Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998.
Beberapa kerusuhan sebenarnya terjadi beberapa kali setelah Tragedi Trisakti, yaitu pada 13-15 Mei 1998. Namun, kerusuhan itu tidak mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut perubahan. Puncaknya 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menguasai kompleks gedung MPR/DPR, dan beberapa hari kemudian menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa selama 32 tahun.
|
Soeharto mengundurkan diri |
Peristiwa berdarah tersebut terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, saat mahasiswa melakukan demonstrasi menentang pemerintahan Soeharto. Empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang melakukan aksi damai, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Sementara itu, dokumentasi Kontras menulis, korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Kronologi Sebelum, Saat dan Pasca Tragedi Trisakti 12 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti merupakan rangkaian aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998. Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Sebelumnya, Sidang Umum MPR pada 1-11 Mei 1998 aksi mahasiswa digelar di dalam kampus, namun saat sidang itu digelar mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus. Di sela sidang, pada 5 Maret 1998, sekitar 20 orang perwakilan mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah bertemu Fraksi ABRI untuk menyuarakan penolakan laporan pertanggungjawaban Soeharto.
Meski demikian, tuntutan itu sebatas didengarkan dan tidak dipenuhi. Setelah Soeharto terpilih kembali, aksi mahasiswa mulai dilakukan di luar kampus. Aksi di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998 tercatat sebagai salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar yang dilakukan di luar kampus. Tercatat jumlah mahasiswa dari Universitas Trisakti sendiri saja sudah berjumlah lebih dari 6000 mahasiswa.
Posisi kampus yang strategis, dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus. Kompas mencatat, aksi itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Agenda aksi saat itu termasuk mendengarkan orasi Jenderal Besar AH Nasution, meski kemudian tidak jadi datang.
Orasi pun dilakukan para guru besar, dosen, dan mahasiswa. Sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus dan tumpah ruah di Jalan S Parman. Mereka hendak long march menuju gedung MPR/DPR di Senayan. Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada aparat kepolisian yang mengadang ribuan peserta demonstrasi.
Negosiasi pun dilakukan. Pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril sepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.
Berdasarkan kesepakatan dan hasil negosiasi tersebut, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas dan menyampaikan orasi, menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR. Aksi berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa ketegangan yang berarti. Saat itu, sebagian peserta aksi juga mulai masuk ke dalam kampus.
Hujan Peluru Tajam Gas Air Mata
Akan tetapi, justru saat 70 persen mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus dengan tertib dan damai, terdengar letusan senjata dari arah aparat keamanan. Sontak, massa aksi yang panik kemudian berhamburan, lari tunggang langgang ke dalam kampus. Ada juga yang melompati pagar jalan tol demi keselamatan diri.
Setelah itu, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa. Perlawanan dilakukan, mahasiswa mulai melempar aparat keamanan dengan benda apa pun dari dalam kampus.
Penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi. Dalam berbagai dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.
Aparat keamanan tidak hanya menembak dengan menggunakan peluru karet. Pihak kampus pun menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan menggunakan peluru tajam oleh oknum aparat yang terlatih.
Padahal menurut negosiasi dan kesepakatan awal, aparat harusnya tidak bertindak represif. Namun yang terjadi mahasiswa justru ditembaki dengan peluru tajam, dan itu berlangsung di dalam area kampus Trisakti. Seharusnya ada prosedurnya. Namun mengapa aparat tiba-tiba memakai peluru tajam, bukan peluru kosong atau peluru karet. Terlebih lagi mereka (mahasiswa) sudah berada di dalam kampus. Padahal mahasiswa tidak melawan, tidak melempar batu, dan tidak melakukan kekerasan. Mahasiswa sudah berangsur-angsur pulang ke kampus.
Hingga pukul 17.00 Wib, demo mahasiswa tetap berlangsung tenang dan tidak ada ketegangan. Para mahasiswa terlihat masih bisa bercanda dengan aparat gabungan bersenjata lengkap dari TNI/Polri yang jumlahnya telah mencapai 500 personel. Para mahasiswa bahkan membagikan minuman kemasan, permen, dan berpoto ria dengan petugas keamanan yang membentuk barikade.
Namun suasana tiba-tiba berubah. Tiba-tiba, terdengar beberapa kali suara letusan tembakan aparat dari arah belakang. Suasana yang tadinya tertib pun akhirnya berubah menjadi panik. Mahasiswa yang telah berada di dalam dan luar kampus tampak berlarian menyelamatkan diri. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang ada di barisan belakang tampak telah dipukuli aparat. Tidak hanya mahasiswa, wartawan juga menjadi sasaran pemukulan.
Para penyerang berasal dari Pasukan Huru Hara (PHH) Brimob, dan Tim Gegana bersepeda motor yang bersiaga di atas jembatan ikut-ikutan menembak ke arah demonstran yang berlarian mencari perlindungan. Korban jiwa dan luka pun akhirnya berjatuhan.
Mahasiswa yang menjadi korban penembakan kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit terdekat, terutama RS Sumber Waras. Suasana memilukan begitu terasa di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Sumber Waras. Rasa cemas, sedih, takut, serta marah begitu terasa.
Dalam jumpa pers yang dilakukan, pihak kampus menyatakan ada enam korban tewas, yang beberapa hari kemudian dipastikan ada empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban. Wakil Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman yang hadir di kampus Trisakti pun menyatakan adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani aksi massa.
Dalang Tragedi Trisakti
Setelah aksi penembakan itu, tersiar kabar enam mahasiswa tewas ditembak. Namun setelah dicek kebenarannya, menurut data resmi RS Sumber Waras, jumlah mahasiswa yang tewas hanya empat. Selain korban tewas, sejumlah mahasiswa lain juga terluka kena tembak.
Keempat martir itu adalah Elang Mulia Lesmana dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur, Hafidhin Royan dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil, dan Hery Hartanto dari Fakultas Teknologi Industri. Sedang seorang lagi adalah Hendriawan Sie dari Fakultas Ekonomi.
|
4 mahasiswa yang gugur pada tragedi Trisakti |
Berdasarkan hasil autopsi, keempat korban memiliki luka tembak yang sangat mematikan, terletak pada dahi yang tembus hingga ke belakang kepala, leher, punggung, dan dada.
Saat terjadi penembakan, Elang Mulya Lesmana dan Hendriawan Sie berada di dalam kampus. Mereka sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat Dr Syarif Thayeb. Mereka ditembak oleh para penembak jitu aparat yang berada di atap gedung terdekat.
Begitupun dengan Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Saat terjadi penembakan mereka sedang berada di dalam kampus. Penembakan baru berhenti malam hari pukul 20.00 Wib. Baru kemudian, pihak kampus membawa para korban luka dan tewas ke rumah sakit.
Banyak kalangan yang berpendapat, penembakan itu dilakukan oleh Kesatuan Militer Kopassus, karena penembakan itu hanya bisa dilakukan dengan keterampilan tinggi. Kesatuan Kopassus sendiri saat itu dipimpin Letjen TNI Prabowo Subianto.
Lima hari setelah penembakan, Prabowo mengunjungi rumah korban tewas Hery Hartanto. Di hadapan orangtua Hery, Prabowo mengangkat Alquran dan meletakkannya di atas kepalanya, dan bersumpah demi Allah dia tidak memerintahkan penembakan itu.
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia. Kerusuhan terjadi sehari setelah penembakan, mulai 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan ini, etnis Cina yang dijadikan kambing hitamnya.
Massa yang tidak diketahui identitasnya, orang-orang berbadan kekar tiba-tiba datang menggunakan truk di titik-titik yang telah ditentukan. Mereka kemudian berteriak-teriak memprovokasi warga agar toko-toko milik orang-orang Cina dibakar.
Ketika puncak peristiwa itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Selama Soeharto ke luar negeri, tanggung jawab dalam negeri diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Menurut keterangan Gubernur DKI yang kala itu dijabat oleh Jaya Sutiyoso, dalam peristiwa kerusuhan itu sebanyak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus dibakar, angkutan umum 66 buah, dan 821 motor hangus dibakar. Rumah warga yang dibakar 1.026 buah.
Jumlah bank yang dirusak massa sebanyak 64, terdiri dari 313 kantor cabang, 178 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas.
Total kerugian fisik bangunan akibat kerusuhan itu mencapai angka Rp2,5 triliun lebih, belum termasuk dengan isinya. Kerugian ini lebih buruk dari kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang hanya merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1966 yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan dengan kerugian Rp100 miliar.
Dari segi korban jiwa dan luka juga dampak kerusuhan ini jauh lebih besar. Bahkan konon disebut yang terbesar, setelah terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.
Di Jakarta, korban-korban kerusuhan mulai berjatuhan. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat, lebih dari seratus orang tewas terbakar dalam aksi penjarahan di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan orang tewas terbakar.
Pusat Penerangan ABRI melaporkan, jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum termasuk jumlah korban tewas yang berada di Surakarta, Jawa Tengah, Makassar, Medan, Surabaya, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Hingga kini, tidak ada jumlah pasti berapa total korban tewas akibat tragedi Mei 1998 tersebut. Untuk wilayah Jakarta saja, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah menemukan variasi angka yang berbeda-beda.
Data Tim Relawan menyebutkan, korban tewas dalam peristiwa itu mencapai angka 1.190 atau 1.339 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata tajam atau dibunuh, dan 91 orang lainnya mengalami luka-luka karena berbagai sebab.
Sedangkan data Polda Metro Jaya menyatakan, 451 orang meninggal dunia, dan korban luka tidak tercatat. Data Kodam masih lebih besar, yakni 463 orang meninggal, termasuk di antaranya aparat keamanan, dan 69 orang lainnya luka-luka.
Data terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta yang menyatakan korban meninggal mencapai angka 288 orang dan 101 orang lainnya mengalami luka-luka. Kebenaran angka-angka tersebut hingga kini masih belum menemui kesepakatan.
Sementara korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dari etis Cina hingga kini masih gelap, tidak ada angka yang pasti. Ada yang menyebut wanita yang menjadi korban pemerkosaan di Jakarta berjumlah 92 orang, namun membuka peluang lebih.
Apalagi dalam peristiwa itu aparat terkesan membiarkan orang-orang berbadan tegap dan berambut cepak melakukan provokasi kepada warga untuk melakukan pembakaran dan penjarahan terhadap toko-toko milik etnis Cina di sejumlah daerah.
Kerusuhan yang terkesan diciptakan sejak 12 hingga 15 Mei 1998 ini pun seharusnya sudah diperkirakan oleh pihak intelijen, tetapi pertanyaannya kenapa tentara baru digerakkan pada 15 Mei 1998, setelah kerusuhan di sejumlah daerah mulai mereda?
Pada 15 Mei 1999, terjadi pergerakan besar-besaran oleh satuan-satuan militer. Satuan-satuan tentara itu didaratkan dengan menggunakan helikopter di mana-mana untuk pengamanan. Namun, semua sudah terlambat, korban jiwa telah berjatuhan.
Hal ini merupakan blunder terburuk dalam sejarah kegagalan penanganan keamanan oleh ABRI sejak tahun 1945. Jenderal TNI Wiranto yang saat itu menjabat Menteri Hankam/Panglima ABRI harus bertanggung jawab atas kegagalan tersebut.
|
Prabowo Subianto dan Wiranto |
Referensi:
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
* A Pambudi, Sintong dan Prabowo, Dari Kudeta LB Moerdani Sampai Kudeta Prabowo, Medpress, Cetakan Ketiga, 2009.
* A Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, Penerbit LKiS Yogyakarta, Cetakan I, Februari 2004.
* Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman, Jejak Kudeta (1997-2005), Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cetakan Pertama, Januari 2003.
* Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Ketiga, Maret 2009.
* Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 68 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Cetakan I, Jakarta 2012.
* Beni Bevly, Aku Orang Cina? Narasi Pemikiran Politik Plus dari Seorang Tionghoa, Overseas Think Tank for Indonesia, Cetakan Pertama, Mei 2008.
* Mimin Dwi Hartono, 18 Tahun Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei, dikutip dalam http://www.komnasham.go.id.
20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu?
KOMPAS.com
Sabtu, 12 Mei 2018
Misteri Dalang Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998
SINDONEWS.com
Minggu, 15 Mei 2016