribunal (IPT) memutuskan keterlibatan Amerika Serikat secara resmi maupun tidak langsung telah mendorong faksi TNI AD Soeharto melancarkan operasi penumpasan terhadap PKI atau ratusan ribu orang yang dituduh sebagai komunis serta bertahap menggulingkan Presiden Soekarno.
Sidang International People's Tribunal (IPT) |
Hal tersebut diperkuat setelah pemerintah Amerika membuka arsip negaranya setiap tahun. Ternyata ada arsip tertulis yang menyatakan keterlibatan Amerika Serikat melalui CIA.
Beberapa lembaga independen dan non profit, yakini Amerika National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC) bersama National Archives and Records Administration (NARA) menguak 39 dokumen, yang merupakan catatan korespondensi Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta dengan Kementerian Luar Negeri periode 1964-1968.
Dokumen yang dibuka oleh beberapa lembaga tersebut adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.
Dokumen tersebut menguak bahwa terjadi sebuah pertemuan rahasia, pada tahun 1964 di Filipina yang merumuskan skenario Amerika Serikat untuk Indonesia. Yaitu skenario supaya Indonesia tidak jatuh kepada Komunis PKI. Kalau hal itu terjadi, maka posisi Amerika yang saat itu bertempur melawan Vietnam akan semakin terjepit.
Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara pada 1960-an dinilai penting secara ekonomi dan strategis secara politik, terutama bagi Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Inggris yang pernah menjajah sejumlah negara di kawasan ini. Menurut Mark Curtis dalamUS and British Complicity in the 1965 Slaughters in Indonesia di Third World Resurgence edisi 137, 2002, Asia Tenggara penting karena "merupakan produsen utama beberapa komoditas penting" dan "menempati posisi kunci dalam komunikasi dunia" serta menguasai rute penting laut dan udara.
Amerika Serikat dan para sekutunya tidak ingin Indonesia dikuasai Komunis, karena dampaknya Malaysia dan Singapura juga akan dikuasai komunis. padahal saat itu Amerika sedang berperang melawan komunis
Skenarionya adalah memprofokasi PKI yang ditumpas oleh TNI AD dan mengakibatkan Soekarno akhirnya lengser.
Soeharto Terlibat Pembantaian Massal 1965 ?
Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, "bahwa pada tanggal 12 Oktober 1965 Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu. Jika semua skenario itu sukses, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil"
Presiden Soeharto dalam memoarnya pada 1971 pernah menjelaskan mengapa sampai jatuh korban pasca-G30S. Analisis penyebab banyaknya pembunuhan dijelaskan Soeharto dalam pidato tahun 1971:
"Ribuan korban djatuh di daerah-daerah karena rakjat bertindak sendiri-sendiri, djuga karena prasangka-prasangka buruk antargolongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik jang sangat sempit."
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 23 Juli 2012 memutuskan bahwa berbagai kekerasan setelah peristiwa 30 September 1965 merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, berdasarkan hasil penyelidikan sejak 2008. Pengumpulan bukti dan pemeriksaan 349 saksi dilakukan di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah korban menurut Komnas HAM di kisaran "500 ribu hingga 3 juta jiwa"
Sedangkan menurut riset dan investigasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965/1966) menyebut total korban pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 mencapai jutaan. Tak banyak versi resmi pemerintah tentang jumlah korban tewas dalam operasi penumpasan anggota PKI.
New York Times pada Mei 1966 menuliskan jumlah korban tewas mencapai 300 ribu orang. New York Times beberapa bulan kemudian, seperti dipaparkan buku Dalih Pembunuhan Massa, kembali menyelidiki dan menyimpulkan jumlah korban mati seluruhnya lebih dari setengah juta orang.
Ramainya media Amerika Serikat memberitakan dugaan pembunuhan pasca-30 September itu sampai juga ke senator Robert F. Kennedy. Adik presiden John F. Kennedy itu pada pidato Januari 1966 mengkritik Presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson yang diam saja terhadap kondisi Indonesia.
Putusan akhir pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan peran Soeharto.
Putusan tersebut menjelaskan detail bagaimana peran sentral Jenderal Soeharto dalam peristiwa pembantaian massal 1965 dan sesudahnya. Putusan hakim menyebutkan sejak 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto langsung mengambil kontrol de facto atas ibu kota dan angkatan bersenjata.
Sebuah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Pada 1 November, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib. Dengan demikian, komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya. Selanjutnya Soeharto dan kroni-kroninya segera menuding PKI sebagai dalang dari Gerakan 30 September (G30S0).
"Sebuah kampanye propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia lah, terutama perempuan-perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menyiksa dan mencungkil mata atau memutilasi alat kelamin mereka sebelum meninggal,”
bunyi laporan itu.
Akibat propaganda ini, kekerasan dan demonstrasi terhadap orang-orang yang diduga komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah. Kekerasan ini terjadi di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan menyebar ke seluruh tanah air.
Pada 21 Desember 1965, Jenderal Soeharto mengeluarkan sebuah perintah (Kep-1/KOPKAM/12/1965) untuk para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing.
Putusan hakim pengadilan juga menyebutkan beberapa komandon militer yang dapat diminta pertanggungjawaban yakni Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat Kopkamtib periode 1965-1969, Kopkamtib 1969-akhir 1978, dan komandan wilayah setempat periode 1965-1969 dan periode 1969-1978.
Selain menyebutkan Soeharto sebagai nama perseorangan, dokumen putusan sidang tak menyebutkan nama lain dari pihak apapun.
“Bukti dokumentasi terkini mengenai pembantaian benar-benar kurang, dan tampaknya akibat ditekan oleh aparat-aparat militer,”
bunyi laporan itu.
Supersemar
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi titik awal bagi keruntuhan Soekarno dari panggung politik Indonesia. Turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan melahirkan suatu pemerintahan baru yang memiliki semangat untuk menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang disebut sebagai Orde Baru dan melahirkan kepemimpinan baru yaitu Soeharto.
Terlihat jelas ketika pasca penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966, benar-benar dimanfaatkan oleh Soeharto sebagai pengemban surat sakti, dengan mengambil kebijakan dan keputusan politik, seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.
Padahal dictum dari Supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (secara teknis, bukan politis) dan bukan sebagai penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan) dari presiden Soekarno kepada Soeharto.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik. Jadi, dari segi historis, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada.
Mayor Jenderal Amirmachmud bersama Mayor Jenderal M. Jusuf dan Mayor Jenderal Basuki Rachmat menjadi tiga jenderal yang terlibat langsung dalam sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Supersemar yang dibawa tiga jenderal ke Istana tersebut untuk ditandatangani Presiden Soekarno itu membuka jalan bagi Letnan Jenderal Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia. Tiga jenderal itu ikut meninggi pula kariernya.
M. Jusuf menjadi Menteri Perindustrian hingga 1978, setelahnya jadi Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Sementara itu Basuki Rachmat dan Amirmachmud jadi Menteri Dalam Negeri.
Ajudan Presiden Soekarno, Letnan Dua
Soekardjo Wilardjito, mengungkap bahwa sang Presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodongkan pistol FN 46 sambil menyerahkan dokumen Supersemar. Penuturan ini disampaikan Soekardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa.
Soekardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno. Surat yang mereka bawa tersebut disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI)
Letnan Dua Soekardjo Wilardjito |
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!"
ungkap Bung Karno
Kecurigaan Soekarno tersebut disebabkan kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes Angkatan Darat.
Mendengar protes tersebut, sambil menyerahkan dokumen Supersemar kepada Soekarno, Mayjen Maraden Panggabean lalu mencabut pistolnya, lalu menodongkannya kearah Soekarno.
"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka ! Bismillah,"
perintah Basuki Rachmat.
"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku,"
ungkap Soekarno.
Para jenderal itu lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali ke Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan. Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi Tanah Air ke situasi normal.
Dengan demikian, suksesi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto memang tidak terjadi seperti yang selama Orde Baru diyakinkan kepada masyarakat. Soeharto langsung menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan & membantai siapa pun yang berkaitan dengan PKI, meskipun orang tersebut belum terbukti ada sangkut-pautnya dengan PKI.
Dokumen (Supersemar) tersebut tidak hilang, melainkan sengaja dihilangkan. Jika dokumen tersebut hilang secara tidak sengaja, maka masih ada kemungkinan untuk ditemukan. Tetapi, hingga saat ini dokumen tersebut tidak diketahui keberadaannya. Sehingga patut diduga ada kesengajaan untuk membuat dokumen itu sulit ditemukan.
Supersemar itu dokumen negara dan bukan surat pribadi. Mengala bisa hilang? Lagipula ada beberapa Jenderal yang menyaksikan penyerahan surat tersebut dari Soekarno ke Soeharto. Jadi, tidak mungkin hilang.
Tidak ada yang tahu di mana surat asli Supersemar berada. Selain itu, banyak versi yang beredar. Teks otentik itu penting untuk kita lihat asas orisinalitasnya. Kalau tidak ada, ya seperti sekarang, debat yang tidak ada habisnya.
Masalah Supersemar dalam sejarah sudah tidak bisa dipersoalkan lagi. Kita harus move on untuk berdamai dengan sejarah. Kita harus bisa menerima perjalanan sejarah bangsa sebagai fakta.
Hampir semua tokoh terkait telah tiada. Jika nantinya Supersemar yang asli ditemukan, siapa yang harus bertanggungjawab atas kekeliruan sejarah yang telah terlanjur terjadi? Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal.
Supersemar menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.
Referensi:
3 Negara Dituding Terlibat dalam Peristiwa 1965
detikNews
Dokumen rahasia AS: Korban 'tuntut' tanggung jawab Amerika
BBC News Indonesia
Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
BBC News Indonesia
CIA Diduga Dalangi Tragedi PKI
Hidayatullah.com
G30S 1965: Inggris Sudah Lama Ingin Singkirkan Soekarno TEMPO.co
Putusan Pengadilan Rakyat 1965: Indonesia Lakukan Genosida
CNN Indonesia
Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri - Kompas.com
Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar? - Kompas.com
Panggabean Cabut Pistol di Kala Basuki Rahmat Minta Bung Karno Tanda Tangan Super Semar Berkop AD
Wartakota TRIBUNnews.com
Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah? - Tirto.id
Berapa Sebenarnya Korban Pembantaian Pasca-G30S 1965?
TEMPO.co